Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Jumat, 22 Agustus 2014

Batas-Batas Kebebasan

batas kebebasan
sumber gambar:
http://www.tumblr.com/search/caknun
Pasca reformasi, sejumlah kebebasan dijamin oleh pemerintah, diantaranya: kebebasan berkumpul dan berserikat, kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan memilih dan dipilih serta kebebasan lain-lain. Jika kita memberikan penilaian kepada kebebasan-kebebasan itu maka sebagian diantaranya akan dinilai  dengan melebihi skor ideal atau dengan kata lain sebagian diantaranya justru kebablasan.
Kembali melihat perjalanan sejarah kebebasan di Indonesia maka tidak akan terlepas dari cerita-cerita otoritarianisme yang terjadi di Indonesia pada masa orde baru. Kebebasan-kebebasan dikekang sehingga masyarakat merasa sesak dengan kekangan itu. Sampai akhirnya tekanan yang diberikan mencapai batas maksimalnya dengan perlawanan menuntut kebebasan. Pemerintah pada saat reformasi mengabulkan keinginan masyarakat dengan memberikan kebebasan yang seluas-luasnya bagi masyarakat dalam banyak hal maka terjadilah euforia kebebasan. 
Masyarakat yang terlampau nyaman dengan kebebasannya akhirnya melupakan prinsip dasar kebebasan dalam demokrasi yaitu kebebasan yang tetap terbatas. Batas kebebasan ini dapat dianalogikan dengan pagar dari sebuah ruang. Dimasa orde baru, masyarakat dipagari dengan pagar yang sempit sehingga semua yang berada di dalamnya  terpaksa harus berimpitan dan berdesak desakan. Jelas rasa sesak yang muncul pada saat itu mendorong untuk menuntut kebebasan. Tuntutan kebebasan inilah yang salah diartikan oleh pemerintah. Tuntutan kebebasan selayaknya diartikan dengan memperluas pagar dari sebuah ruang sehingga masyarakat yang berada didalamnya merasa sedikit lega dengan ruang yang mulai meluas. Yang terjadi justru bukan pagarnya yang diperluas melainkan pagarnya dihilangkan.
Masyarakat yang tadinya berdesak desakan akhirnya berhamburan keluar begitu pagarnya dihilangkan. Terjadilah yang kita sebut sebagai kebebasan yang kebablasan. Masyarakat yang sudah terlampau jauh keruang bebas akhirnya menjadi sulit untuk kembali dihimpun kesebuah ruang yang meiliki batas. Kecenderungan seperti ini terlihat dalam kasus-kasus penolakan terhadap undang-undang keamanan negara, undang-undang intelejen, undang-undang ormas dll.
Masyarakat yang sudah terlanjur nyaman berada diruang bebas tiba-tiba ingin dimasukkan kedalam ruang yang memiliki pagar maka tidak heran kemudian jika yang terjadi adalah resistensi-resistensi atas nama kebebasan. Jika kita menyimak argumen-argumen masyarakat pihak menolak undang-undang tersebut diatas maka sebagian besar argumennya didasarkan pada kata kebebasan.
Kiranya penting untuk mendudukkan kebebasan pada hakekat keberadaannya dalam kehidupan sosial kita. Kebebasan bermasayarakat merupakan derivasi langsung dari demokrasi yang menjadi pilihan bernegara menggantikan sistem ortitarianisme. Maka perlu dilihat azas-azas demokrasi yang dapat dijadikan pedoman dalam melihat batas-batas kebudayaan itu sendiri. Kepastian hukum dalam logika demokrasi merupakan hal yang penting untuk membatasi kebebasan. Pilihan menjadi negara hukum adalah pilihan yang dilakukan dengan azas kesadaran dan kebebasan tertinggi sehingga tunduk pada hukum, betapapun kerasnya hukum tersebut, juga merupakan perwujudan dari demokrasi sepanjang hukum itu merupakan hal yang diinginkan melalui proses demokrasi. Bahkan secara ekstrim dapat pula dikatakan bahwa dalam model kerajaan pun masih dapat disebut demokratis sepanjang itu menjadi kesepakatan dan keyakinan bersama dari seluruh masyarakat. Model ini terlihat pada sistem pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dari asumsi seperti ini bahwa jelas kebebasan pun harus tunduk pada hukum. Ini menjadi batas-batas kebebasan yang mutlak. Jadi dilema antara azas kebebasan dan hukum seharusnya diselesaikan dengan menempatkan hukum lebih tinggi dari kebebasan itu sendiri.  Dalam perumusan kebijakan yang bersifat membatasi kebebasan yang terlampau jauh, harus lebih didasarkan pada pertimbangan hukum ketimbang pertimbangan kebebasan. Meskipun hukum tidak selalu mebatasi tetapi dapat pula membebaskan, namun dalam diskursus masalah kebijakan pembatasan maka hukum harus lebih dominan untuk membatasi.
Azas demokraasi yang lain adalah persamaan. Disini persamaan dapat dijadikan sebagai dasar dalam membatasi kebebasan. Dilema antara persamaan dan kebebasan harusnya dijawab dengan kembali merujuk kepada kecenderungan model demokrasi yang dianut. Demokrasi liberal jelas akan mengedepankan aspek kebebasan daripada persamaan dan sebaliknya demokrasi sosial akan mengedepankan persamaan ketimbang kebebasan. Lalu dalam konteks Indonesia, persamaan seharusnya mendapat posisi yang lebih layak untuk dipertimbangkan. Alasannya, karena jelas persamaan lebih dekat dengan keadilan sosial yang merupakan salah satu dasar negara ini. Keadilan sosial berarti tidak adanya jurang perbedaan sosial yang terlampau jauh diantara masyarakat. Tidak boleh ada sekelompok orang yang terlalu kaya dan ada sekelompok lainnya yang terlampau miskin. Dengan demikian, pembatasan kebebasan kepemilikan juga harus segera menjadi perhatian pembuat kebijakan. Ini tidak berarti bahwa membatasi seseorang untuk memiliki sesuatu tetapi penekanannya pada pembatasan seseorang memiliki sesuatu secara berlebihan guna menghindari ketimpangan sosial. Kebijakan pajak progresif yang diterapkan di negara-negara Eropa dalam membatasi hak kepemilikan merupakan kebijakan yang penting untuk diadopsi di Indonesia.
Hukum dan persamaan merupakan dua hal yang dijadikan pembatas dari kebebasan. Hukum menjadi dasar agar kebebasan tidak kebablasan dan mengganggu kebebasan orang lain sedangkan persamaan menjadi dasar agar tidak terjadi jurang yang terlampau jauh diantara masyarakat yang terlanjur memilih demokrasi sebagai sistem bernegaranya.
Terlepas dari kedua batas diatas, ada hal lain yang perlu dicermati mengenai masalah batasan. Batas-batas yang dibahasakan diatas adalah batas-batas maksimal kebebasan. Hal lain yang sangat jarang diulas adalah batas minimal kebebasan. Pasca pagar pembatas dihilangkan, masyarakat berhamburan keluar untuk menikmati kebebasan tetapi tidak semua masyarakat melakukan hal serupa. Diantara mereka masih ada yang tidak beranjak dan ikut menikmati euforia kebebasan. Masyarakat yang berhamburan keluar bisa dipastikan adalah mereka-mereka yang telah memiliki energi yang untuk berlari jauh keluar meninggalkan batas yang telah hancur. Mereka-mereka adalah orang yang berpendidikan dan berkemampuan ekonomi yang cukup untuk melejit keluar mencari kebebasan. Sementara mereka yang tinggal diam adalah mereka yang lemas dan tanpa daya. Mereka yang semasa orde baru hingga reformasi masih tertinggal dari segi pendidikan dan kemampuan ekonomi. Tanpa tenaga untuk bergerak, mereka tentu hanya bisa diam ditempat dan menonton orang-orang bereforia kebebasan. Bagi mereka, ada pagar atau pun tidak ada pagar pembatas adalah sama saja. Lebih penting bagi mereka untuk mencari tenaga bertahan untuk mampu tetap berdiri.
Ini berarti bahwa batas minimal kebebasan yang pertama adalah kebebasan dari kemiskinan dan kebodohan. Masyarakat miskin dan berpendidikan rendah tidak begitu peduli dengan kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat, berserikat dll. Mereka lebih peduli dengan membebaskan dirinya dari kebutuhan hidup hari demi hari. Hari ini bebas, besok kembali berjuang untuk bebas.
Menjadi tugas berat bagi pemerintah dalam mengurusi masalah kebebasan. Di satu sisi membebaskan masyarakat dari kemiskinan dan disisi lain membatasi masyarakat yang terlampau jauh kebablasan. Agar kebebasan menjadi seimbang, maka batas-batas minimal dan batas-batas maksimal kebebasan harus diperhatikan secara seimbang pula oleh pemerintah. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan harusnya tidak hanya fokus mendorong terciptanya regulasi pembatasan kebebasan dalam artian batas maksimal tetapi perlu juga untuk berbenah diri dalam upaya pemenuhan batas minimal kebebasan bagi masyarakat yang tidak mampu membebaskan dirinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
 
Blogger Templates