Rabu, 30 September 2020
Simpul Tambat
Taukah kau apa gunanya simpul tambat? Ya, betul. Ia adalah awal dari ikatan silang.
Taukah kau apa gunanya ikatan silang? Ya betul. Ikatan ini digunakan dalam membuat berbagai macam bangunan.
Menurutmu kita sedang belajar pioneering? Maaf saya tidak pandai mengajarkannya. Saya hanya ingin kau mengamatinya.
Simpul ini sangat sederhana, anak penggalang pun bisa membuatnya. Jika sudah digunakan mengawali ikatan, simpul ini tenggelam dalam gulungan tali. Sederhana bukan? Dia mengajarimu untuk selalu low profile. Tak perlu selalu menonjolkan diri.
Coba lihat gunanya, mengawali ikatan. Apa yang diikat? Dua tongkat yang bersilangan. Sekali lagi ia mengajarimu, menyatukan sesuatu yang bersilangan bisa dimulai dengan menambatkan dirimu di titik pertemuannya. Lakukan berkali kali untuk tongkat tongkat lain yang bersilangan, maka jadilah bangunanmu.
Pada tongkat tongkat yang diikat kita temukan keberagaman..
Pada tambat dan ikatan kita temukan kebersamaan..
Pada bangunan yang berdiri kokoh kita temukan kejayaan.. Kini kau tau jika yang ingin ku ceritakan adalah tentang @pramuka_unhas
Lembaga yang sekretariat nya ku sebut rumah dan anggotanya kusebut keluarga. Padanya kutambatkan banyak rasa yang kini menjadi ikatan.
Selamat ulang tahun yang ke 42.
Keberagaman dan Kebersamaan Kita Berjaya
Selasa, 14 Agustus 2018
Harari dan Hari-Hari yang Berat
Tulisan ini sesungguhnya adalah pelanggaran. Saat seharusnya saya menyelesaikan setumpuk tulisan lain yang berkaitan dengan tugas di kantor, saya malah menulis di blog ini. Pekerjaan saya memang menumpuk belakangan ini. Semua tiba-tiba seolah datang bersamaan. Di tengah kesibukan itu, saya sekali sekali melarikan diri. Menulis ini adalah salah satu bentuk pelarian selain membuka sosmed, membaca artikel artikel, novel atau buku.
Pelarian yang akan saya ceritakan kali ini adalah tentang karya Yuval Noah Harari. Saya memiliki dua buku fenomenal karya Harari, Sapiens dan Homo Deus. Orang-orang menyarankan membaca Sapiens dulu lalu Homo Deus. Saya tidak mengikuti saran itu. Saya membaca Homo Deus dan rencananya akan membaca Sapiens belakangan.
Buku ini menarik bagi saya karena saya memang selalu senang membaca tulisan yang menyajikan fakta sejarah untuk memahami masa kini dan masa depan. Itulah mengapa novel yang berkesan bagi saya selalu saja ada konteks sejarahnya seperti tetralogi buruh karya Pramudia, Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan, dan yang terbaru Laut Bercerita nya Leila S. Choduri. Buku Homo Deus ditulis dengan gaya bercerita seperti itu. Mulai dari sejarah, konteks masa kini dan proyeksi masa depan.
Harari bercerita bagaimana manusia di masa lalu kalah dengan wabah dan perang. Harari menyajikan data bagaimana wabah bisa menghabiskan lebih dari setengah populasi di sebuah negara di masa lalu. Informasi ini menarik bagi saya di tengah perdebatan tentang vaksin campak rubella. Kalau saja orang-orang membaca bagaimana wabah menghabiskan populasi di masa lalu, ide tentang vaksin akan lebih muda diterima dibandingkan ide-ide konspiratif.
Manusia saat ini adalah manusia yang berhasil mengalahkan hari-hari suram dari wabah dan perang yang berdampak buruk di masa lalu. Manusia mengembangkan vaksin serta sistem sosial yang pada akhirnya menghindarkan manusia pada penderitaan-penderitaan seperti masa lalu. Setelah melalui tahap bertahan hidup, manusia kini mencari sesuatu yang lebih dari sekedar perdamaian dan bebas dari wabah. Harari menyimpulkan bahwa kebutuhan manusia saat ini adalah untuk hidup abadi (immortal) dan bahagia. Setelah menang melawan virus, manusia mengupayakan agar hidup lebih lama. Jika memungkinkan, hidup selamanya. Untuk mencapai kebahagiaan, manusia menciptakan teknologi untuk mempermudah hidupnya.
Bagaimana sejarah akan berjalan ke depan? untuk mencapai kebahagiaan dan keabadian, manusia menciptakan biroteknologi dan artificial intelegent. Dua instrumen ini pula yang akan berpengaruh terhadap masa depan umat manusia. Bagaimana bioteknologi dan artificial intelegent berpengaruh ke masa depan akan saya ceritakan di lain waktu karena saya belum tuntas membaca bagian itu.
Lalu mengapa Homo Deus? Harari bercerita tentang perubahan cara berpikir manusia. Saat wabah belum dipahami manusia, segalanya dianggap sebagai hukuman Tuhan kepada manusia. Saat ini, saat sains sudah mampu menjawab banyak hal yang dulunya belum dipahami manusia, kepercayaan manusia terhadap Tuhan diyakini Harari sudah menghilang. Bahkan beberapa kali Harari mengutip pernyataan Nitzce bahwa "Tuhan telah Mati". Dengan obsesi manusia untuk hidup abadi dan mengontrol segala hal, manusia telah berupaya untuk menjadi Tuhan. Itulah mengapa Homo Deus dipilih menjadi judul buku ini. Dalam buku ini, Harari juga menjelaskan proses bagaimana kata-kata bisa membentuk realitas. Kata-kata yang dimaksud seperti data, teori dan dan bahkan kitab suci. Pernyataan kontroversial dari Rocky Gerung beberapa saat yang lalu tentang 'kitab suci adalah fiksi" dijelaskan lebih jauh oleh Harari. Saya akhirnya meyakini jika pernyataan Rocky Gerung terinspirasi dari Homo Deus. Saya sekaligus sedikit mengerti cara berpikir Rocky Gerung dalam hal "Ketuhanan yang Maha Esa".
Apa yang menarik selain konten sejarah yang diceritakan oleh Harari adalah gaya menulisnya. Dalam banyak bagian, dia membiarkan celah bagi saya untuk meragukan tulisannya. Seolah dia sengaja membuka lubang besar untuk dikritisi. Semua kritikan yang telah menghantui pikiran saya saat membaca di bagian awal dijawab tuntas di bagian akhir. Saya akhirnya merasa seperti sapi yang dihidungnya dipasangi rotan lalu ditarik kesana kemari sesuai kehendaknya. Tentang agama misalnya, Harari mengkritik agama karena tidak menyediakan jawaban tentang masalah teknologi yang dihadapi manusia saat ini. Menurutnya, agama hanya berdimensi masa lalu. Saya tentu saja dengan posisi defensif berpikir bahwa tafsir tentang kitab suci nyatanya selalu berkembang setiap zaman. Saya merasa Harari salah dalam hal tersebut. Lalu dibagian akhir, Harari mencontohkan bahwa pemuka agama bukan mengembangkan sesuatu dari kitab suci. Ketika dunia berkembang, para pemuka agama akan "kembali membaca ayat demi ayat dalam kitab suci dan pada akhirnya menemukan penjelasan moral tentang fenomena tersebut". Bagi saya itu adalah pukulan yang cukup telak untuk meruntuhkan sikap Defensif saya. Saya mau tidak mau harus menyetujui apa yang dituliskan oleh Harari.
Saya beruntung karena hidup dalam masyarakat religius. Saya tidak bisa membayangkan jika saya hidup dalam masyarakat sekuler. Barangkali saya akan dengan mudah menjadi ateis dengan bacaan-bacaan seperti ini. Lingkungan religius membentuk cara berpikir saya untuk keluar dari perdebatan rasional seperti itu. Jika ada pertanyaan yang belum mampu terjawab hari ini, saya yakin bukan karena Tuhan tidak ada sebagaimana diyakini Harari. Yang saya yakini dalam banyak hal, Tuhan memang tidak serta merta mampu dijelaskan oleh akal. Bukankah syarat pertama untuk menjadi Islam adalah menyatakan "tidak ada Tuhan selain Allah". Persaksian ini di mulai dari menegasikan lalu kemudian menegaskan. Homo Deus pada ahirnya saya anggap sebagai bagian dari persaksian ini.
***
Membaca Homo Deus di hari-hari yang serba berat rasanya seperti piknik melintasi zaman. Saya merasa seperti memasuki otak para pelaku sejarah yang diceritakan oleh Harari. Tak seperti pikinik ke tempat menarik yang hanya melibatkan rasa, piknik yang dipandu oleh Harari melibatkan logika, perasaan dan keyakinan. Bukankah ini piknik yang cukup menarik bagi orang-orang yang memang sedang butuh piknik?
Makassar, 14 Agustus 2018
Pelarian yang akan saya ceritakan kali ini adalah tentang karya Yuval Noah Harari. Saya memiliki dua buku fenomenal karya Harari, Sapiens dan Homo Deus. Orang-orang menyarankan membaca Sapiens dulu lalu Homo Deus. Saya tidak mengikuti saran itu. Saya membaca Homo Deus dan rencananya akan membaca Sapiens belakangan.
Buku ini menarik bagi saya karena saya memang selalu senang membaca tulisan yang menyajikan fakta sejarah untuk memahami masa kini dan masa depan. Itulah mengapa novel yang berkesan bagi saya selalu saja ada konteks sejarahnya seperti tetralogi buruh karya Pramudia, Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan, dan yang terbaru Laut Bercerita nya Leila S. Choduri. Buku Homo Deus ditulis dengan gaya bercerita seperti itu. Mulai dari sejarah, konteks masa kini dan proyeksi masa depan.
Harari bercerita bagaimana manusia di masa lalu kalah dengan wabah dan perang. Harari menyajikan data bagaimana wabah bisa menghabiskan lebih dari setengah populasi di sebuah negara di masa lalu. Informasi ini menarik bagi saya di tengah perdebatan tentang vaksin campak rubella. Kalau saja orang-orang membaca bagaimana wabah menghabiskan populasi di masa lalu, ide tentang vaksin akan lebih muda diterima dibandingkan ide-ide konspiratif.
Manusia saat ini adalah manusia yang berhasil mengalahkan hari-hari suram dari wabah dan perang yang berdampak buruk di masa lalu. Manusia mengembangkan vaksin serta sistem sosial yang pada akhirnya menghindarkan manusia pada penderitaan-penderitaan seperti masa lalu. Setelah melalui tahap bertahan hidup, manusia kini mencari sesuatu yang lebih dari sekedar perdamaian dan bebas dari wabah. Harari menyimpulkan bahwa kebutuhan manusia saat ini adalah untuk hidup abadi (immortal) dan bahagia. Setelah menang melawan virus, manusia mengupayakan agar hidup lebih lama. Jika memungkinkan, hidup selamanya. Untuk mencapai kebahagiaan, manusia menciptakan teknologi untuk mempermudah hidupnya.
Bagaimana sejarah akan berjalan ke depan? untuk mencapai kebahagiaan dan keabadian, manusia menciptakan biroteknologi dan artificial intelegent. Dua instrumen ini pula yang akan berpengaruh terhadap masa depan umat manusia. Bagaimana bioteknologi dan artificial intelegent berpengaruh ke masa depan akan saya ceritakan di lain waktu karena saya belum tuntas membaca bagian itu.
Lalu mengapa Homo Deus? Harari bercerita tentang perubahan cara berpikir manusia. Saat wabah belum dipahami manusia, segalanya dianggap sebagai hukuman Tuhan kepada manusia. Saat ini, saat sains sudah mampu menjawab banyak hal yang dulunya belum dipahami manusia, kepercayaan manusia terhadap Tuhan diyakini Harari sudah menghilang. Bahkan beberapa kali Harari mengutip pernyataan Nitzce bahwa "Tuhan telah Mati". Dengan obsesi manusia untuk hidup abadi dan mengontrol segala hal, manusia telah berupaya untuk menjadi Tuhan. Itulah mengapa Homo Deus dipilih menjadi judul buku ini. Dalam buku ini, Harari juga menjelaskan proses bagaimana kata-kata bisa membentuk realitas. Kata-kata yang dimaksud seperti data, teori dan dan bahkan kitab suci. Pernyataan kontroversial dari Rocky Gerung beberapa saat yang lalu tentang 'kitab suci adalah fiksi" dijelaskan lebih jauh oleh Harari. Saya akhirnya meyakini jika pernyataan Rocky Gerung terinspirasi dari Homo Deus. Saya sekaligus sedikit mengerti cara berpikir Rocky Gerung dalam hal "Ketuhanan yang Maha Esa".
Apa yang menarik selain konten sejarah yang diceritakan oleh Harari adalah gaya menulisnya. Dalam banyak bagian, dia membiarkan celah bagi saya untuk meragukan tulisannya. Seolah dia sengaja membuka lubang besar untuk dikritisi. Semua kritikan yang telah menghantui pikiran saya saat membaca di bagian awal dijawab tuntas di bagian akhir. Saya akhirnya merasa seperti sapi yang dihidungnya dipasangi rotan lalu ditarik kesana kemari sesuai kehendaknya. Tentang agama misalnya, Harari mengkritik agama karena tidak menyediakan jawaban tentang masalah teknologi yang dihadapi manusia saat ini. Menurutnya, agama hanya berdimensi masa lalu. Saya tentu saja dengan posisi defensif berpikir bahwa tafsir tentang kitab suci nyatanya selalu berkembang setiap zaman. Saya merasa Harari salah dalam hal tersebut. Lalu dibagian akhir, Harari mencontohkan bahwa pemuka agama bukan mengembangkan sesuatu dari kitab suci. Ketika dunia berkembang, para pemuka agama akan "kembali membaca ayat demi ayat dalam kitab suci dan pada akhirnya menemukan penjelasan moral tentang fenomena tersebut". Bagi saya itu adalah pukulan yang cukup telak untuk meruntuhkan sikap Defensif saya. Saya mau tidak mau harus menyetujui apa yang dituliskan oleh Harari.
Saya beruntung karena hidup dalam masyarakat religius. Saya tidak bisa membayangkan jika saya hidup dalam masyarakat sekuler. Barangkali saya akan dengan mudah menjadi ateis dengan bacaan-bacaan seperti ini. Lingkungan religius membentuk cara berpikir saya untuk keluar dari perdebatan rasional seperti itu. Jika ada pertanyaan yang belum mampu terjawab hari ini, saya yakin bukan karena Tuhan tidak ada sebagaimana diyakini Harari. Yang saya yakini dalam banyak hal, Tuhan memang tidak serta merta mampu dijelaskan oleh akal. Bukankah syarat pertama untuk menjadi Islam adalah menyatakan "tidak ada Tuhan selain Allah". Persaksian ini di mulai dari menegasikan lalu kemudian menegaskan. Homo Deus pada ahirnya saya anggap sebagai bagian dari persaksian ini.
***
Membaca Homo Deus di hari-hari yang serba berat rasanya seperti piknik melintasi zaman. Saya merasa seperti memasuki otak para pelaku sejarah yang diceritakan oleh Harari. Tak seperti pikinik ke tempat menarik yang hanya melibatkan rasa, piknik yang dipandu oleh Harari melibatkan logika, perasaan dan keyakinan. Bukankah ini piknik yang cukup menarik bagi orang-orang yang memang sedang butuh piknik?
Makassar, 14 Agustus 2018
Rabu, 06 Juni 2018
Kerja Kolektif
Untuk teman-teman
CPNS STIA LAN
MAKASSAR 2018
Tulisan ini terinspirasi dari kado
ulang tahun dari Istri saya pada 23 Mei 2018. Lewat tengah malam tiba-tiba saya
disodorkan sebuah buku catatan. Di halaman awal tertempel sebuah foto kami
sekeluarga. Di halaman-halaman selanjutnya tertulis kenangan-kenangan dia
tentang saya, mulai dari bagaimana kami berkenalan hingga akhirnya berumah
tangga. Tak perlu saya ceritakan detailnya disini. Cukuplah romantisme itu untuk
saya sendiri, disamping saya khawatir kisah itu menjadi kekerasan verbal bagi
teman-teman yang masih lajang. Hihi..
Sebelumnya, saya mengucapkan
banyak terima kasih kepada semua teman yang telah mendoakan saya di perulangan
hari kelahiran saya 23 Mei 2018. Juga untuk kue ulang tahun sehari setelahnya. Sebenarnya
di keluarga kami tidak merayakan ulang tahun dengan cara seperti itu. Apalagi
sampai pakai kue ulang tahun. Saya bersyukur hari itu tidak ada lilin segala.
Saya sudah tau kalau akan ada kue ulang tahun di senja itu. Sebagian dari diri
saya ingin menolak dan merusak semua rencana kalian. Tapi saya tau ada yang
lebih penting yang sangat saya hargai dari semua itu: KERJA KOLEKTIF. Dan inilah
yang akan menjadi inti dari tulisan ini.
Dua hari yang lalu, tepatnya
Senin, 4 Juni 2018, saat assesor BAN PT bertanya kepada kita semua tentang apa
yang menyenangkan selama di STIA LAN Makassar. Barangkali teman teman yang
hadir saat itu tau jawaban saya adalah kerja sama dengan kalian semua. Saya
pernah bekerja sendiri dalam waktu yang cukup lama, sehingga bekerja bersama
sungguh menyenangkan. Saya sungguh menikmati moment-moment belajar bersama,
mengerjakan tugas bersama dan berbagi tugas besama. Bahwa ada satu dua gesekan
atau perdebatan yang tidak berujung saya pikir itu adalah bagian dari kerja
kolektif yang tetap saja menyenangkan. Semoga kerja-kerja kolektif ini bisa
dipertahankan.
Kita sama-sama belum tau bagaimana
kerja kolektif ini akan berakhir. Yang paling sering kita dengarkan adalah
mutasi ke unit kerja yang baru. Entah kemana dan entah kapan. Meski semua masih
misteri, yang paling penting adalah mensyukuri setiap waktu yang ada. Salah
satu caranya adalah melalui dokumentasi. Yang selama ini selalu dilakukan
adalah berfoto rame-rame. Karena menurut anak fotografi: satu gambar itu bisa
bercerita lebih dari seribu kata. Maka teruslah berfoto. Hidup FOTO!!
Melalui tulisan ini saya
menawarkan sebuah bentuk dokumentasi yang sepertinya lebih produktif dari
sekedar foto-foto. Saya mengajak teman-teman mengikat kenangan-kenangan melalui
kumpulan tulisan. Saya berharap kita sekali lagi melakukan KERJA KOLEKTIF yang
bisa menghasilkan sebuah buku kumpulan tulisan.
Lalu apa yang sebaiknya ditulis?
Saran saya adalah semua kenangan mulai dari proses pendaftaran, CPNS hingga
(semoga) jadi PNS. Ada banyak kasus dan perspektif yang saya pikir akan menarik
untuk ditulis. Temanya bisa yang agak berat berupa opini, misalnya: perubahan
pola latsar, kasus e-learning yang belum ramah milenial, manajemen Calon ASN,
penyampaian materi latsar, muatan modul latsar, efisiensi penyelenggaraan
latsar, pengaruh tukin terhadap kinerja CPNS, dll. Ada banyak sekali kasus yang
sepertinya bisa dikaji berdasarkan latar belakang dan keilmuan kita masing
masing.
Tema lain yang bisa lebih ringan
adalah mengenai pengalaman kita selama menjadi CPNS, misalnya: perubahan pola
kerja dari malam ke siang, perubahan sikap keluarga setelah kita jadi CPNS,
pengalaman akulturasi teman-teman dari luar sulawesi, perubahan pola asuh anak setelah sering pulang
malam, bagaimana berkompromi dengan stress kerja yang tinggi, bagaimana
konsorsium mama-mama paggosip bisa terbentuk, pengalaman pemberkasan untuk
kasus kehilangan ijazah, dll. Saya meyakini ada ribuan pengalaman dan perasaan
kita yang bisa ditulis menjadi cerita menarik.
Selain dua tema tentang masa lalu,
opsi lain yang bisa ditulis adalah mengenai mimpi-mimpi kita kedepan. Entah
mimpi untuk STIA LAN Makassar, mimpi untuk LAN atau mimpi pribadi berupa
rencana karir dll.
Kalaulah ini bisa diterima
menjadi mimpi bersama dan akhirnya kembali mewujud menjadi AKSI KOLEKTIF maka buku
ini seharusnya sudah bisa dicetak dan disebarluaskan setelah kita dapat SK PNS
(semoga) bulan Januari 2019. Hal-hal mengenai judul buku, cetak dimana, berapa
biayanya akan dibahas dalam tempo yang sesingkat-singkatnya setelah naskah
terkumpul pada bulan Desember 2018.
***
Sepertinya saya sudah telalu
banyak berencana tanpa meminta persetujuan teman-teman. Ini tidak harus dilakukan,
karena saya bukan ketua kelas (apalagi KEPALA LAN). Tetapi sekali lagi, saya
mengingatkan bahwa kita sama-sama belum tau bagaimana kebersamaan kita akan
berakhir tetapi setidaknya kita bisa sama-sama mengingat bagaimana semua ini
dimulai. Semoga buku kumpulan tulisan bisa menjadi sarana untuk itu selain
foto-foto.
Jika pun tidak, saya telah
menitipkan foto rame-rame kita dihari pertama diterima sebagai CPNS di STIA LAN
MAKASSAR. Semoga itu bisa menjadi pengingat dengan kesan yang kuat. Buku
catatan itu sendiri, terserah akan digunakan seperti apa. Tetapi saya perlu
ceritakan bahwa buku itu sebenarnya adalah tawaran budaya baru kepada kita
semua bahwa yang berulang tahun tidak selamanya berbagi kebahagiaan dengan “traktiran”
makan. Bisa juga dengan hal-hal lain, dan saya bermimpi suatu saat akan berbagi
buku karya saya sendiri di hari ulang tahun saya yang entah ke berapa. Semoga
kita semua panjang umur hingga saat itu tiba. Oleh karena saya belum bisa membagikan
buku kepada kalian semua maka saya berkompromi dengan membagikan buku catatan
dan ajakan untuk menulis buku secara kolektif. Untuk itu, saya berharap di buku
catatan itu ada coretan-coretan mengenai tulisan yang akan dikumpulkan menjadi
sebuah buku karya kita bersama.
Terima kasih untuk kesediaan
teman-teman membaca tulisan yang tidak jelas ini. Semoga mimpi ini menjadi mimpi
kolektif dan 2019 kita terbitkan buku bersama.
Makassar, 6 Juni 2018
Hormat Saya
ERWIN MUSDAH
Langganan:
Postingan (Atom)