Sumber: http://www.aktual.com/ |
Tidak sedikit
orang di luar Makassar yang memiliki pandangan bahwa Makassar itu kota “kasar”.
Stigma negatif tersebut cukup beralasan. Lihat saja misalnya data dua tahun
beruturut-turut (2015 dan 2016), Kota Makassar selalu menempati ranking satu
untuk tingkat kriminalitas tertinggi di Sulawesi Selatan. Berdasarkan data dari
Polda Sulsel, dari bulan Januari sampai Maret 2016 terdapat 378 kasus kejahatan
di Kota Makassar. Jumlah itu terhitung sekitar tujuh kali lipat dengan angka
kejahatan di Kabupaten Gowa yang menempati posisi kedua tertinggi setelah
Makassar. Kejahatan yang tercatat terdiri dari kasus penganiayaan berat
(anirat), pembunuhan, pencurian dengan pemberatan, pencurian dengan kekerasan,
pencurian kendaraan bermotor, pencurian hewan ternak hingga kasus narkoba.
(Liputan 6, 2016). Apa yang paling mencengangkan dari data tersebut adalah
pelaku kejahatan didominasi oleh kaum muda. Tidak sedikit diantaranya yang
masih duduk di bangku SMP dan SMA.
Berbagai kasus
kejahatan yang didominasi oleh pemuda tersebut menumbuhkan kekhawatiran tentang
masa depan Kota Makassar. Akan jadi seperti apa Kota Makassar kedepan jika kaum
muda banyak yang sedini mungkin telah terpapar kejahatan? Apakah masih ada
harapan bagi kota ini untuk menjadi lebih baik? Pertanyaan-pertanyaan tersebut
akan dijawab dengan lebih dahulu menjernihkan pemahaman kita mengenai pemetaan
pemuda di Kota Makassar.
Telah ada
banyak penggolongan-penggolongan pemuda di Kota Makassar, entah itu berdasarkan
suku, agama, pendidikan, stratifikasi sosial, dll. Meski demikian, penulis
merasa perlu untuk menggolongkan pemuda di Kota Makassar menjadi tiga kelompok
berdasarkan produktifitasnya yaitu: kelompok kontraproduktif, semi produktif,
dan produktif.
Kelompok
pertama yaitu kelompok kontraproduktif. Kelompok inilah yang bertanggung jawab
membentuk kesan “kasar” Kota Makassar dua tahun terakhir. Mereka adalah
anak-anak muda yang bukan saja tidak produktif tetapi sekaligus mengganggu
produktivitas Kota Makassar secara keseluruhan. Sebelumnya, Kota Makassar
terkenal “kasar” karena sering terjadi demo atau tawuran yang dilakukan oleh
mahasiswa. Meski demikian, kesan kesan “kasar” tidak diikuti dengan kesan
“tidak aman”. Belakangan, saat para pemuda melakukan aksi-aksi kekerasan, kesan
tidak aman juga ikut menjadi identitas Kota Makassar. Faktanya muncul hastag
#makassartidakaman dan menjadi trending topik nasional yang juga diberitakan di
dunia internasional oleh BBC. Maka jadilah Kota Makassar sebagai kota
bereputasi internasional untuk kondisi tidak amannya. Masyarakat menjadi takut
untuk beraktivitas malam seperti biasanya karena banyaknya kasus pembegalan
yang tejadi.
Kelompok pemuda
kontraproduktif ini awalnya muncul hanya sebagai ekspresi kenakalan remaja.
Mereka membentuk geng motor hanya untuk aktivitas balap liar di jalan-jalan
protokol Kota Makassar. Demikianlah kemudian eskalasi kenakalan semakin
meningkat yang disertai dengan aksi kriminal berupa perampokan di cafe-cafe
ataupun mini market-minimarket. Aksi-aksi geng motor yang semakin meningkat
jumlahnya pada akhirnya menjadi momentum bagi pemuda-pemuda lainnya untuk
melakukan aksi kejahatan serupa meski tidak berafiliasi dengan geng motor.
Pemuda-pemuda tersebut
diatas digolongkan sebagai kontraproduktif karena mereka hanya berkontribusi
negatif terhadap kota Makassar. Disisi lain, terdapat kelompok pemuda yang
kadang-kadang berkontribusi negatif dan kadang-kadang berkontribusi positif
terhadap kota Makassar. Kelompok inilah yang digolongkan sebagai kelompok semi
produktif. Pemuda-pemuda ini kadang-kadang mengganggu ketertiban umum dengan
melakukan demonstrasi yang tak jarang berujung bentrok dengan polisi sehingga
menyebabkan kemacetan. Mereka juga kadang terlibat tawuran dengan kelompok
pemuda lain bahkan sampai ada yang meregang nyawa. Tanpa perlu penjelasan
panjang kita mungkin sudah dapat menebak dengan tepat siapa yang termasuk dalam
kelompok ini. Mereka adalah kelompok mahasiswa yang pada umumnya berafiliasi
dengan lembaga kemahasiswaan ataupun organisasi daerah (organda). Sebelum masa
teror begal, kelompok pemuda ini yang bertanggung jawab atas kesan “makassar
tukang rusuh” ataupun “makassar tukang demo”.
Meski
mengganggu ketertiban umum, setidaknya kelompok ini tidak menciptakan ketakutan
berlebih sebagaimana kelompok pertama. Masyarakat juga kadang-kadang sudah tau
jadwal rutin demonstrasi mahasiswa seperti awal mei atau ketika terjadi
kasus-kasus besar di Indonesia. Selain itu, mahasiswa juga memiliki kontribusi
bagi Kota Makassar baik secara langsung ataupun tidak langsung. Secara langsung
misalanya mahasiswa banyak melakukan bakti-bakti sosial yang langsung menyentuh
masyarakat. Secara tidak langsung yaitu melalui penelitian yang dapat bermanfaat
bagi kehidupan kota, prestasi-prestasi mahasiswa yang membawa nama baik kota
ataupun demonstrasi yang membawa kepentingan rakyat. Untuk alasan-alasan
posisif dan kadang-kadang negatif inilah mahasiswa diposisikan sebagai kelompok
semi produktif.
Kelompok ketiga
adalah kelompok pemuda produktif. Para pemuda yang termasuk didalah kelompok
ini adalah pemuda yang berkontribusi positif terhadap kota seperti pemuda yang
tergabung dalam NGO, komunitas peduli, atau kelompok pemuda wirausaha. Jumlah
pemuda dari kelompok ini cenderung meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2013
telah tercatat lebih dari 400 NGO dan ribuan wirausaha muda di Kota Makassar.
Pemuda-pemuda ini termasuk yang berkontribusi dalam pembangunan/pertumbuhan
ekonomi, demokratisasi, ataupun pemberdayaan di Kota Makassar.
Dari
penggolongan pemuda sebagaimana telah diuraikan diatas menunjukkan dua sisi
yang berbarengan yaitu kecemasan dan harapan. Untuk kelompok pemuda pertama,
dalam dua minggu terakhir, aparat kepolisian telah berhasil menangkap puluhan
pelaku begal. Meski demikian, kecemasan tetap saja masih menghantui mengingat
penyebab-penyebab aksi begal masih belum dapat teratasi dengan baik. Angka
kesenjangan ekonomi masih saja tinggi. Begitu pula keterpaparan anak muda
dengan penyalahgunaan miras dan narkoba masih belum bisa teratasi. Untuk kasus
terakhir, satpol pp bahkan telah menyatakan kewalahan mengatasi masalah
penyalahgunaan lem fox yang ternyata bisa memabukkan. Dengan berbagai latar
belakang persoalan yang belum teratasi tersebut, rasa-rasanya kita masih patut
wasapada dengan masa depan Kota Makassar. Aksi penangkapan pelaku hanya akan
menjadi pengobat sementara yang masih belum menyembuhkan sumber
permasalahannya.
Untuk kelompok
kedua, kita sudah bisa berharap lebih baik. Dalam beberapa kasus terakhir, aksi
demonstrasi di jalan sudah berkurang drastis. Mengenai penyebab pastinya masih
perlu dikaji lebih dalam. Adapun beberapa alternatif kemungkinan diantaranya:
mahasiswa sudah tidak se kritis dulu, aksi lebih banyak berakhir bentrok antara
mahasiswa dengan polisi dibantu warga, atau (yang lebih baik) mahasiswa telah
menemukan model gerakan yang baru melalui tulisan dan media sosial?. Dengan
berkurangnya aksi demonstrasi maka secara otomatis akan mengurangi bentorkan
antara mahasiswa dengan polisi. Hal yang masih menghawatirkan adalah konflik
antara mahasiswa yang dipicu oleh identitas kelompok, baik kelompok kedaerahan,
suku ataupun konflik antar fakultas.
Khusus untuk
kelompok ketiga, kita masih dapat menaruh harapan besar bagi kelompok pemuda produktif ini. Bahkan tidak berlebihan jika
kita berharap banyak bagi kelompok ini untuk berkontribusi mengurangi akses
negatif dari kedua kelompok sebelumnya. Kelompok produktif ini punya modal
sosial, intelektual dan finansial untuk dapat mengatasi masalah-masalah tsb.
Kesenjangan ekonomi dapat diatasi dengan akses lapangan kerja oleh para pemuda
wirausahawan. Penyalahgunaan narkoba
ataupun konflik sosial dapat diatasi dengan modal sosial dan intelektual dari
kelompok NGO. Hanya saja, satu hal yang masih perlu untuk didorong adalah agar
para pemuda ini memfokuskan aktivitasnya pada masalah-masalah sosial di Kota
Makassar. Karena memang tidak sedikit juga NGO yang berkantor di Makassar
tetapi berkontribusi di luar Makassar.
Sebagai
penutup, pelajaran yang didapatkan dari eksplorasi kelompok-kelompok pemuda di
Kota Makassar adalah bahwa stigma negatif yang melekat kepada Makassar sebagai
kota kasar tidak sepenuhnya benar. Pada kenyataanya, kelompok produktif dan
semi produktif ternyata jauh lebih besar jumlahnya. Dari segi kuantitas saja
sudah besar harapan makassar akan jauh lebih baik kedepannya. Meski demikian,
kecemasan juga tidak serta merta dapat dikesampingkan mengingat masih banyak
kasus-kasus kejahatan di Kota Makassar. Kecemasan-kecemasan ini mestinya
menjadi perhatian para kelompok produktif untuk diatasi bersama. Dengan
demikian, Makassar bisa menjadi city of
tumorrow bukannya citty of sorrow.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar