sumber gambar: http://www.tumblr.com/search/caknun |
Pasca reformasi,
sejumlah kebebasan dijamin oleh pemerintah, diantaranya: kebebasan berkumpul dan berserikat, kebebasan mengeluarkan pendapat,
kebebasan memilih dan dipilih serta kebebasan lain-lain. Jika kita memberikan
penilaian kepada kebebasan-kebebasan itu maka sebagian diantaranya akan
dinilai dengan melebihi skor ideal atau
dengan kata lain sebagian diantaranya justru kebablasan.
Kembali melihat
perjalanan sejarah kebebasan di Indonesia maka tidak akan terlepas dari
cerita-cerita otoritarianisme yang terjadi di Indonesia pada masa orde baru.
Kebebasan-kebebasan dikekang sehingga masyarakat merasa sesak dengan kekangan
itu. Sampai akhirnya tekanan yang diberikan mencapai batas maksimalnya dengan
perlawanan menuntut kebebasan. Pemerintah pada saat reformasi mengabulkan
keinginan masyarakat dengan memberikan kebebasan yang seluas-luasnya bagi
masyarakat dalam banyak hal maka terjadilah euforia kebebasan.
Masyarakat yang
terlampau nyaman dengan kebebasannya akhirnya melupakan prinsip dasar kebebasan
dalam demokrasi yaitu kebebasan yang tetap terbatas. Batas kebebasan ini dapat
dianalogikan dengan pagar dari sebuah ruang. Dimasa orde baru, masyarakat
dipagari dengan pagar yang sempit sehingga semua yang berada di dalamnya terpaksa harus berimpitan dan berdesak
desakan. Jelas rasa sesak yang muncul pada saat itu mendorong untuk menuntut
kebebasan. Tuntutan kebebasan inilah yang salah diartikan oleh pemerintah.
Tuntutan kebebasan selayaknya diartikan dengan memperluas pagar dari sebuah
ruang sehingga masyarakat yang berada didalamnya merasa sedikit lega dengan
ruang yang mulai meluas. Yang terjadi justru bukan pagarnya yang diperluas
melainkan pagarnya dihilangkan.
Masyarakat yang
tadinya berdesak desakan akhirnya berhamburan keluar begitu pagarnya
dihilangkan. Terjadilah yang kita sebut sebagai kebebasan yang kebablasan. Masyarakat yang
sudah terlampau jauh keruang bebas akhirnya menjadi sulit untuk kembali
dihimpun kesebuah ruang yang meiliki batas. Kecenderungan seperti ini terlihat
dalam kasus-kasus penolakan terhadap undang-undang keamanan negara,
undang-undang intelejen, undang-undang ormas dll.
Masyarakat yang
sudah terlanjur nyaman berada diruang bebas tiba-tiba ingin dimasukkan kedalam
ruang yang memiliki pagar maka tidak heran kemudian jika yang terjadi adalah
resistensi-resistensi atas nama kebebasan. Jika kita menyimak argumen-argumen
masyarakat pihak menolak undang-undang tersebut diatas maka sebagian besar
argumennya didasarkan pada kata kebebasan.
Kiranya penting
untuk mendudukkan kebebasan pada hakekat keberadaannya dalam kehidupan sosial
kita. Kebebasan bermasayarakat merupakan derivasi langsung dari demokrasi yang
menjadi pilihan bernegara menggantikan sistem ortitarianisme. Maka perlu
dilihat azas-azas demokrasi yang dapat dijadikan pedoman dalam melihat
batas-batas kebudayaan itu sendiri. Kepastian hukum dalam logika demokrasi
merupakan hal yang penting untuk membatasi kebebasan. Pilihan menjadi negara
hukum adalah pilihan yang dilakukan dengan azas kesadaran dan kebebasan
tertinggi sehingga tunduk pada hukum, betapapun kerasnya hukum tersebut, juga
merupakan perwujudan dari demokrasi sepanjang hukum itu merupakan hal yang
diinginkan melalui proses demokrasi. Bahkan secara ekstrim dapat pula dikatakan
bahwa dalam model kerajaan pun masih dapat disebut demokratis sepanjang itu
menjadi kesepakatan dan keyakinan bersama dari seluruh masyarakat. Model ini
terlihat pada sistem pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dari asumsi seperti
ini bahwa jelas kebebasan pun harus tunduk pada hukum. Ini menjadi batas-batas
kebebasan yang mutlak. Jadi dilema antara azas kebebasan dan hukum seharusnya
diselesaikan dengan menempatkan hukum lebih tinggi dari kebebasan itu
sendiri. Dalam perumusan kebijakan yang
bersifat membatasi kebebasan yang terlampau jauh, harus lebih didasarkan pada
pertimbangan hukum ketimbang pertimbangan kebebasan. Meskipun hukum tidak
selalu mebatasi tetapi dapat pula membebaskan, namun dalam diskursus masalah
kebijakan pembatasan maka hukum harus lebih dominan untuk membatasi.
Azas demokraasi
yang lain adalah persamaan. Disini persamaan dapat dijadikan sebagai dasar
dalam membatasi kebebasan. Dilema antara persamaan dan kebebasan harusnya
dijawab dengan kembali merujuk kepada kecenderungan model demokrasi yang
dianut. Demokrasi liberal jelas akan mengedepankan aspek kebebasan daripada
persamaan dan sebaliknya demokrasi sosial akan mengedepankan persamaan
ketimbang kebebasan. Lalu dalam konteks Indonesia, persamaan seharusnya
mendapat posisi yang lebih layak untuk dipertimbangkan. Alasannya, karena jelas
persamaan lebih dekat dengan keadilan sosial yang merupakan salah satu dasar
negara ini. Keadilan sosial berarti tidak adanya jurang perbedaan sosial yang
terlampau jauh diantara masyarakat. Tidak boleh ada sekelompok orang yang
terlalu kaya dan ada sekelompok lainnya yang terlampau miskin. Dengan demikian,
pembatasan kebebasan kepemilikan juga harus segera menjadi perhatian pembuat
kebijakan. Ini tidak berarti bahwa membatasi seseorang untuk memiliki sesuatu
tetapi penekanannya pada pembatasan seseorang memiliki sesuatu secara
berlebihan guna menghindari ketimpangan sosial. Kebijakan pajak progresif yang
diterapkan di negara-negara Eropa dalam membatasi hak kepemilikan merupakan
kebijakan yang penting untuk diadopsi di Indonesia.
Hukum dan persamaan
merupakan dua hal yang dijadikan pembatas dari kebebasan. Hukum menjadi dasar
agar kebebasan tidak kebablasan dan mengganggu kebebasan orang lain sedangkan
persamaan menjadi dasar agar tidak terjadi jurang yang terlampau jauh diantara
masyarakat yang terlanjur memilih demokrasi sebagai sistem bernegaranya.
Terlepas dari kedua
batas diatas, ada hal lain yang perlu dicermati mengenai masalah batasan.
Batas-batas yang dibahasakan diatas adalah batas-batas maksimal kebebasan. Hal
lain yang sangat jarang diulas adalah batas minimal kebebasan. Pasca pagar
pembatas dihilangkan, masyarakat berhamburan keluar untuk menikmati kebebasan
tetapi tidak semua masyarakat melakukan hal serupa. Diantara mereka masih ada
yang tidak beranjak dan ikut menikmati euforia kebebasan. Masyarakat yang
berhamburan keluar bisa dipastikan adalah mereka-mereka yang telah memiliki
energi yang untuk berlari jauh keluar meninggalkan batas yang telah hancur.
Mereka-mereka adalah orang yang berpendidikan dan berkemampuan ekonomi yang
cukup untuk melejit keluar mencari kebebasan. Sementara mereka yang tinggal diam
adalah mereka yang lemas dan tanpa daya. Mereka yang semasa orde baru hingga
reformasi masih tertinggal dari segi pendidikan dan kemampuan ekonomi. Tanpa
tenaga untuk bergerak, mereka tentu hanya bisa diam ditempat dan menonton
orang-orang bereforia kebebasan. Bagi mereka, ada pagar atau pun tidak ada pagar
pembatas adalah sama saja. Lebih penting bagi mereka untuk mencari tenaga
bertahan untuk mampu tetap berdiri.
Ini berarti bahwa
batas minimal kebebasan yang pertama adalah kebebasan dari kemiskinan dan
kebodohan. Masyarakat miskin dan berpendidikan rendah tidak begitu peduli
dengan kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat, berserikat dll. Mereka
lebih peduli dengan membebaskan dirinya dari kebutuhan hidup hari demi hari.
Hari ini bebas, besok kembali berjuang untuk bebas.
Menjadi tugas berat
bagi pemerintah dalam mengurusi masalah kebebasan. Di satu sisi membebaskan
masyarakat dari kemiskinan dan disisi lain membatasi masyarakat yang terlampau
jauh kebablasan. Agar kebebasan menjadi seimbang, maka batas-batas minimal dan
batas-batas maksimal kebebasan harus diperhatikan secara seimbang pula oleh
pemerintah. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan harusnya tidak hanya fokus
mendorong terciptanya regulasi pembatasan kebebasan dalam artian batas maksimal tetapi
perlu juga untuk berbenah diri dalam upaya pemenuhan batas minimal kebebasan
bagi masyarakat yang tidak mampu membebaskan dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar