gambar dirujuk dari: http://abqrazaunida.blogspot.com/
Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2013
menetapkan Tanggal 1 Mei sebagai hari libur Nasional. 1 Mei atau yang dikenal
sebagai May Day merupakan peringatan hari buruh internasional. Untuk pertama
kalinya semenjak Orde Lama, mulai 1 Mei tahun ini dijadikan hari libur
Nasional. Di tingkat ASEAN, Indonesia merupakan negara ke sembilan yang
menetapkan 1 Mei sebagai hari libur Nasional. Pertanyaan yang muncul kemudian,
perlukah hari buruh internasional ditetapkan sebagai hari libur nasional di
Indonesia?
Pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan terlebih dahulu menelusuri
fenomena-fenomena yang lazim terjadi setiap tanggal 1 Mei di Indonesia. Diantara
sekian banyak fenomena, demonstrasi buruh tampaknya merupakan fenomena utama
setiap 1 Mei di Indonesia. Jalan macet, sweeping buruh di pabrik-pabrik, hingga
kerusuhan merupakan fenomena ikutan dari demo buruh. Kesejahteraan buruh,
militansi buruh, represivitas aparat dan kealphaan perhatian pemerintah merupakan
akar dari demo buruh.
Kesejahteraan buruh menjadi alasan bagi sekelompok buruh militan untuk
berdemonstrasi. Namun tidak semua buruh memiliki militansi yang cukup untuk
ikut demonstrasi. Untuk alasan itu, marak terlihat ada sweeping buruh oleh
buruh lainnya setiap tanggal 1 Mei. Buruh militan mengajak buruh-buruh yang
tidak militan untuk ikut berdemo dengan mendatangi pabrik-pabrik. Kejadian tersebut
tidak jarang berbuntut ricuh. Pada saat demo berlangsung, kemacetan tidak dapat
terelakkan. Kondisi ini tentu tidak nyaman bagi masyarakat secara umum. Selain
itu, dalam banyak kasus, demo buruh tidak ditanggapi oleh pemerintah sehingga
terjadi kekacauan. Polisi yang tidak sabar menghadapi massa terkadang melakukan
tindakan represif. Akhirnya semakin kacaulah demo buruh.
Diantara sekian banyak aspirasi buruh, tuntutan peningkatan
kesejahteraan buruh dan penghapusan sistem outsourcing paling sering terdengar
dalam orasi-orasi buruh. Sebagian suara yang lain meminta hari buruh dijadikan
hari libur nasional. Tuntutan yang terakhir inilah yang pertama dikabulkan oleh
pemerintah (meskipun tentu tidak terlepas dari tuntutan dunia internasional). Sementara
itu, tuntutan lainnya belum mendapat respon yang berarti.
Namun anehnya, aktivis buruh menanggapi keputusan pemerintah tentang
libur hari buruh sebagai kemenangan simbolik. Alasannya, pemerintah dianggap
telah menghargai gerakan buruh. Padahal kemenangan perjuangan buruh sejatinya bukan
karena penghargaan simbolik yang masih multi tafsir. Masih terlalu dini untuk
dapat membedakan antara penghargaan atau akal-akalan. Kemenangan sesungguhnya adalah
ketika tuntutan peningkatan kesejahteraan diwujudkan dan outsourcing dihapuskan.
Untuk kedua alasan yang terakhir, tentu buruh akan tetap melayangkan
tuntutan. Namun masalahnya kemudian, pengalaman menunjukkan bahwa respon
pemerintah terhadap aksi buruh sangat rendah. Tak jarang pemimpin pemerintahan
tidak merespon aksi buruh dengan alasan tidak berada di tempat. Lantas, jika
demo buruh dilakukan pada hari libur, bukankah itu melegalkan dan mewajarkan
ketidakhadiran pemerintah untuk merespon tuntutan buruh? Hal ini dapat
diibaratkan dengan konser di panggung besar tapi tanpa penonton. Lalu kepada
siapa buruh akan menyalurkan aspirasinya?
Alternatifnya mungkin adalah masyarakat. Tanpa adanya pemerintah untuk
mendengar aspirasi buruh, mungkin masih ada masyarakat yang dapat memberikan
dukungan. Tapi lagi-lagi karena libur memungkinkan masyarakat tidak harus
beraktivitas di luar rumah. Ini berarti masyarakat tidak berkesempatan
mendengar keluh kesah melalui orasi buruh. Maka semakin kecil peluang dukungan
dari masyarakat kepada buruh. Apalagi selama ini, kesan yang ditinggalkan dari
demonstrasi entah demo buruh atau demo apapun itu, adalah macet dan mengganggu
pengguna jalan. Pilihan rasional bagi masyarakat yang merasa terganggu macet
adalah menghindari kemacetan atau sekalian tidak keluar rumah. Demo buruh
akhirnya semakin sepi dukungan.
Harapan terakhir dukungan terhadap demo buruh adalah sesama buruh. Tidak
dapat dipungkiri bahwa tidak semua buruh memiliki militansi yang sama. Diantara
buruh ada yang militan dan ada juga yang tidak. Kecenderungan adanya sweeping
pada hari buruh untuk mengajak buruh lain ikut berdemo menunjukkan bahwa sebagian
massa buruh dimobilisasi. Namun, bagaimana jadinya jika demo dilakukan pada
hari libur? Kemungkinan terbesar adalah buruh yang tidak militan lebih memilih
menikmati hari libur. Sweeping tentu
akan jauh lebih susah dilakukan jika harus dari rumah ke rumah buruh. Maka dari
itu, dukungan dari buruh sendiri akan semakin berkurang.
Hari libur memungkinkan pemerintah untuk tidak merespon tuntutan buruh,
memungkinkan masyarakat tidak ikut mendukung tuntutan buruh dan yang tidak
kalah penting memungkinkan massa buruh berkurang. Tanpa kekuatan massa,
dukungan masyarakat dan respon pemerintah tidak mungkin tuntutan kesejahteraan
buruh dapat terwujud. Dengan demikian, kembali dipertanyakan: perlukah peringatan hari buruh ditetapkan
sebagai hari hari buruh nasional? Jawabannya, sangat perlu bagi pemerintah,
masyarakat dan kalangan buruh yang tidak peduli terhadap perjuangan buruh.
Sebaliknya, sama sekali tidak perlu bagi buruh yang masih merasa perlu untuk
memperjuangkan kesejahteraannya. Selamat menikmati hari libur???
Tidak ada komentar:
Posting Komentar