Danau Tempe
terletak di tiga Kabupaten di Sulawesi Selatan, yaitu Kabupaten Wajo, Kabupaten
Sidenreng Rappang dan Kabupaten Soppeng. Danau Tempe dikelilingi oleh tujuh
kecamatan yang tersebar di tiga kabupaten diantaranya: Kecamatan Tempe, Belawa,
Tanasitolo dan Sabbangparu di Kabupaten Wajo; Kecamatan Donri-Donri dan Marioriawa
di Kabupaten Soppeng dan Kecamatan Pancalautang di Kabupaten Sidenreng Rappang.
Danau Tempe di
masa lalu digambarkan oleh Pelras (2006) sebagai jalur pelayaran. Pada saat itu, Danau Tempe menjadi poros dua jalur
pelayaran strategis di Sulawesi Selatan, yaitu jalur yang menghubungkan Selat
Makassar dengan Teluk Bone serta jalur Teluk Bone hingga hulu Sungai Walanae.
Jalur pertama yaitu jalur pelayaran dari Selat Makassar melalui Pare-Pare,
Danau Sidenreng, Danau Tempe dan keluar ke Teluk Bone melalui Sungai Cenranae.
Sedangkan jalur kedua yaitu dari Teluk Bone masuk melalui sungai Cenranae dan
terus sampai hulu Sungai Walanae yang berada di daerah pegunungan Soppeng, Bone
dan Maros. Kedua jalur ini menjadi jalur strategis pada masa itu karena belum
adanya jalur darat yang menghubungkan tempat-tempat tersebut. Catatan sejarah ini diperkuat oleh adanya bukti fisik
berupa jangkar besar yang ditemukan di dasar Danau Tempe. Jangkar yang tingginya kurang lebih dua meter tersebut sekarang
dipajang di depan museum Saoraja Mallangga di Kota Sengkang. Penemuan tersebut menunjukkan bahwa kapal yang berlayar di Danau Tempe merupakan
kapal-kapal besar sehingga memberikan gambaran bahwa
Danau Tempe di masa lalu merupakan danau yang cukup dalam untuk dapat dilalui
oleh kapal-kapal besar.
Gambar
dirujuk dari: http://artmelayu.blogspot.com/
Adanya jalur
pelayaran yang cukup besar melalui Danau Tempe pada masa lalu dapat juga
ditelusuri melalui perubahan kondisi geografis Danau Tempe dari masa ke masa.
Ambo Tang Daeng Matteru mengungkapkan empat tahapan perubahan bentuk fisik dari
lokasi di sekitar Danau Tempe. Tahap pertama yaitu pulau Sulawesi bagian
selatan masih terpisah dari pulau Sulawesi oleh selat yang membentang dari
selat Makassar ke Teluk Bone. Kondisi ini diperkirakan berlangsung pada masa
sebelum Masehi. Tahap kedua yaitu ketika terjadi pendangkalan dan penyempitan
pada kedua ujung selat sehingga membentuk sebuah danau besar. Tahap kedua ini
diperkirakan berlangsung pada abad pertama sampai abad ke-16 Masehi. Proses
pendangkalan terus terjadi sehingga terbentuk empat sub danau. Masa ini adalah
tahap ketiga perubahan kondisi geografis yang diperkirakan berlangsung pada
abad ke-17 sampai abad ke-18. Empat sub danau yang terbentuk pada tahap ini
yaitu Danau Alitta, Danau Sidenreng,
Danau Tempe dan Danau Lapongpakka. Pada tahap ini juga terbentuk beberapa danau
kecil lainnya, salah satunya adalah danau Lampulung. Pada tahap ke-4, tepatnya
pada abad ke-19 hingga ke-20, Danau
Alitta telah hilang. Danau yang tersisa yaitu Danau Tempe, Danau Sidenreng,
Danau Lapongpakka dan Danau Lampulung. Pada masa ini, jalur yang menghubungkan
Selat Makassar dengan Teluk Bone telah benar-benar terputus. Perubahan kondisi
geografis tersebut di atas digambarkan sbb.:
Sejarah perubahan
kondisi fisik yang diungkapkan oleh Ambo Tang Daeng Matteru sebagian besar
dapat dikonfirmasi berdasarkan catatan sejarah yang diungkapkan oleh Christian
Pelras. Danau Besar yang terbentuk pada tahap kedua juga disebutkan dalam buku
Manusia Bugis karya Christian Pelras tersebut. Pelras (2006) menceritakan bahwa
pada tahun 1945, seorang asal Portugis bernama Manuel Pinto menggambarkan Danau
Besar tersebut dapat dilalui oleh sebuah kapal layar Portugis yang panjang dan
dilengkapi deretan dayung di kedua sisinya (futsa
besar). Ukuran danau tersebut digambarkan lebarnya lima legua Portugis dan panjangnya 20 legua Portugis (lebarnya sekitar 25 km dan panjangnya 100 km
menurut Pelras). Dalam bahasa Bugis, Danau Besar dinamai “Tappareng Karaja” yang artinya Danau Besar, sementara dalam bahasa
Makassar Danau Besar tersebut dinamai “Tamparang
La’baya” yang artinya laut air tawar. Masyarakat Bugis mengartikan kata “tappareng” dengan kata danau, sementara
masyarakat Makassar mengertikan kata “tamparang”
dengan kata laut. Terlepas dari perbedaan pengertian antara suku Bugis dan
Makassar, pemberian nama oleh kedua suku yang berada di sekitar danau tersebut
membenarkan keberadaan danau yang sangat besar di masa lalu. Sedemikian
besarnya hingga suku Makassar menyamakannya dengan Laut.
Tidak banyak informasi sejarah yang menjelaskan mengapa pendangkalan Danau
Besar bisa terjadi. Informasi sejarah pendangkalan Danau Besar yang ada hanya
dimulai pada abad ke-14. Pendangkalan yang menyebabkan perubahan kondisi geografi
Danau Besar dikisahkan oleh Pelras (2006:11) yaitu:
“sejak
sekitar abad ke-14 Masehi, penebangan hutan secara luas, pembukaan lahan
pertanian secara terus menerus di dataran rendah dan lembah, ditambah pembukaan
atau perluasan lahan perkebunan dan penanaman palawija dengan sistem ‘tebang
bakar’ atau ‘babat-bakar’ yang terlalu intensif di perbukitan dan di
pegunungan, telah menyebabkan perbukitan gundul, lembah tandus serta musnahnya
berbagai jenis flora. Hal itu pada gilirannya merupakan penyebab terjadinya
erosi yang parah dan pendangkalan danau serta muara sungai”
Pada bagian lain, Pelras
(2006: 74) menyebutkan:
“Selama
berabad-abad aliran lumpur dalam jumlah yang besar yang terbawa arus sungai
Saddang, Walanae, dan Bila mengubah ‘Danau Besar’ (Tappareng Karaja) di abad
ke-16 itu menjadi tiga danau lebih kecil dan lebih dangkal”
Dari
informasi sejarah yang diungkapkan oleh Pelras, dapat ditarik kesimpulan bahwa
proses pendangkalan terjadi akibat erosi dan sedimentasi yang disebabkan oleh
aktivitas manusia. Bahkan setelah enam abad kemudian, erosi dan sedimentasi
masih terus berlanjut yang tentu saja disebabkan karena aktivitas yang
menyebabkan erosi dan sedimentasi juga masih terus berlanjut. Jika
demikian halnya, maka Danau Tempe ke depan hanya akan ada dalam teks-teks
sejarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar