Pendahuluan
Perkembangan
teknologi informasi menjadikan dunia terasa semakin sempit sekaligus semakin
luas. Semakin sempit karena teknologi informasi melipat dunia menjadi semakin
sempit sebagaimana melipat kertas. Ruang dan waktu dimampatkan oleh begitu
cepatnya informasi tersebar (Piliang: 2011). Seseorang tidak perlu untuk pergi
ke Palestina untuk mendapatkan informasi adanya serangan Israel yang menewaskan
anak-anak di Gaza. Cukup dengan duduk di depan televisi untuk mengetahui
keadaan di belahan dunia lainnya. Begitu pula seseorang tidak harus
menghabiskan waktu untuk turun dari lantai sepuluh hanya untuk memanggil
seseorang yang berada di lantai dasar. Cukup dengan menekan beberapa tombol di
handphone untuk menghemat waktu perjalanan beberapa menit. Sebagai
perbandingan, dimasa lalu, kabar bahwa Colombus menemukan benua Amerika sampai
ke telinga Ratu Isabella setelah lima bulan peristiwa tersebut terjadi; begitu
pula kabar tentang pembunuhan Abraham Lincoln sampai ke Eropa setelah dua
minggu kerjadian. Sementara itu, dimasa berkembangnya teknologi Informasi,
dunia mendengar bahwa Neil Amstrong berhasil mendarat di bulan hanya dalam
waktu 1,3 detik (Winarno: 2009).
Disisi lain,
perkembangan teknologi informasi juga dapat dikatakan memperluas dunia. Salah
satu dampak dari perkembangan teknologi informasi adalah hilangnya batas-batas
antar negara khususnya dalam hal persebaran informasi. Seorang anak di Desa
Ranu Pane yang terletak kaki Gunung Semeru bisa saja ikut mengutuk kekejaman
Israel yang menjajah Palestina setelah menonton berita di televisi. Dalam kasus
ini, anak tersebut tidak lagi sekedar sebagai seorang warga desa melainkan
sebagai sebuah bagian dari masyarakat global. Selain itu, teknologi informasi
juga mengikis batas-batas budaya. Masyarakat yang dulunya terfragmentasi dalam
budaya-budaya lokal yang sangat beragam kini diseragamkan dalam sebuah budaya
besar yang dikenal sebagai budaya populer. Cara berpakaian pemuda-pemuda di
Amerika yang disebarkan melaui televisi akhirnya menjadi budaya populer yang
diikuti oleh sebagian besar pemuda dunia. Pemuda-pemuda yang tidak ikut mainstream budaya ini diberi label
ketinggalan zaman. Demikianlah perkembangan informasi menjadikan dunia
seseorang yang dulunya terbatas dalam sebuah teritori dan budaya kini semakin
diperluas menjadi bagian dari sebuah komunitas global.
Kondisi dimana
semakin cepat dan luasnya pertukaran informasi sebagai akibat berkembangnya
teknologi informasi menjadikan masyarakat semakin terbuka dengan berbagai
informasi. Masyarakat dapat mengakses berbagai perubahan yang terjadi dibelahan
bumi yang lain dan membandingkan dengan apa yang terjadi dilingkungannya.
Perbandingan tersebut melahirkan keinginan untuk menyerupai perubahan yang
terjadi di tempat lain yang menurutnya lebih baik dan sebaliknya berkeinginan
menghindari kondisi yang dinilai lebih buruk (Firmansyah: 2012). Gelombang
revolusi dan demokratisasi yang terjadi secara beruntun di timur tengah
tahun-tahun terakhir ini menunjukkan bagaimana perubahan di sebuah negara dapat
menginsipirasi negara lain untuk melakukan hal yang serupa. Disinilah terlihat
bahwa perkembangan teknologi informasi telah memiliki pengaruh yang sangat penting
dalam dunia politik. Informasi yang beredar begitu cepat dan begitu luas dapat
mempengaruhi cara masyarakat melihat dan bersikap terhadap sebuah fenomena
politik.
Telah nampak
jelas bagaimana pengaruh perkembangan teknologi informasi dalam tatanan makro
politik khususnya dalam hal pembentukan cara pandang masyarakat terhadap sebuah
fenomena politik. konteks serupa juga dapat dijumpai dalam tatanan mikro yaitu
dalam tatanan proses pengambilan keputusan. Informasi memiliki peran penting
dalam semua tahapan pengambilan keputusan, mulai dari agenda setting, formulasi
kebijakan, implementasi kebijakan hingga evaluasi kebijakan. Tulisan ini akan
fokus membahas bagaimana pengaruh informasi dalam penetapan agenda pemerintah
kebijakan (agenda setting).
Pengaruh Media Informasi dalam Agenda Setting
Kebijakan
pemerintah dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang dikerjakan atau tidak
dikerjakan oleh pemerintah (Thomas R. Dye dalam Nugroho:2012). Ketika terjadi
sebuah masalah dalam masyarakat, pemerintah dapat memutuskan melakukan sebuah
tindakan untuk mengatasi masalah tersebut atau memutuskan tidak melakukan
tindakan terhadap masalah tersebut. Dalam kasus kenaikan harga minyak dunia,
pemerintah dapat memutuskan untuk menaikkan harga atau tidak merespon kenaikan harga
minyak dunia tersebut. Kedua-duanya dapat disebut sebagai kebijakan pemerintah
karena baik menyesuaikan harga maupun mendiamkannya masing-masing memiliki
dampak kebijakan. Namun demikian, konteks tidak melakukan tindakan tertentu
untuk mengatasi masalah di masyarakat bukan hanya sekedar karena sengaja tidak
melakukan apa-apa. Penyebab lain pemerintah tidak melakukan tindakan adalah
karena ada masalah lain yang lebih penting untuk diselesaikan. Keterbatasan
kemampuan pemerintah menyebabkannya harus memilih masalah mana yang harus
diperhatikan dan mana yang harus diabaikan. Penentuan prioritas inilah yang
disebut sebagai agenda setting (Kusumanegara:2010).
Dari ulasan diatas terlihat bahwa sebuah
pilihan tindakan (kebijakan) selalu dimulai dari masalah yang terjadi dalam
masyarakat. Dalam konsep pemerintahan terdapat dua kutub besar terkait
pemilihan masalah untuk dijadikan kebijakan. Kedua kutub tersebut yaitu antara
negara dan pasar. Dalam kutub negara, agenda setting ditentukan sendiri oleh
pemerintah melalui aktivitas terencana yang sejak awal menjadi tujuan utama.
Disini, pemerintah yang menentukan apa masalah dari masyarakat dan apa tindakan
untuk mengatasi masalah tersebut. Di kutub pasar, agenda ditentukan oleh
masalah-masalah yang menjadi perhatian masyarakat. Pemerintah bersikap lebih
reaktif ketika terjadi masalah yang menjadi perhatian masyarakat.
Pada kutub
negara mengatur semua agenda setting, arus informasi semaksimal mungkin di
kontrol oleh pemerintah. Informasi-informasi yang tidak merugikan jalannya
pemerintahan dibatasi semaksimal mungkin begitu pula sebaliknya, informasi yang
menguntungkan pemerintah dipublikasikan secara massif. Sebagai contoh, di
Singapura informasi khususnya di televisi dan media cetak di kontrol untuk
kepentingan pembagunan. Ketika terjadi demonstrasi anarkis di Indonesia,
koran-koran nasional menjadikan berita tersebut sebagai headlinenya.
Massifikasi informasi tersebut dimaksudkan untuk membentuk opini publik agar
tidak senang dengan model demokrasi yang sangat bebas seperti di Indonesia.
Publik di Singapura akhirnya memaklumi adanya sejumlah pembatasan-pembatasan
hak seperti hak mengeluarkan pendapat dll. Dengan demikian pemerintah bebas
menjadi aktor tunggal dalam menjalankan pemerintahan termasuk menentukan masalah-masalah
yang menjadi prioritas kebijakan.
Di kutub yang
berbeda, dalam kutub pasar, masalah
kebijakan dipengaruhi oleh seberapa besar perhatian masyarakat terhadap sebuah
masalah. Pemerintah memberi prioritas terhadap sebuah masalah setelah masalah tersebut
mendapat perhatian dari masyarakat luas. Kasus masalah jembatan sungan Ciberang
Lebak Banten misalnya (penetapan agenda di Indonesia merupakan gabungan kedua
kutub), perhatian pemerintah terhadap kasus tersebut muncul setelah media
Inggris (Reuters dan Daily Mail) memberitakan dan
mempublikasikan foto kondisi tersebut. Foto-foto pelajar yang meniti jembatan
miring diatas sungai yang mengalir deras tersebut mendapat perhatian luas di
masyarakat dunia. Perhatian masyarakat dunia tersebutlah yang akhirnya membuat
pemerintah melalui Kementerian Daerah Tertinggal mengucurkan dana satu milliar
untuk memperbaiki jembatan tersebut (Simanjuntak dkk: 2013).
Jika
dicermati, baik dalam kutub negara maupun kutub pasar, media informasi memiliki
peran penting dalam penetapan agenda kebijakan. Dalam kutub negara, pemerintah
menggunakan media untuk mempengaruhi opini publik agar menyetujui agenda
pemerintah. Begitupun dalam kutub pasar, media menjadi sarana memperluas
perhatian publik sehingga menjadi agenda pemerintah. Kondisi ini digambarkan
oleh Rogers dan Dearing (dalam Parsons: 2011) sbb:
Disini ditegaskan ada tiga jenis
agenda yaitu agenda media, agenda publik dan agenda kebijakan. Disini terjadi
dua alur yaitu agenda media yang mempengaruhi agenda publik untuk kemudian
mempengaruhi agenda kebijakan dan alur agenda kebijakan yang mempengaruhi
agenda media dan agenda publik. Teori ini semakin mempertegas arti media
informasi dalam siklus penetapan agenda pemerintah. Media informasi dapat
mempenaruhi agenda publik (opini publik) yang melahirkan tuntutan atau dukungan
terhadap agenda kebijakan pemerintah.
Bagaimana media
dapat mempengaruhi opini publik dijelaskan oleh Noelle-Newman (dalam Junaedi:2007).
Asumsi dasarnya adalah secara alamiah, setiap orang memiliki perasaan takut
dikucilkan oleh orang lain sehingga berusaha membangun konsensus. Dalam hal
opini publik, perasaan takut terkucilkan menjadi alasan untuk seseorang untuk
mengikuti opini mayoritas. Jika opini mayoritas semakin tersebar dan meluas
dalam masyarakat maka semakin senyap pula suara perseorangan yang berlawanan
dengan opini mayoritas tersebut. Kondisi inilah yang kemudian disebut sebagai
gelombang kebisuan (Junaedi: 2007). Demikianlah mekanisme kerja media informasi
dalam membentuk opini publik sehingga publik mengikuti apa yang diagendakan
oleh media.
Penutup
Perkembangan
media informasi telah merasuki sendi-sendi kehidupan termasuk kehidupan politik.
Media Informasi tidak sekedar menghadirkan informasi menjadi lebih mudah, lebih
luas dan lebih cepat di akses melainkan juga mempengaruhi cara berpikir
seseorang. Dalam pross kebijakan, media infomasi dapat mempengaruhi opini
publik sehingga melahirkan tuntutan dan dukungan terhadap sebuah agenda
kebijakan. Dengan demikian, menguasai media dapat juga berarti menguasai opini
publik. Menguasai opini publik berarti juga menguasai agenda pemerintah,
sedangkan menguasai agenda pemerintah berarti menguasai apa yang harus dan
tidak harus dilakukan pemerintah. Dengan kata lain menguasai media sudah bisa
dikatakan menguasai pemerintahan. Tidak heran jika muncul pernyataan bahwa di
era teknologi informasi sekarang ini, “menguasai
informasi berarti menguasai dunia”.
Referensi
Firmanzah. 2012. Marketing
Politik: Antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Junaedi, Fajar. 2007. Komunikasi
Massa: Pengantar Teoritis. Yogyakarta: Santusta
Kusumanegara, Solahuddin. 2010. Model
dan Aktor dalam Proses Kebijakan Publik. Yogykarta: Gava Media
Nugroho, Riant. 2012. Public
Policy. Jakarta: Gramedia
Parsons, Wayne. 2011. Public
Policy: Pengantar Teori & Praktik Analisis Kebijakan. Jakarta: Kencana
Piliang, Yasraf Amir. 2011. Dunia
yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Bandung: Matahari
Simanjuntak, Bungaran Antonius dkk. 2013. Dampak Otonomi Daerah di Indonesia: Merangkai Sejarah Politik dan
Pemerintahan Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Winarno, Budi. 2009. Pertarungan
Negara Vs Pasar. Yogyakarta: Media Pressindo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar