Tulisan
ini merupakan hasil akumulasi dari catatan-catatan kecil penulis selama kurang
lebih dua bulan pertama berada di Kota Yogyakarta. Banyak kesan yang muncul
dalam pikiran penulis tentang Yogyakarta, namun satu kata yang secara sederhana
mewakili semua kesan itu adalah kata “Unik”. Secara kebetulan, RUU Keistimewaan
Yogyakarta yang disahkan menjadi Undang-Undang Keistimewaan sekitar satu bulan
yang lalu menegaskan kesan unik tersebut.
Jika
ingin dirunut satu persatu maka tak cukup waktu untuk membuat daftar keunikan
Jogja. Untuk itu, keunikan yang akan disorot dalam tulisan ini adalah beberapa
keunikan di Kilometer Nol Kota Yogyakarta. Lebih khusus lagi, tempat-tempat
yang menjadi fokus pembahasan yaitu Malioboro, Alun-Alun Utara, Kraton Jogja,
Istana Kepresidenan Yogyakarta, Taman Pintar dan Shoping Center.
Masing-masing tempat memiliki keunikan dari berbagai sisi.
Kita
mulai dari keunikan berdasarkan sisi akses publik. Jika diberi hirarki berdasarkan
akses publik maka Malioboro dan Alun-Alun Utara merupakan kawasan dengan akses
publik yang paling besar. Di kedua tempat itu, semua kalangan masyarakat bebas
untuk beraktifitas. Disana dapat dijumpai semua kalangan masyarakat mulai dari
yang miskin maupun yang kaya; pejabat, bangsawan atau rakyat biasa; berpendidikan ataupun tidak berpendidikan; dll. Sedikit
berkurang akses publiknya, Taman pintar dan Shoping
Center identik dengan kalangan masyarakat yang berpendidikan. Sebagai
tempat yang berbasis ilmu pengetahuan, tentu kedua wilayah ini umumnya
dikunjungi oleh masyarakat-masyarakat yang berpendidikan. Selajutnya, Kraton
Jogja merupakan tempat dengan akses publik yang terbatas. Beberapa tempat di
kraton memang dibuka untuk wisatawan tetapi ada juga yang tertutup khusus untuk
internal kraton. Yang dapat mengakses tempat ini tentulah hanya bangsawan dan
orang-orang tertentu dengan seizin kraton. Terakhir dari segi akses publik,
Istana Kepresidenan Yogyakarta merupakan tempat yang akses publiknya sangat minim. Masyarakat hanya
bisa melihat dari luar gedung yang megah itu tanpa pernah bermimpi bisa masuk
ke tempat itu. Akses tempat itu hanya untuk pejabat-pejabat pemerintah itupun
tentu dengan pengawasan protokoler yang ketat pada saat presiden atau wakil
presiden datang.
Keunikan
lain dapat dilihat dari sisi persandingan dua unsur yang dikategorikan berbeda
satu sama lain. Di kawasan Malioboro banyak ditemui kesenjangan harmonis.
Disatu sisi kita melihat makanan-makanan yang dikategorikan tradisional, disisi
lain ada makanan yang dikategorikan moderen. Sungguh sulit ditemui di
tempat-tempat lain angkringan bersanding harmonis dengan KFC. Begitu pula di
kawasan yang sama kita temukan dua sistem pasar yang berbeda. Di pinggir jalan
ramai terlihat sistem jual beli yang tradisional dimana masih terjadi tawar
menawar antara penjual dan pembeli dan disisi lain kita melihat beberapa Mall
dengan sistem yang modern. Di satu jalan yang sama kita dapat melihat sepeda
ontel bersanding dengan motor mewah, begitu pula andong bersanding dengan
mobil-mobil mewah. Kesemuanya itu bertemu dan bersanding dalam satu ruang
publik yang sama, betul-betul unik!
Konsistensi Sejarah
Salah
satu yang membuat Jogja Nol Kilometer unik adalah faktor sejarahnya. Daerah ini
merupakan daerah pertempuran mempertahankan kemerdekaan RI dari Belanda tahun
1949. Begitu banyak jiwa yang dikorbankan di daerah ini untuk mempertahankan
satu kata, MERDEKA. Konsekuensi logis dari pilihan untuk menyatakan kemerdekaan
dari penjajahan.
Konsistensi
semangat kemerdekaan itu masih terlihat di beberapa tempat dalam kawasan Nol
Kilometer ini. Monumen Peringatan Serangan Umum Satu Maret yang dibangun di persipangan jalan
merupakan salah satu upaya mempertahankan kesadaran sejarah tersebut.
Manifestasi semangat kemerdekaan juga dapat ditemukan dalam dua tempat
penunjang ilmu pengetahuan yaitu taman pintar dan Shoping center. Kemerdekaan disini diterjemahkan menjadi
kemerdekaan dari kebodohan yang merupakan musuh utama bangsa Indonesia pasca
kolonialisme. Keberadaan kedua tempat tersebut merupakan salah satu bentuk
perjuangan kemerdekaan yang harus tetap dilanjutkan.
Perjuangan
kemerdekaan yang lain juga terlihat dalam upaya mempertahankan kemandirian
ekonomi bangsa. Mayoritas pedangang yang ada di Malioboro menjajakan hasil produksi
lokal. Barang yang dijual merupakan barang yang diproduksi dengan menggunakan
bahan baku lokal dan diolah atau
diproduksi oleh masyarakat lokal. Sebuah bentuk kemandirian ekonomi bangsa
dalam skala mikro, berarti juga sebuah usaha mempertahankan kemerdekaan bangsa
dari penjajahan ekonomi global. Sebagai bentuk konsistensi terhadap semangat
sejarah kemerdekaan bangsa maka seharusnya kehadiran perusahaan-perusahaan
multinasional dikawasan bersejarah Malioboro ditinjau ulang keberadaannya.
Menjadi
sebuah kehormatan bagi seorang awam seperti penulis dengan mengetahui betapa
Istimewanya tanah Jogja dalam sejarah mempertahankan kemerdekaan bangsa
Indonesia. Alangkah indahnya jika kehormatan yang sama di berikan kepada semua
orang yang berkunjung ke kawasan Jogja Nol Kilometer. Untuk itu, penataan
kawasan nol kilometer Jogja hendaknya lebih mengedepankan aspek historisnya
guna menumbuhkan kesadaran sejarah bagi para pengunjung khususnya pengunjung
dari Negara kita sendiri. Harga minimal bagi seorang pengunjung lokal adalah
kesadaran sejarah bahwa ditanah mereka berpijak telah tertumpah banyak darah
untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian, semangat
berkunjung di Malioboro tidak didasari oleh nafsu konsumerisme melainkan
semangat nasionalisme. Begitu pula semangat berkunjung ke Malioboro bukan
sekedar semangat jalan-jalan tetapi dilandasi dengan semangat berkontribusi
untuk kemerdekaan bangsa. Mungkin sudah saatnya penggunaan branding Malioboro sebagai kawasan jalan-jalan diganti dengan branding yang lebih
nasionalis.
Wallahuallam
bishawab
[Jogja,
28 Oktober 2012]