Selasa, 14 Agustus 2018
Harari dan Hari-Hari yang Berat
Pelarian yang akan saya ceritakan kali ini adalah tentang karya Yuval Noah Harari. Saya memiliki dua buku fenomenal karya Harari, Sapiens dan Homo Deus. Orang-orang menyarankan membaca Sapiens dulu lalu Homo Deus. Saya tidak mengikuti saran itu. Saya membaca Homo Deus dan rencananya akan membaca Sapiens belakangan.
Buku ini menarik bagi saya karena saya memang selalu senang membaca tulisan yang menyajikan fakta sejarah untuk memahami masa kini dan masa depan. Itulah mengapa novel yang berkesan bagi saya selalu saja ada konteks sejarahnya seperti tetralogi buruh karya Pramudia, Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan, dan yang terbaru Laut Bercerita nya Leila S. Choduri. Buku Homo Deus ditulis dengan gaya bercerita seperti itu. Mulai dari sejarah, konteks masa kini dan proyeksi masa depan.
Harari bercerita bagaimana manusia di masa lalu kalah dengan wabah dan perang. Harari menyajikan data bagaimana wabah bisa menghabiskan lebih dari setengah populasi di sebuah negara di masa lalu. Informasi ini menarik bagi saya di tengah perdebatan tentang vaksin campak rubella. Kalau saja orang-orang membaca bagaimana wabah menghabiskan populasi di masa lalu, ide tentang vaksin akan lebih muda diterima dibandingkan ide-ide konspiratif.
Manusia saat ini adalah manusia yang berhasil mengalahkan hari-hari suram dari wabah dan perang yang berdampak buruk di masa lalu. Manusia mengembangkan vaksin serta sistem sosial yang pada akhirnya menghindarkan manusia pada penderitaan-penderitaan seperti masa lalu. Setelah melalui tahap bertahan hidup, manusia kini mencari sesuatu yang lebih dari sekedar perdamaian dan bebas dari wabah. Harari menyimpulkan bahwa kebutuhan manusia saat ini adalah untuk hidup abadi (immortal) dan bahagia. Setelah menang melawan virus, manusia mengupayakan agar hidup lebih lama. Jika memungkinkan, hidup selamanya. Untuk mencapai kebahagiaan, manusia menciptakan teknologi untuk mempermudah hidupnya.
Bagaimana sejarah akan berjalan ke depan? untuk mencapai kebahagiaan dan keabadian, manusia menciptakan biroteknologi dan artificial intelegent. Dua instrumen ini pula yang akan berpengaruh terhadap masa depan umat manusia. Bagaimana bioteknologi dan artificial intelegent berpengaruh ke masa depan akan saya ceritakan di lain waktu karena saya belum tuntas membaca bagian itu.
Lalu mengapa Homo Deus? Harari bercerita tentang perubahan cara berpikir manusia. Saat wabah belum dipahami manusia, segalanya dianggap sebagai hukuman Tuhan kepada manusia. Saat ini, saat sains sudah mampu menjawab banyak hal yang dulunya belum dipahami manusia, kepercayaan manusia terhadap Tuhan diyakini Harari sudah menghilang. Bahkan beberapa kali Harari mengutip pernyataan Nitzce bahwa "Tuhan telah Mati". Dengan obsesi manusia untuk hidup abadi dan mengontrol segala hal, manusia telah berupaya untuk menjadi Tuhan. Itulah mengapa Homo Deus dipilih menjadi judul buku ini. Dalam buku ini, Harari juga menjelaskan proses bagaimana kata-kata bisa membentuk realitas. Kata-kata yang dimaksud seperti data, teori dan dan bahkan kitab suci. Pernyataan kontroversial dari Rocky Gerung beberapa saat yang lalu tentang 'kitab suci adalah fiksi" dijelaskan lebih jauh oleh Harari. Saya akhirnya meyakini jika pernyataan Rocky Gerung terinspirasi dari Homo Deus. Saya sekaligus sedikit mengerti cara berpikir Rocky Gerung dalam hal "Ketuhanan yang Maha Esa".
Apa yang menarik selain konten sejarah yang diceritakan oleh Harari adalah gaya menulisnya. Dalam banyak bagian, dia membiarkan celah bagi saya untuk meragukan tulisannya. Seolah dia sengaja membuka lubang besar untuk dikritisi. Semua kritikan yang telah menghantui pikiran saya saat membaca di bagian awal dijawab tuntas di bagian akhir. Saya akhirnya merasa seperti sapi yang dihidungnya dipasangi rotan lalu ditarik kesana kemari sesuai kehendaknya. Tentang agama misalnya, Harari mengkritik agama karena tidak menyediakan jawaban tentang masalah teknologi yang dihadapi manusia saat ini. Menurutnya, agama hanya berdimensi masa lalu. Saya tentu saja dengan posisi defensif berpikir bahwa tafsir tentang kitab suci nyatanya selalu berkembang setiap zaman. Saya merasa Harari salah dalam hal tersebut. Lalu dibagian akhir, Harari mencontohkan bahwa pemuka agama bukan mengembangkan sesuatu dari kitab suci. Ketika dunia berkembang, para pemuka agama akan "kembali membaca ayat demi ayat dalam kitab suci dan pada akhirnya menemukan penjelasan moral tentang fenomena tersebut". Bagi saya itu adalah pukulan yang cukup telak untuk meruntuhkan sikap Defensif saya. Saya mau tidak mau harus menyetujui apa yang dituliskan oleh Harari.
Saya beruntung karena hidup dalam masyarakat religius. Saya tidak bisa membayangkan jika saya hidup dalam masyarakat sekuler. Barangkali saya akan dengan mudah menjadi ateis dengan bacaan-bacaan seperti ini. Lingkungan religius membentuk cara berpikir saya untuk keluar dari perdebatan rasional seperti itu. Jika ada pertanyaan yang belum mampu terjawab hari ini, saya yakin bukan karena Tuhan tidak ada sebagaimana diyakini Harari. Yang saya yakini dalam banyak hal, Tuhan memang tidak serta merta mampu dijelaskan oleh akal. Bukankah syarat pertama untuk menjadi Islam adalah menyatakan "tidak ada Tuhan selain Allah". Persaksian ini di mulai dari menegasikan lalu kemudian menegaskan. Homo Deus pada ahirnya saya anggap sebagai bagian dari persaksian ini.
***
Membaca Homo Deus di hari-hari yang serba berat rasanya seperti piknik melintasi zaman. Saya merasa seperti memasuki otak para pelaku sejarah yang diceritakan oleh Harari. Tak seperti pikinik ke tempat menarik yang hanya melibatkan rasa, piknik yang dipandu oleh Harari melibatkan logika, perasaan dan keyakinan. Bukankah ini piknik yang cukup menarik bagi orang-orang yang memang sedang butuh piknik?
Makassar, 14 Agustus 2018
Rabu, 02 November 2016
Pemuda Kota Makassar: Harapan atau Kecemasan?
Sumber: http://www.aktual.com/ |
Jumat, 28 Oktober 2016
Anak-Anak Kuri Caddi
Rabu, 19 Agustus 2015
MERDEKA!!!
Kata orang sih, jangan mengaku cinta jika belum mengucap nama yang kamu cintai dalam doa mu?
Hari ini banyak yang menunjukkan cintanya ke Indonesia dengan berbagi ekspresi: upacara bendera, mengibarkan bendera di bawah laut ataupun di puncak gunung, ada pula yang sekedar meramaikan dunia maya dengan ucapan dirgahayu negeriku (seperti saya)..
Apa pun ekspresi kecintaan yang ditunjukkan, jangan lupa menyelipkan doa untuk negeri dalam sederetan doa mu: semoga masa krisis cepat berlalu (seperti saran ustads Yusuf Mansur), semoga bebas negeri kita dari korupsi dan sederetan doa yang baik2 untuk negeri kita..
Dan YANG PALING PENTING, setelah berdoa, seperti tema perayaan kemerdekaan Indonesia ke 70, Ayo Kerja!!!
Ayo berbuat untuk negeri!!!
Dirgahayu Indonesia ke 70..
Semoga jaya negeriku..
Makassar, 17 Agustus 1945
Selasa, 11 Agustus 2015
Power Point Mengurangi Kecerdasan?
Memang benar bahwa US Army memberi perhatian serius pada wacana ini. Tetapi sepanjang yang saya baca (dengan pemahaman bhs Inggris yg terbatas), saya tidak menemukan bahwa wacana ini merupakan hasil penelitian sebagaimana diulas dalam koran online tadi. Sebaliknya, wacana ini justru berasal dari "candaan" mereka ttg sulitnya memahami slide dengan diagram dynamic system thinking sehingga bagi mereka: jika sudah bisa memahami slide sama saja sudah memenangkan perang (saking sulitnya).
Namun wacana berkembang dgn serius. Banyak yang bercerita pengalamannya memakai power point hingga berasumsi ttg dampak power point bagi pemahaman manusia. Pro kontra pun berlanjut dalam sesi komentar, ada yg sepakat dengan ulasan di artikel dan ada pula yang tidak. Bagi mereka yang tidak sepakat mengajukan argumen bahwa Power Point hanya alat, selebihnya tergantung penggunanya. Orang yang mendesain power point secara baik tentu akan menghasilkan power point yang mencerdaskan (mudah dipahami).
Di sisi lain, power point juga bermanfaat (khususnya bagi pembelar visual) untuk menyederhanakan sesuatu yang kompleks menjadi mudah di mengerti, entah itu melalui diagram sederhana, gambar ataupun video. Ini yang tidak di dapatkan jika hanya menjelaskan dengan media spidol dan papan tulis (apalagi mendikte).
Hadir untuk memudahkan, tetapi juga dapat membuat terlena dan menjadi malas..
Rabu, 06 Agustus 2014
Pattiro Sompe dan Cerita tentang Keihlasan
sumber: http://pakarcinta.com/ |
Pattiro Sompe adalah nama salah satu gunung (mungkin lebih tepat disebut bukit) di Kota Sengkang Kabupaten Wajo. Belum ada informasi yang pasti tentang asal-usul penamaan Pattiro Sompe ini. Jika diartikan secara etimologi, pattiro dalam bahasa bugis berarti melihat dari kejauhan sementara sompe berarti merantau. Jadi pattiro sompe dapat diartikan melihat orang merantau. Tapi, terjemahan kata pattiro sompe tidak lantas dapat disematkan pada Pattiro Sompe sebagai bukit tempat melihat orang merantau. Sebab, terdapat salah satu kelurahan di Kecamatan Sabbangparu Kabupaten Wajo yang bernama Kelurahan Sompe. Ini tentu memunculkan pilihan pemaknaan lain dari Pattiro Sompe yaitu bukit tempat melihat (kelurahan) Sompe.
Senin, 04 Agustus 2014
Ikhlas Berbagi Sejadah
Selasa, 29 Juli 2014
Bergesernya Waktu
sumber gambar: http://www.club.cc.cmu.edu/ |
Perubahan itu adalah sebuah keniscayaan. Begitulah mungkin penjelasan yang tepat mengapa perubahan kian terasa. Dulu, waktu kecil ku sering bertanya: mengapa orang-orang dewasa begitu membosankan? Mengapa orang dewasa senang menggunakan cincin dengan batu permata?