sumber gambar:http://skalanews.com/ |
Wacana
Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) sedang menyerap perhatian
publik. Diantara banyak point penting dalam UU Pilkada, perdebatan antara
pemilihan langsung atau tidak langsung menjadi pusat perhatian. Berbagai
argumentasi saling diperdebatkan untuk membenarkan pilihan politik
masing-masing pihak. Bagi kalangan akademisi, perdebatan ini sebenarnya
bukanlah hal baru. Wacana ini telah lama didiskusikan dalam ruang-ruang
akademik. Namun demikian, percikan politik pasca pemilihan presiden tampaknya
berhasil membakar wacana ini ke permukaan dan akhirnya mendapat perhatian
seluruh kalangan masyarakat.
Seakan telah
menjadi rahasia umum bahwa polarisasi sikap terhadap pilkada langsung vs tidak
langsung lebih tampak didasari pada sentimen hasil pilpres. Koalisi yang kalah
pilpres unjuk kekuatan di parlemen dengan berada pada posisi yang berbeda
dengan koalisi pemenang pemilu. Gejala ini diperkuat dengan sikap anggota
koalisi merah putih yang sebelum proses pilpres mendukung pilkada langsung.
Bayang-bayang rintangan pemerintahan terpilih samar-samar mulai dipertontonkan,
entah melalui parlemen maupun kepala daerah yang berasal dari partai koalisi
merah putih.
Tapi ada hal
yang penting untuk dicermati daripada sekedar fenomena unjuk kekuatan politik
diantara dua belah pihak. Dibalik pertarungan sikap tentang pilkada langsung
terdapat pertarungan model politik yang begitu mengakar diantara kedua koalisi.
Pertarungan pilihan sikap pilkada langsung vs tidak langsung ini dapat pula
dilihat sebagai pertarungan antara klientelisme vs populisme.
Pertarungan
antara klientelisme dan populisme sebenarnya bukan hal baru. Pemilihan presiden
2014 cukup baik menunjukkan dinamika populisme dan klientelisme di Indonesia.
Koalisi merah putih cenderung menggunakan klientelisme dalam menggalang
sejumlah partai politik pendukung. Tentu kita masih ingat bagaimana Prabowo
menjanjikan jabatan menteri kepada semua partai pendukungnya. Dalam hal ini,
Prabowo menjadi patron karena sumber daya politik dan ekonomi yang dimilikinya
sedangkan partai-partai pendukungnya menjadi klien.
Sebaliknya, Presiden
terpilih, Jokowi tampak jelas menggunakan pendekatan populisme dalam meraih
suara masyarakat. Jokowi sejak awal kemunculannya memang telah menyedot
perhatian publik. Jokowi yang tampil egaliter menjadi antitesis dari pejabat
publik yang pada umumnya sangat elitis. Hasilnya, popularitas Jokowi terus
meningkat dan berhasil mengalahkan koalisi merah putih yang nota bene lebih
kuat dari segi mesin partai dalam kontestasi pemilu presiden 2014.
Kemenangan
Jokowi juga menjadi kemenangan populisme terhadap klientalisme. Kekalahan
klientelisme sekaligus menjadi peringatan bagi kekuatan mesin partai yang
tampaknya mulai dikalahkan oleh popularitas figur. Bukan tidak mungkin
kekalahan yang sama akan dialami di tingkat lokal sehingga penting untuk
mengamankan kekuatan partai di level daerah. Dukungan terhadap pemilihan
melalui DPRD dengan demikian dapat dilihat sebagai ekspresi ketakutan partai
atas kekuatan populisme.
Sekali lagi
populisme harus berhadap-hadapan dengan klientelisme. Pertarungannya bukan
hanya dalam tataran dukungan terhadap pilkada secara langsung atau tidak
langsung melainkan juga pertarungan dalam diri masing-masing partai. Pemilihan
kepala daerah secara langsung tampaknya lebih populer dari pada pilkada melalui
DPRD. Dengan demikian, partai yang mendukung pemilihan kepala daerah melalui
DPRD harus membayar pilihannya dengan kemungkinan tidak populer. Demikian pula
partai pendukung pilkada langsung harus terganjal pada setiap kontestasi
khususnya yang melalui mekanisme voting di parlemen. Lebih parah lagi karena
presiden terpilih berasal dari koalisi pendukung pilkada langsung sehingga
kemungkinan akan sulit menjalankan pemerintahan tanpa dukungan mayoritas partai
di parlemen.
Keputusan DPR
yang mengesahkan pemilihan kepala daerah melalui DPRD jelas merupakan
kemenangan klientelisme. Dalam hitungan jangka pendek, ketidakpopuleran bukan
menjadi masalah besar karena toh pemilihan umum masih lima tahun lagi.
Sebaliknya, dengan jumlah partai anggota koalisi yang mayoritas di parlemen,
anggota koalisi bisa mendapatkan banyak keuntungan langsung misalnya kemenangan
dalam perebutan posisi pimpinan DPR, kepala daerah dan kebijakan-kebijakan yang
menguntungkan bagi anggota partainya.
Populisme
sebenarnya juga bukan solusi terbaik yang perlu ditangisi kekalahannya.
Populisme menurut hasil penelitian UGM dan Oslo University masih cenderung
sebagai instrumen untuk meraih suara dalam pemilihan umum. Selain itu,
kebijakan yang sifatnya populer belum tentu kebijakan yang terbaik buat
masyarakat. Kebijakan menaikkan harga BBM misalnya, jelas bukan kebijakan yang
populer tetapi dalam keadaan tertentu kebijakan seperti ini harus diambil untuk
stabilisasi keuangan negara. Namun jika dibandingkan dengan klientelisme,
populisme jelas lebih bisa memberikan angin segar. Untuk mendapatkan dukungan,
politikus harus menawarkan program-program yang populer bagi konstituen. Maka
program pendidikan dan kesehatan gratis bisa dilihat sebagai salah satu manfaat
dari politik populisme. Tak hanya sampai di situ, tawaran program juga harus
dibuktikan untuk kembali mendapatkan dukungan pada pemilihan selanjutnya.
Sebab, mengingkari janji sama saja dengan merusak popularitas.
Sementara itu,
pemilihan kepala daerah melalui DPRD tidak lagi memberi ruang kontrol populer
terhadap proses pemerintahan. Klientelisme akhirnya semakin mengakar dan menjauhkan
masyarakat dari lingkaran kekuasaan. Program-program pemerintah tidak lagi
penting untuk menarik simpati masyarakat melainkan program mana yang menguntungkan
parlemen atau partai politik. Partai politik akhirnya kembali memiliki nilai
tawar baru untuk dipertukarkan dengan keuntungan-keuntungan tertentu. Tidaklah berlebihan jika ada kekhawatiran politik transaksional tidak dapat dihindari oleh anggota parlemen.
Adalah benar bahwa dalam pilkada langsung pun ada politik transaksional. Namun, keyakinan itu kembali memunculkan pertanyaan baru: jika dalam proses pemilihan langsung yang sifatnya terbuka saja politik transaksional tumbuh subur, bisakah kita percaya pada proses yang berlangsung terpusat dan tertutup tanpa kontrol dari masyarakat?
Adalah benar bahwa dalam pilkada langsung pun ada politik transaksional. Namun, keyakinan itu kembali memunculkan pertanyaan baru: jika dalam proses pemilihan langsung yang sifatnya terbuka saja politik transaksional tumbuh subur, bisakah kita percaya pada proses yang berlangsung terpusat dan tertutup tanpa kontrol dari masyarakat?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar