Ada rasa
bimbang setelah menonton film “Warriors of the Rainbow
Seediq Bale” tentang
hakekat pembangunan sumber daya manusia. Film yang dibuat berdasarkan kisah
nyata tersebut menggambarkan kehidupan salah satu suku pedalaman di Taiwan pada
masa penjajahan Jepang. Di bagian awal film digambarkan tradisi berburu yang
sudah turun temurun dilakukan oleh masing-masing suku. Kejadian yang dramatis
diawal cerita yaitu ketika terjadi perang antar suku yang disebabkan karena
klaim daerah perburuan. Perang tersebut meninggalkan kesan bahwa suku-suku
pedalaman yang hidup dihutan masih terkesan “bar-bar/biadab” menurut pandangan
umum.
Seorang lelaki
dari setiap anggota suku hanya berhak mendapatkan tato tanda dia telah menjadi
“kesatria pelangi” apabila telah berhasil memenggal kepala musuh. Tradisi
seperti itu dibangun dengan filosofi dasar “keberanian” sebagai landasan utama
kehidupan para lelaki dari setiap suku.
Hanya lelaki yang pemberani yang dapat bergabung dengan para leluhurnya
di surga yang mereka anggap berada di ujung pelangi. Itulah mengapa para lelaki
yang mendapat tato kesatria menamai diri mereka dengan kesatria pelangi (seediq bale).
Fase kehidupan
mereka berubah segera setelah Jepang masuk dan menjajah mereka. sempat terjadi
perlawanan sebelum Jepang akhirnya mengalahkan mereka. Untuk menghindari
perlawanan, para pimpinan suku dibawa ke Jepang dan diperlihatkan bagaimana
kuatnya kekuatan militer Jepang. Perlawanan kepada Jepang hanya akan berujung
kematian bahkan akan memusnahkan seluruh anggota suku. Pikiran itulah yang
dibawa pulang oleh para pimpinan suku sehingga tidak ada keberanian bagi mereka
untuk melakukan perlawanan kepada Jepang. Hasilnya, para pemuda dipaksa bekerja
membangun “peradaban modern” ditengah hutan. Dengan tenaga-tenaga para lelaki
dari setiap suku, Jepang membangun pemukiman modern yang didalamnya terdapat
sekolah, rumah sakit, kantor pos, kantor polisi dll. Wanita-wanita dari suku
dijadikan pembantu rumah tangga oleh Jepang. Anak-anak kecil dipaksa untuk
masuk sekolah dan belajar bahasa Jepang.
Dalam masa
penjajahan, sikap orang Jepang sebagai penjajah terbagi dua. Ada sebagian dari
mereka yang bersikap baik kepada orang-orang dari suku pedalaman dan sebagian
lainnya bersikap kasar dan sombong. Kelompok kedua ini yang lebih dominan dalam
kehidupan sehari-hari di pemukiman tersebut. Anak-anak sekolah merasakan adanya
diskriminasi antara mereka dengan anak-anak dari Jepang. Para pekerja tidak
mendapat gaji yang layak dan setimpal dengan pekerjaannya. Dua orang diantara
warga asli yang bekerja di kepolisian Jepang tidak pernah mendapat perlakuan
yang adil meskipun mereka yang paling tinggi sekolahnya diantara para polisi
Jepang yang bertugas di wilayah tersebut. Kondisi ini membangkitkan rasa benci
yang menumpuk dalam diri para anggota suku pedalaman.
Menjelang
adegan pemberontakan, terdapat sebuah dialog yang sangat dilematis dalam
konteks pembangunan sumber daya manusia. Dialog ini terjadi antara pimpinan
dari salah satu suku yang menginisiasi pemberontakan dengan salah seorang
anggota suku yang bekerja sebagai polisi Jepang. Polisi Jepang mengawali dialog
dengan mengingatkan bagaimana kuatnya kekuatan militer Jepang yang tidak
mungkin untuk dilawan. Salah satu pertanyaan yang penting untuk disimak adalah
“apa buruknya kita dipimpin oleh Jepang? Bukankah anak-anak kita bisa
bersekolah dan menjadi pintar? Bukankah Jepang membangun rumah sakit untuk kita
berobat? Bukankah kita tidak lagi harus berperang antar suku?” Semua pertanyaan
itu menegaskan bahwa kehidupan anggota suku menjadi lebih beradab dibawah
kepemimpinan Jepang. Namun jawaban dari pimpinan suku tersebut juga tidak kalah
penting untuk disimak. Kepala suku menjawab dengan kembali bertanya, “apakah
dengan itu semua kehidupan kita menjadi lebih baik dari sebelumnya?” Kepala
suku melanjutkan dengan mengingatkan filosofi kehidupan suku mereka yaitu “keberanian”.
Suku mereka belum pernah dijajah sepanjang sejarah dan ketika mereka dijajah
tanpa mampu melawan, mereka ragu apakah mereka masih bisa disebut sebagai
seorang seediq bale. Jika mereka
tidak melawan mereka ragu apakah mereka masih bisa bergabung dengan roh leluhur
mereka di ujung pelangi.
Pilihan yang
kemudian dipilih adalah memberontak dan melawan penjajahan dengan konsekuensi
apapun. Penyerangan pertama menghasilkan pembantaian secara meluas kepada semua
orang Jepang di perkampungan Jepang di pedalaman tersebut namun sialnya ada
satu orang yang lolos dan meminta bantuan. Maka datanglah tentara Jepang dengan
kekuatan penuh. Suku pedalaman pun tetap melakukan perlawanan sengit dan
menunjukkan kualitas perlawanan dimana hanya dengan 300 orang melawan ribuan
tentara Jepang. Hal tersebut tentunya menjadi sesuatu yang mengejutkan bagi
bangsa Jepang yang menganggap suku pedalaman tersebut sebagai suku liar,
bar-bar dan bodoh. Namun di akhir cerita, suku pedalaman semakin terdesak dan
sebagian besar pejuang meninggal dalam pertempuran. Sebagian lelaki pejuang dan
wanita yang tersissa, memilih bunuh diri dengan cara menggantung diri di
pepohonan. Mati lebih terhormat bagi mereka ketimbang harus hidup tertindas
atau terjajah. Sebuah konsistensi yang digerakkan oleh semangat transendental
akan janji-janji surga diujung pelangi.
Kasus Indonesia
Dizaman modern
seperti saat sekaran ini, di Indonesia masih hidup beberapa suku yang masih
bertahan dengan tradisinya. Suku-suku tersebut contohnya adalah suku Kajang di
Sulawesi Selatan, Suku Dayak Punan dan Ngayu di Kalimantan, Suku Korowai di
Papua, dll. Sebagian dari mereka masih hidup dengan cara primitif seperti yang
digambarkan dalam film diatas yaitu berburu, berperang antar suku, memenggal
kepala bahkan mungkin kanibalisme (informasinya masih belum pasti); sementara
sebagian lainnya hidup dengan cara tradisional yaitu belum tersebtuh modernitas
tetapi juga tidak primitif.
Menyimak apa
yang digambarkan pada ulasan singkat film warriors of rainbow
seediq bale kemudian dibandingkan dengan konteks suku-suku
primitif maupun tradisional di Indonesia tentu juga akan menimbulkan
pertanyaan-pertanyaan dilematis. Dilema-dilema yang muncul adalah seputar
pembangungan sumber daya manusia bagi suku-suku tersebut. Pertanyaan pertama adalah
apakah perlu dilakukan pembangunan sumber daya manusia bagi suku-suku tersebut
dalam artian membuat mereka menjadi lebih “beradab”, sementara mereka memiliki
standar peradaban yang berbeda. Dari film diatas kita mendapatkan gambaran
bahwa nilai tertinggi yang menyusun peradaban mereka adalah keberanian sehingga
bangunan kebudayaannya dibawahnya disusun untuk mendukung pencapaian nilai
tertinggi tersebut. Jadi beradab menurut mereka ketika mereka melakukan
akis-aksi yang berani. Letak dilema pembangunannya adalah disatu sisi suku-suku
primitif menganggap diri mereka sudah beradab dan sudah nyaman dengan
peradabannya sementara disisi lain pemerintah memandang aktualisasi
peradabannya (misalnya memenggal leher musuh) adalah tidak beradab. Penekanan
tersebut menegaskan pertanyaan bahwa apakah perlu menginternalisasikan
nilai-nilai perdaban pada masyarakat yang sudah memiliku nilai-nilai
peradabannya sendiri?
Pertanyaan
selanjutnya jika dipandang perlu untuk melakukan pembangunan peradaban
masyarakat primitif adalah sejauh mana pembangunan itu dilakukan? Kenyataan
sejarah menunjukkan bahwa pendidikan sebagai instrumen pembangunan sumber daya
manusia cenderung menjadikan masyarakat menjadi homogen dalam satu nilai
universal. Kita lihat sebelum masa penjajahan, bangsa Indonesia benar-benar
heterogen dilihat dari pakaiannya, bahan makanannya dll. Pembangunan kemudian
menjadikan bangsa Indonesia homogen dari cara berpakaian, bahan makanan
dll.sehingga masyarakat menjadi kehilangan identitas tradisinya. Kenyataan ini
yang menjadi dasar pertimbangan dalam kasus pembangunan sumber daya manusia
yang masih primitif di Indoensia. Pointnya adalan bagaimana menjadikan mereka
beradab tanpa harus membuat mereka kehilangan jati dirinya sebagai sebuah
entitas. Jawabannya dapat dibangun dari pertanyaan pokok sejauh mana
pembangunan atau internalisasi nilai itu harus dilakukan?
Dua pertanyaan
etik yang muncul dari ulasan diatas yaitu pertama apakah harus dilakukan
internalisasi nilai-niai peradaban kepada masyarakat yang telah memiliki
nilai-nilai peradabannya sendiri? dan kedua adalah jika memang perlu, sejauh
mana internalisasi nilai tersebut harus dilakukan agar tidak mengubah jati diri
yang has dari sebuah masyarakat?