Sumber: http://www.poppydharsono.com
Gambar diatas menunjukkan betapa tidak
merdekanya Indonesia dalam bidang energi. Hampir semua wilayah kekayaan migas
Indonesia digarap oleh pihak asing khususnya Amerika. Menjadi semakin unik
karena gambar yang sangat profokatif ini bersumber dari BPH Migas. Tafsir yang
muncul kemudian meyakinkan bahwa ada sesuatu yang salah dengan semua ini.
Bangsa Indonesia sendiri sadar akan tidak berdaulatnya dalam bidang migas
tetapi seolah-olah tidak mampu berbuat apa-apa menghadapi semua itu. Jawaban
paling singkat atas fenomena tersebut yaitu besarnya intervensi asing dalam
kebijakan energi di Indonesia.
Salah satu kajian yang bisa memberikan
gambaran atas fenomena tersebut yaitu kajian terhadap konsep good governance. Kata yang sudah sangat
akrab dengan telinga hampir semua ruang-ruang hidup. Kata yang fasih dilafaskan
bahkan oleh orang-orang yang tidak memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi.
Pembahasan lebih lanjut tentang good
governance ini akan dibahas dengan terlebih dahulu mengungkapkan bagaimana
sejarahnya serta adakah pihak yang berkepentingan dengan konsep tersebut.
Bagian selanjutnya akan melihat bagaimana penerapannya di Indonesia khususnya
dalam masalah kebijakan energi.
Konsep Governance:
Tinjauan Sejarah dan Kepentingan
Kata governance dan government merupakan
dua kata yang sering sekali dipertukarkan. Banyak ilmuan atau praktisi yang
menggunakan kata tersebut secara bergantian pada satu konteks yang sama. disini
perlu diperjelas perbedaan antara term governance
dan governance. Term Governance menurut kamus Oxford online
yaitu: “the action or manner of governing
a state, organization, etc”, sedangkan dalam New Webster’s International Dictionary (Pratikno dalam jurnal ilmu sosial
dan ilmu politik 2005: 234) mengartikan governance
sebagai: ‘act, manner, office, or power
of governing’, atau ‘methods of
government or regulation’. Kedua definisi tersebut menunjukkan bahwa governance merujuk pada aktivitas dari
pemerintah. Sedangkan kata government itu
sendiri berarti pemerintah. Jadi government
merujuk kepada pemerintahnya sedangkan governance
merujuk kepada aktivitas pemerintah.
Jika dirunut sejarah konsep governance dan governent, maka dua definisi kamus di atas terbilang sangat
sederhana. Setelah tahun 1980-an kata governance
muncul untuk menggantikan kata governing
dalam agenda reformasi pemerintahan. Seppo Tiihonen (2004) menggambarkan: “when governing refers to constitued policies
of state actors backed by formal authority to use monopolized coercive powers,
governance suggest more to activities backed by shared goals that may or may
not derive from legal and formal authority.” Kata governance digunakan dalam reformasi pemerintahan dari yang
sebelumnya kaku dan formal menjadi lebih fleksibel. Gambaran yang lebih jelas
diungkapkan oleh Pratikno (2005) yang disadur dari Pendapat Rhodes mengenai
tujuan penggunaan kata governance. Diungkapkan
bahwa:
“Istilah government
reform, democracy dan sejenisnya, dianggap telah mengalami inflasi dan
tidak mampu menarik perhatian untuk menggerakkan semangat reform. Oleh karena itu, diperlukan kemasan baru government reform kali ini berbeda
dengan reform yang ada sebelumnya.
Istilah governance digunakan untuk
menegaskan signifikansi perlunya arah dan semangat baru reformasi pemerintahan.
Istilah governance telah digunakan
untuk menegaskan signifikansi perubahan proses, metode dan capaian
kepemerintahan.”
Paparan Praktikno memberikan gambaran
penggunaan term governance dalam
reformasi pemerintahan merupakan upaya re-simbolisasi atas term government yang sudah menjadi simbol
negatif dalam praktek pemerintahan. Praktek pemerintahan yang negatif disini
yaitu praktek pemerintahan yang kaku dan sangat formal diubah menjadi
pemerintahan yang lebih fleksibel.
Kronologis
transformasi government ke governance terjadi sepanjang abad ke-20
yang secara kronologis berlangsung melalui beberapa tahap. Tahap I adalah era
abad ke-20 yang ditandai dengan konsolidasi pemerintahan demokratis (democratic government) di Dunia Barat.
Tahap ke II berlangsung setelah Perang Dunia I, yang ditandai dengan semakin
menguatnya peran pemerintah. Era ini merupakan masa dimana negara dilihat
sebagai kendaraan yang tangguh untuk membawa perubahan sosial dan pembangunan
ekonomi. Tahap ke III, era tahun
1960-1970an, Perhatian dunia barat beralih ke negara-negara dunia ketiga. Era
ini adalah saat dimana perluasan proyek developmentalisme (moderenisasi) yang
dilakukan oleh dunia barat di dunia ketiga dengan melancarkan pendalaman
kapitalisme. Pada saat yang sama, hadir rezim otoritarian di kawasan Asia,
Amerika Latin dan Afrika sehingga kapitalisme justru mendukung otoritarianisme.
Tahap ke IV memasuki dekade 1980-an, ditandai dengan krisis ekonomi dan
finansial negara yang melanda dunia yang mendorong munculnya cara pandang baru
terhadap pemerintah. Pemerintah dimaknai bukan sebagai solusi terhadap problem
yang dihadapi melainkan justru sebagai
akar masalah krisis, karena itu penyesuaian struktural yang lahir dalam bentuk
deregulasi, prifatisasi, dan pelayanan publik yang berorientasi pasar berkembang
pesat. Perkembangan isu-isu ini menandakan kemenangan neoliberal yang sejak
lama menghendaki peran negara secara minimal, sekaligus kemenangan pasar dan
swasta. Pada saat yang sama, rezim-rezim otoritarian mulai runtuh satu persatu
melalui gelombang demokratisasi. Tahap ke V adalah era 1990-an dimana
demokratisasi (yang sudah dimulai dekade 1980-an) berkembang pesat seantero
jagad yang dimotori oleh lembaga-lembaga dunia yaitu IMF dan World Bank (AAGN
Ari Dwipayana dan Suroto Eko 2003: 2-6).
Berkembangnya
konsep governance berdasarkan uraian
sejarah dari Dwipayana dan Suroto tidak terlepas dari dominasi salah satu
ideologi dunia yang muncul sebagai pemenang dari perang ideologis di masa lalu.
Ideologi kapitalisme dengan wajah baru yaitu neoliberalisme berhasil bertahan
dan menjadi ideologi tunggal yang
mencengkram dunia. Ideologi neoliberalisme sebagaimana diungkapkan
diatas mengharuskan minimalisasi peran negara dalam bentuk deregulasi,
privatisasi dan pelayanan publik yang berorientasi pasar. Ini berarti
mengharuskan negara bertransformasi menjadi lebih fleksibel dan konsep demikian
sejalan dengan konsep governance yang
diungkapkan oleh Seppo Tiihonen.
Meskipun
demikian, term governance menjadi
populer setelah dipublikasikan secara massif oleh Bank Dunia sejak tahun 1989. Eko
Prasojo dan Teguh Kurniawan mengungkapkan:
“Terminologi governance menjadi lebih
mengemuka dengan adanya studi yang
dilaksanakan oleh bank dunia pada tahun 1989... Sejak publikasi bank dunia
tersebut terminologi governance
menjadi populer dan dijadikan sebagai kriteria dalam bantuan pembangunan kepada
negara-negara berkembang” (2008:4)
Agresifitas Bank Dunia dalam
mengkampanyekan konsep governance ini
terlihat dalam penyesuaian kelembagaan sebagai prasyarat untuk mendapatkan
bantuan pembangunan. Untuk mendapatkan bantuan dari Bank Dunia, setiap negara
harus menyesuaikan tata kelembagaannya berdasarkan kriteria yang dikeluarkan
oleh Bank Dunia. Untuk memperlancar transformasi pemerintahan di negara calon
penerima bantuan, Bank Dunia mengutus seorang konsultan untuk mengasistensi
perubahan tata kelembagaan negara penerima bantuan tersebut. Selain itu,
negara-negara tersebut juga berinisiatif mengundang agen-agen Bank Dunia untuk
memberikan pelatihan kepada pejabat publik di negaranya masing-masing sebagai
langkah penyesuaian kelembagaan.
Penyesuaian
kelembagaan yang disyaratkan oleh bank dunia dirumuskan sebagai kriteria good governance. Kriteria kemudian ini
dikenal sebagai Washington Consensus
karena perumusannya dilakukan di Washington DC oleh tiga lembaga keuangan besar
yaitu World Bank, IMF dan Departemen
Keuangan Amerika Serikat. Dalam Washington
Consensus, pemerintah dikatakan baik apabila memenuhi kriteria berikut:
- Disiplin
Fiskal
- Konsentrasi
belanja publik pada barang-barang publik termasuk sektor pendidikan, kesehatan
dan infrastruktur
- Reformasi
perpajakan dengan memperluas basis pajak dengan tarif pajak moderat
- Bunga
bank yang dikendalikan oleh mekanisme pasar
- Nilai
mata uang yang kompetitif
- Liberalisasi
perdagangan
- Keterbukaan
terhadap infestasi asing
- Privatisasi
perusahaan negara dan daerah
- Deregulasi
atau penghapusan regulasi yang menghambat pasar asing atau membatasi kompetensi
kecuali yang bisa dibenarkan untuk kepentingan keamanan, lingkungan,
perlindungan konsumen atau keperluan pengawasan finansial
- Jaminan hukum untuk kepemilikan
(Hayami dalam Pratikno, 2005)
Kesepuluh
point Washington Consensus diatas
semakin memperkuat keidentikan konsep governance
dengan Neo-Liberalisme. Kriteria
deregulasi, privatisasi dan mekanisme pasar yang merupakan prinsip dari
neoliberalisme dengan jelas tertera dalam kriteria good governance diatas. Jika negara-negara yang membutuhkan bantuan
dari Bank Dunia dengan sukarela ataupun dengan terpaksa harus menyesuaikan tata
pemerintahannya berdasarkan kriteria good
governance dari washington consesus maka
berarti juga negara-negara tersebut juga mau tidak mau menerima ideologi
neoliberalisme.
Salah
satu faktor lain yang menyebabkan konsep governance
ini berkembang pesat yaitu dengan adanya hegemoni konsep yang lebih operasional
khususnya dalam wacana keilmuan pemerintahan ataupun administrasi publik.
Hughes (dalam Pratikno, 2005) mengungkapkan “pada tataran low middle rank theory tentang administrasi publik, gagasan good governance versi ini dikembangkan
oleh beberapa gagasan seperti New Public
Management, Market Based Public Administration, Entrepreneurial Government, dan
sejenisnya. Konsep-konsep tersebut merupakan konsep yang memasukkan logika
pasar dalam pengelolaan administrasi publik. Pada umumnya, praktisi maupun
akademisi administrasi publik selalu menggunakan kata “sudah” bagi pemerintah
yang menerapkan New Publik Management. Penggunaan istilah “sudah” tersebut
menunjukkan sikap pengharapan dan pengagungan bagi konsep New Public Management sebagai konsep ideal pemerintahan. Demikian
pula konsep Reiventing Government
karya Osborne dan Gablaer yang merupakan konsep utama dalam New Public Manegement telah menjadi
kitab wajib yang harus dihafalkan oleh penggiat administrasi publik baik itu dikalangan
mahasiswa maupun pegawai-pegawai dalam diklat-diklat pemerintah.
Baik
dalam perspektif sejarah, Washington
Consesus, dan wacana keilmuan administrasi publik; konsep governance selalu menunjukkan
keidentikannya dengan ideologi neoliberalisme. Konsep minimal state,
deregulasi, privatisasi, penggunaan mekanisme pasar merupakan konsep yang
ditemui di keduanya. Untuk mengetahui pola relasi dari konsep governance dan neoliberalisme maka
menjadi penting untuk mengkaji lebih lanjut mengenai ideologi neoliberalisme.
Konsep
neoliberalisme menemukan moment yang tepat untuk berkembang. Sebelumnya, di
Amerika dan Eropa menerapkan model ekonomi keynesian dimana pemerintah memegang
kendali terhadap pasar . Pada da tahun 1973, negara-negara Arab, produsen utama
minyak dunia membentuk kartel yaitu OPEK sehingga menyebabkan harga minyak
melambung tinggi. Kenaikan harga minyak menyebabkan kenaikan harga-harga dan
upah-upah yang berujung pada resesi ekonomi. Disaat seperti inilah para
penganut aliran neoliberalisme mengeluarkan kritik kepada kebijakan ekonomi
keynesian yang dianggapnya menjadi sumber masalah tersebut.
Tiga
point kritikan dari penganut aliran neoliberalisme kepada aliran keynesian yaitu:
pertama, intrevensi negara menghalangi
ekonomi pasar untuk berfungsi sebagaimana mestinya. Selain itu mereka
menyatakan bahwa peningkatan belanja publik Keynesian dianggap menciptakan
terlalu banyak demand, dan karenanya
menjadi sebab timbulnya inflasi yang meluas. Kedua, kelompok penganut neoliberalisme menggugat program-program
kesejahteraan dan welfare state yang
ditawarkan oleh kebijakan keynesian karena dianggap sebagai bentuk
ketidakadilan. Ketiga, pengagungan
terhadap pasar. Setelah melakukan kritik terhadap fondasi kebijakan ekonomi
keynesian, kelompok neolieralisme menekankan arti penting pasar bagi penciptaan
kesejahteraan umat manusia (Budi Winarno, 2009: 88-90).
Point
pertama kritikan neoliberalisme terhadap keynesian menghasilkan prinsip minimal
state yaitu mengurangi peran dan belanja negara. Untuk itu, privatisasi menjadi
pilihan yang dilakukan oleh Reagan dan Thatcher sebagai pendukung
neoliberalisme terhadap fungsi-fungsi atau lembaga negara. Prinsip kedua
menekankan pada pengurangan subsidi kepada masyarakat miskin. Sedangkan prinsip
ketiga yaitu penerapan mekanisme pasar dalam urusan pemerintahan. Penerapan
prinsip-prinsip neoliberalisme pada masa kepemimpinan Reagan dan Thatcher
ternyata berdampak positif dan menyelamatkan Amerika dan Inggris dari depresi
ekonomi bahkan mengantarkan kedua negara tersebut menjadi negara yang paling
mulai saat itu. Pengurangan pajak yang merupakan salah satu point dalam
neoliberalisme berhasil mendorong pertumbuhan perusahaan-perusahaan di kedua
negara tersebut dalam skala besar-besaran yang saat ini dikenal sebagai
perusahaan multinasional atau transnasional.
Keberhasilan
neoliberlisme di kedua negara tersebut mendorong mereka untuk memperjuangkan
liberalisasi dan perdagangan bebas dunia. Didukung oleh para pengambil
kebijakan di lembaga-lembaga dunia (GAAT/WTO, IMF, dan Bank Dunia) serta
pengambil kebijakan publik di negara-negara maju, pikiran-pikiran kelompok ini
menjadi ideologi dominan dalam usahanya menciptakan liberalisasi perdagangan
dan investasi di seluruh dunia (Budi Winarno, 2009:93). Senjata ampuh yang
mereka ciptakan adalah Washington
Consensus sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, dan alat ampuh yang
mereka manfaatkan dan rekayasa adalah globalisasi.
Globalisasi
merupakan sebuah fenomena yang multi perspektif. Oleh karena itu globalisasi
dapat dimanfaatkan dan direkayasa tergantung pada perspektif yang digunakan.
Globalisasi dalam konteks dimanfaatkan merujuk pada globalisasi dalam
perspektif perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang telah masuk
sangat dalam ke setiap dimensi kehidupan sehingga menghubungkan semua manusia
dalam sebuah komunitas global tanpa batas. Globalisasi dalam konteks direkayasa
yaitu dalam perspektif pemaksaan yang dilakukan oleh bank dunia agar
negara-negara penerima bantuan membuka pasarnya untuk komunitas global.
Sehubungan dengan rekayasa globalisasi ini, Thahtcher sendiri menggunakan
istilah TINA, kepanjangan dari There is
No Alternative – tidak ada pilihan lain (dalam Amin Rais, 2008:17). Lebih
lanjut, Amin Rais (2008) menjelaskan:
“Maksudnya, tidak ada alternatif lain bagi
globalisasi; bagi WTO; World Bank,
dan IMF; bagi ekonomi pasar bebas; bagi kapitalisme; bagi kuasa koorporasi;
bagi monopoli media yang telah di merger; bagi hegemoni politik dan supremasi
ekonomi barat. Tidak Ada Alternatif Lain bagi itu semua. Semua negara harus
memahami dan menyesuaikan diri dengan TINA tersebut.”
Penekanan Thacher dan penjelasan Amin
Rais menunjukkan betapa kuatnya pengaruh kaum neoliberalisme dalam merekayasa
globalisasi sehingga tidak bisa tidak semua negara harus mengaminkan
globalisasi yang mereka kreasi.
Menurut
George A. Steiner dan Jhon F. Steiner (dalam Budi Winarno 2009:30-31),
globalisasi yang berjalan cepat di saat ini di dorong oleh tiga kekuatan yaitu:
pertama, produk nasional kotor tumbuh dan meningkat dengan cepat terutama di
negara-negara maju. Kedua: revolusi dalam teknologi komunikasi dan ketiga:
kekuatan-kekuatan yang mempermudah munculnya perusahaan – perusahaan besar
berskala global seperti modal-modal besar, pasar-pasar tidak tetap, perkembangan ilmu
manajemen dll. Dari poin pertama, kita dapat mengetahui kepentingan besar yang
bermain dalam rantai besar neoliberalisme, globalisasi dan governance. Ketika perusahaan-perusahaan lokal di negara-negara
maju berlomba-lomba untuk memproduksi barang dan jasa dalam skala besar-besaran
sedangkan target pasar dalam negerinya kurang yang disebabkan karena jumlah
penduduknya sedikit maka diperlukan pangsa pasar baru yang lebih luas yaitu
dunia Internasional. Untuk tujuan itu, perusahaan-perusahaan tersebut melalui
corong pemerintah dan lembaga-lembaga dunia dengan gencar mempromosikan satu
paket ideologi beserta konsep praktisnya lengkap dengan medianya. Satu paket
yang dimaksud yaitu ideologi neoliberalisme, konsep praktisnya dalam
pemerintahan berupa good governance dan medianya yaitu
globalisasi.
Dalam
bagian sebelumnya telah dipaparkan bahwa untuk mendapatkan bantuan dari Bank
Dunia ataupun lembaga-lembaga donor Internasional lainnya, negara calon
penerima bantuan harus menerima asistensi
dari agen atau konsultan yang di utus oleh lembaga internasional
tersebut. Konsultan inilah yang menjadi aktor utama yang memastikan
kepentingan-kepentingan Amerika Serikat ataupun koorporasi besar di Amerika
bisa diinjeksikan ke negara-negara penerimaa donor lembaga Internasional.
Pengakuan Jhon Perkins, mantan konsultan dari Amerika Serikat menunjukkan
bagaimana mekanisme kerja mereka dalam memuluskan kepentingannya. Budianto
Shambazy (dalam Jhon Perkins, 2007):
“Tugas pertama Jhon Perkins adalah
membuat laporan-laporan fiktif untuk IMF dan World Bank untuk mengucurkan utang
luar negeri kepada Negara-Negara Dunia Ketiga. Tugas kedua Perkins
membangkrutkan negara penerima utang. Setelah tersandra oleh utang yang
menggunung, negara pengutang agar, misalnya, mendukung pemerintah AS dalam
voting di Dewan Keamanan PBB. Bisa juga negara pengutang dipaksa menyewakan
lokasi untuk pangkalan militer AS. Sering terjadi korporatokrasi memaksa
pengutang untuk menjual ladang-ladang minyak mereka kepada MNC (Multi Nasional
Corpopration) milik negara-negara barat.”
Apa yang digambarkan Budianto Shambazy
dalam pengantar buku yang ditulis
sendiri oleh Jhon Perkins ini menunjukkan bagaimana cara negara-negara maju
memaksakan kepentingan mereka kepada negara-negara dunia ketiga. Cara kerja
mereka ini tidak ubahnya seperti penjajahan di masa kolonial tetapi dengan
cara-cara yang lebih elegan. Lebih lanjut, Jhon Perkins (2004) sendiri
mengakui:
“Itulah kami para EHM upayakan dengan sebaik-baiknya: kami membangun kekuasaan
global. Kami adalah sekelompok laki-laki dan perempuan elit yang memanfaatkan
organisasi keuangan internasional untuk menimbulkan kondisi yang menyebabkan
bangsa-bangsa lain tunduk pada corporatocracy
yang menjalankan korporasi kami yang paling besar, pemerintah kami dan
perbankan kami. Seperti rekan sejawat kami di mafia, para EHM bermurah hati. Ini berbentuk pinjaman untuk mengembangkan
infrastruktur – pembangkit tenaga listrik, jalan raya, pelabuhan, bandar
udara, atau kawasan industri. Sebuah syarat pinjaman semacam itu adalah
perusahaan rekayasan dan konstruksi dari negara kamilah yang mesti membangun
semua proyek itu. Pada hakiktanya, sebagian besar uang itu tidak pernah
meninggalkan Amerika Serikat; uang itu hanya di transfer dari perbangkan di
Washington ke kantor bagian rekayasa di New York, Houston atau San Fransisco.”
Para mafia atau Economic Hit Men (EHM)
berdandan dengan cantik dalam bahasa agen atau konsultan dari lembaga-lembaga
internasional. Tugas mereka pun didandani dengan bahasa asistensi atau penataan
struktur padahal yang terjadi sebenarnya adalah lobi atau lebih tepatnya
pemaksaan kehendak pemerintah dan korporasi AS untuk menyuntikkan
kepentingannya di negara-negara penerima donor yang ternyata lebih tepat
disebut sebagai pinjaman. Jhon Perkins sebagai mantan EHM menunjukkan kepada dunia bagaimana mekanisme yang digunakan
dalam pemberian pinjaman luar negeri hanya menguntungkan negara AS dan
korporasinya, sebaliknya merugikan dan mencekik negara yang menerima pinjaman.
Jika hasil kajian ini digunakan untuk
kembali melihat point-point good
governance yang dirumuskan dalam Washington
Consensus maka akan menjadi jelas kepentingan apa dan siapa yang melandasi
setiap rumusan tersebut. Point kedua misalnya yaitu konsentrasi belanja publik
pada barang-barang publik termasuk sektor pendidikan, kesehatan dan
infrastruktur. Point ini landasan ideologisnya yaitu neoliberalisme yang sangat
alergi dengan subsidi kepada masyarakat miskin dengan dalih untuk mengurangi
laju inflasi, untuk itu belanja publik disarankan dialihkan pada barang-barang
publik misalnya pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Kepentingan dari poin
ini, seperti yang di gambarkan Perkins yaitu agar perusahaan-perusahaan mereka
yang bergerak dalam jasa tersebut mendapatkan proyek pembangunan di
negara-negara penerima bantuan melalui lobi EHM.
Begitu pula dengan point-point yang mengharuskan negara calon penerima pinjaman
untuk membuka pasarnya bagi dunia intrenasional, menerima infestasi asing, dan
mereformasi pajaknya tidak lain dilandasi oleh ideologi neoliberalisme yang
mengagungkan pasar dan kepentingan memperluas pemasaran produk dalam negeri
mereka yang sudah membludak dan tidak mampu lagi di serap oleh pasar lokalnya serta
kepentingan memperluas cengkraman perusahaan multinasional mereka di
negara-negara dengan upah pekerjanya lebih murah.
Untuk kepantingan yang lebih jauh
yaitu memastikan pinjaman yang diberikan kepada negara-negara penerima pinjaman
digunakan secara efektif, Bank Dunia maupun lembaga-lembaga internasional lain
mengeluarkan azas-azas good governance
yang berupa transparansi, akundabilitas, partisipasi, demokrasi, kepastian
hukum dll. Azas-azas tersebut juga tidak terlepas dari muatan kepentingan.
Transparansi dan akuntabilitas dimaksudkan agar penggunaan dana yang diberikan
tidak disalahgunakan seperti di korupsi karena juga merugikan negara-negara
pendonor. Azas kepastian hukum juga dimaksudkan untuk menjamin keamanan anak
perusahaan mereka di negara tempat mereka berinfestasi. Begitu pula azas
demokrasi dimaksudkan karena negara dengan pemikiran masyarakatnya yang terbuka
lebih mudah dipengaruhi untuk menerima ideologi yang mereka sosialisasikan. Hal
tersebut semakin mudah dilaksanakan pada masyarakat demokratis dengan tingkat
pendidikan dan pengetahuan yang masih rendah karena masyarakat yang demikian
akan dengan mudahnya direkayasa pandangannya untuk menyetujui ideologi
tertentu.
IMPLEMENTASI Governance di Indonesia
Konsep
governance di dunia telah merasuki
pemerintahan Indonesia baik secara koseptual maupun secara kontekstual.
Membahas sedemikian banyank konsep tersebut tentu membutuhkan waktu dan kajian
yang lebih intens. Untuk itu tulisan ini hanya akan memfokuskan implementasi governance di Indonesia dalam aspek keterbukaan
terhadap modal asing berdasarkan kriteria good
governance dari bank dunia.
Prinsip
keterbukaan terhadap infestasi asing telah mendapatkan legitimasi dalam bentuk
Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UUPMA) dan beberapa UU lain seperti UU
Migas. Masing-masing undang-undang ini sendiri sejak perumusan sampai
penetapannya banyak menuai protes dan penolakan dari masyarakat di seluruh
Indonesia. Berbagai argumen dan kiritik telah diberikan kepada pemerintah dan
DPR untuk tidak mengesahkan undang-undang tersebut seakan menjadi angin lalu
bagi lemabaga pemerintah tersebut. Hal ini semakin menguatkan indikasi bahwa
undang-undang ini merupakan titipan dari pihak asing.
Dampak
nyata dari prinsip keterbukaan terhadap infestasi asing ini dapat dilihat pada
kolom fokus dalam harian kompas (Jumat, 2 Novermber 2012: 34) yang membahas
penguasaan energi oleh pihak asing. Berdasarkan data yang bersumber dari BP
Migas per Mei 2012, PT Freeport Indonesia dan PT Newmont yang merupakan
perusahaan milik Amerika Serikat merupakan yang paling banyak menguasai sumber
energi di Indonesia. Perusahan asing lainnya diantaranya berasal dari Inggris
(British Petroleum), Prancis (Total), Norwegia (State Oil), Italia (ENI), dll.
Penguasaan perusahaan AS dan negara lainnya mencapai 70-80% atas energi dan sisanya dikuasai oleh
Pertamina dan Perusahaan dalam Negeri. Kerugian Indonesia dari kondisi ini
ditafsirkan oleh berbagai pengamat mencapai ratusan triliun.
Kerugian
yang diungkapkan para pengamat dalam jumlah ratusan triliun bukanlah kerugian
besar jika dibandingkan dengan kerugian dari perspektif kedaulatan bangsa.
Kembali menengok sejarah, kedaulatan bangsa dibayar dengan harga yang sangat
mahal yaitu penderitaan akibat penjajahan selama 350 tahun disertai dengan
hilangnya ribuan nyawa dalam upaya mencapai dan mempertahankan kemerdekaan.
Penguasaan secara massif sumber-sumber energi di Indonesia merupakan sebuah
bentuk penjajahan baru dengan metode yang lebih lembut. Ketidakberdayaan
pemerintah dalam menghadapi masalah ini merupakan sebuah gejala pelapukan
fungsi negara. Negara ada tapi tidak berdaya. Itulah yang terjadi dalam konteks
penguasaan sumber daya energi yang akarnya bersumber dari konsep keterbukaan
terhadap infestasi asing.
Dimata
bank dunia, pemerintahan seperti ini dianggap pemerintahan yang baik
berdasarkan kriteria good governance-nya. Namun perlu direfleksi kembali apakah negara
itu baik jika membiarkan rumahnya dirampok oleh orang lain? Apakah masih bisa
dikatakan negara jika kedaulatannya sudah tidak ada? Jawabannya jelas tidak. Penjelasannya
menggunakan konsep negara yang terdiri dari unsur penduduk, lokasi, pemerintah
dan kedaulatan. Dari konsep ini menggambarkan bahwa negara, pemerintah dan
kedaulatan merupakan satu paket yang berarti jika tidak ada kedaulatan maka
tidak ada negara dan jika tidak ada negara maka tidak ada pemerintah. Dari titik ini konsep good governance menunjukkan kecacaatan epistemologinya. Prinsip
penalaran meniscayakan non-kontradiksi dalam sebuah realitas. Tidak mungkin
sesuatu ada dan tiak ada sekaligus dalam sebuah ruang dan waktu yang bersamaan.
Begitu pula konsep negara dalam kriteria good
governance pada contoh kasus diatas menunjukkan bahwa negara dikatakan baik
berdasarkan konsep good governance jika
kedaulatannya tidak ada. Ini berarti menganggap pemerintah baik jika tidak ada.
Sungguh sebuah konsep ketatanegaraan yang irasional.
Meskipun
konsep governance terbukti cacat
epistemologi dan hanya merupakan konsep penjajahan baru tetapi menjadi
pertanyaan kemudian mengapa pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa? Berdasarkan
uraian pada bagian sebelumnya, dua jawaban yang mungkin ditemukan yang pertama
pada konsep NITA dari Tatcher yang mendeklarasikan bahwa tidak ada pilihan lain
bagi negara-negara kecuali tunduk pada mekanisme global yang sedang
berlangsung. Kedua, peran Economic Hit
Man yang berhasil melobi pimpinan-pimpinan pemerintahan entah dengan cara
sukarela atau pemaksaan. Sukarela disini berarti dengan menawarkan
keuntungan-keuntungan pribadi atau sebaliknya pemaksaan yang dapat berupa
ancaman kepada pemimpin pemerintahan ataupun organisasional dalam hal ini rezim
atau negara.
Kesimpulan
Sejarah
govenance tidak dapat dipisahkan dari
perkembangan neoliberalisme dan globalisasi. Puncak perkembangannya terjadi
mulai tahun 1980-an yaitu pada masa kepemimpinan Reagan di Amerika dan Thatcher
di Inggris. Proses kerja ketiganya yaitu basis neoliberalisme menjadi basis
ideologi dan wacananya, governance menjadi
metode taknisnya dalam pemerintahan dan globalisasi merupakan medianya.
Perjalanan sejarahnya juga menunjukkan dengan jelas siapa yang paling
diuntungkan dari proses globalisasi yang menyebarkan ideologi neoliberalisme
dan governance. Adalah
perusahaan-perusahaan multinasional yang paling banyak diuntungkan dari proses
perjalanan sejarah dunia yang cenderung berjalan unipolar ini.
Perusahaan-perusahaan multinasional tersebut menggunakan pemerintah Amerika
Serikat dan lembaga-lembaga internasional sebagai corongnya dalam mencengkram
dunia. Indonesia merupakan salah satu negara yang menjadi santapan empuk dari
proses perjalanan sejarah tersebut. Bukti faktual dari sektor pertambangan
menunjukkan ketidakberdayaan pemerintah Indonesia keluar dari pusaran global
tersebut. Nampak dengan sangat jelas siapa yang memegang kendali pertambangan
di Indonesia pada saat ini. Yang terjadi sekarang hanyalah akumulasi dari
penjajahan halus melalui hegemoni konseptual yang telah lama berjalan. Konsep
itu didandani dengan cantik dalam wujud “governance”.
Rujukan:
Dwipayana, AAGN Ari dan Sutoro Eko (Eds).
2003. Membangun Good Governance di Desa.
Yogyakarta: IRE Press.
Prasojo, Eko dan Teguh Kurniawan. 2008. Reformasi
Birokrasi dan Good Governance: Kasus Best Practice dari Sejumlah Daerah di
Indonesia. http://staff.ui.ac.id/
Perkins, Jhon. 2005. Confession of Economic Hit Man. Jakarta:
Abdi Tandur
Perkin, Jhon. 2007. Bandit Ekonomi; Kelanjutan Kisah Petualangannya di Indonesia dan Dunia
Ketiga. Jakarta: Ufuk Press.
Suhartono dan Anton Sanjoyo. “Penguasan
Energi: Ketika AS Menguasai Sumber Energi” Kompas. 2 November 2012. Hal. 34
Winarno, Budi. 2009. Pertarungan Negara Vs Pasar. Jakarta:
Media Presindo