Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail
Tampilkan postingan dengan label Renungan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Renungan. Tampilkan semua postingan

Selasa, 14 Agustus 2018

Harari dan Hari-Hari yang Berat

Tulisan ini sesungguhnya adalah pelanggaran. Saat seharusnya saya menyelesaikan setumpuk tulisan lain yang berkaitan dengan tugas di kantor, saya malah menulis di blog ini. Pekerjaan saya memang menumpuk belakangan ini. Semua tiba-tiba seolah datang bersamaan. Di tengah kesibukan itu, saya sekali sekali melarikan diri. Menulis ini adalah salah satu bentuk pelarian selain membuka sosmed, membaca artikel artikel, novel atau buku.

Pelarian yang akan saya ceritakan kali ini adalah tentang karya Yuval Noah Harari. Saya memiliki dua buku fenomenal karya Harari, Sapiens dan Homo Deus. Orang-orang menyarankan membaca Sapiens dulu lalu Homo Deus. Saya tidak mengikuti saran itu. Saya membaca Homo Deus dan rencananya akan membaca Sapiens belakangan.

Buku ini menarik bagi saya karena saya memang selalu senang membaca tulisan yang menyajikan fakta sejarah untuk memahami masa kini dan masa depan. Itulah mengapa novel yang berkesan bagi saya selalu saja ada konteks sejarahnya seperti tetralogi buruh karya Pramudia, Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan, dan yang terbaru Laut Bercerita nya Leila S. Choduri. Buku Homo Deus ditulis dengan gaya bercerita seperti itu. Mulai dari sejarah, konteks masa kini dan proyeksi masa depan.

Harari bercerita bagaimana manusia di masa lalu kalah dengan wabah dan perang. Harari menyajikan data bagaimana wabah bisa menghabiskan lebih dari setengah populasi di sebuah negara di masa lalu. Informasi ini menarik bagi saya di tengah perdebatan tentang vaksin campak rubella. Kalau saja orang-orang membaca bagaimana wabah menghabiskan populasi di masa lalu, ide tentang vaksin akan lebih muda diterima dibandingkan ide-ide konspiratif.

Manusia saat ini adalah manusia yang berhasil mengalahkan hari-hari suram dari wabah dan perang yang berdampak buruk di masa lalu. Manusia mengembangkan vaksin serta sistem sosial yang pada akhirnya menghindarkan manusia pada penderitaan-penderitaan seperti masa lalu. Setelah melalui tahap bertahan hidup, manusia kini mencari sesuatu yang lebih dari sekedar perdamaian dan bebas dari wabah. Harari menyimpulkan bahwa kebutuhan manusia saat ini adalah untuk hidup abadi (immortal) dan bahagia. Setelah menang melawan virus, manusia mengupayakan agar hidup lebih lama. Jika memungkinkan, hidup selamanya. Untuk mencapai kebahagiaan, manusia menciptakan teknologi untuk mempermudah hidupnya.

Bagaimana sejarah akan berjalan ke depan? untuk mencapai kebahagiaan dan keabadian, manusia menciptakan biroteknologi dan artificial intelegent. Dua instrumen ini pula yang akan berpengaruh terhadap masa depan umat manusia. Bagaimana bioteknologi dan artificial intelegent berpengaruh ke masa depan akan saya ceritakan di lain waktu karena saya belum tuntas membaca bagian itu.

Lalu mengapa Homo Deus? Harari bercerita tentang perubahan cara berpikir manusia. Saat wabah belum dipahami manusia, segalanya dianggap sebagai hukuman Tuhan kepada manusia. Saat ini, saat sains sudah mampu menjawab banyak hal yang dulunya belum dipahami manusia, kepercayaan manusia terhadap Tuhan diyakini Harari sudah menghilang. Bahkan beberapa kali Harari mengutip pernyataan Nitzce bahwa "Tuhan telah Mati". Dengan obsesi manusia untuk hidup abadi dan mengontrol segala hal, manusia telah berupaya untuk menjadi Tuhan. Itulah mengapa Homo Deus dipilih menjadi judul buku ini. Dalam buku ini, Harari juga menjelaskan proses bagaimana kata-kata bisa membentuk realitas. Kata-kata yang dimaksud seperti data, teori dan dan bahkan kitab suci. Pernyataan kontroversial dari Rocky Gerung beberapa saat yang lalu tentang 'kitab suci adalah fiksi" dijelaskan lebih jauh oleh Harari. Saya akhirnya meyakini jika pernyataan Rocky Gerung terinspirasi dari Homo Deus. Saya sekaligus sedikit mengerti cara berpikir Rocky Gerung dalam hal "Ketuhanan yang Maha Esa".

Apa yang menarik selain konten sejarah yang diceritakan oleh Harari adalah gaya menulisnya. Dalam banyak bagian, dia membiarkan celah bagi saya untuk meragukan tulisannya. Seolah dia sengaja membuka lubang besar untuk dikritisi. Semua kritikan yang telah menghantui pikiran saya saat membaca di bagian awal dijawab tuntas di bagian akhir. Saya akhirnya merasa seperti sapi yang dihidungnya dipasangi rotan lalu ditarik kesana kemari sesuai kehendaknya. Tentang agama misalnya, Harari mengkritik agama karena tidak menyediakan jawaban tentang masalah teknologi yang dihadapi manusia saat ini. Menurutnya, agama hanya berdimensi masa lalu. Saya tentu saja dengan posisi defensif berpikir bahwa tafsir tentang kitab suci nyatanya selalu berkembang setiap zaman. Saya merasa Harari salah dalam hal tersebut. Lalu dibagian akhir, Harari mencontohkan bahwa pemuka agama bukan mengembangkan sesuatu dari kitab suci. Ketika dunia berkembang, para pemuka agama akan "kembali membaca ayat demi ayat dalam kitab suci dan pada akhirnya menemukan penjelasan moral tentang fenomena tersebut". Bagi saya itu adalah pukulan yang cukup telak untuk meruntuhkan sikap Defensif saya. Saya mau tidak mau harus menyetujui apa yang dituliskan oleh Harari.

Saya beruntung karena hidup dalam masyarakat religius. Saya tidak bisa membayangkan jika saya hidup dalam masyarakat sekuler. Barangkali saya akan dengan mudah menjadi ateis dengan bacaan-bacaan seperti ini. Lingkungan religius membentuk cara berpikir saya untuk keluar dari perdebatan rasional seperti itu. Jika ada pertanyaan yang belum mampu terjawab hari ini, saya yakin bukan karena Tuhan tidak ada sebagaimana diyakini Harari. Yang saya yakini dalam banyak hal, Tuhan memang tidak serta merta mampu dijelaskan oleh akal. Bukankah syarat pertama untuk menjadi Islam adalah menyatakan "tidak ada Tuhan selain Allah". Persaksian ini di mulai dari menegasikan lalu kemudian menegaskan. Homo Deus pada ahirnya saya anggap sebagai bagian dari persaksian ini.

***

Membaca Homo Deus di hari-hari yang serba berat rasanya seperti piknik melintasi zaman. Saya merasa seperti memasuki otak para pelaku sejarah yang diceritakan oleh Harari. Tak seperti pikinik ke tempat menarik yang hanya melibatkan rasa, piknik yang dipandu oleh Harari melibatkan logika, perasaan dan keyakinan. Bukankah ini piknik yang cukup menarik bagi orang-orang yang memang sedang butuh piknik?

Makassar, 14 Agustus 2018

Rabu, 02 November 2016

Pemuda Kota Makassar: Harapan atau Kecemasan?

Sumber: http://www.aktual.com/
Tidak sedikit orang di luar Makassar yang memiliki pandangan bahwa Makassar itu kota “kasar”. Stigma negatif tersebut cukup beralasan. Lihat saja misalnya data dua tahun beruturut-turut (2015 dan 2016), Kota Makassar selalu menempati ranking satu untuk tingkat kriminalitas tertinggi di Sulawesi Selatan. Berdasarkan data dari Polda Sulsel, dari bulan Januari sampai Maret 2016 terdapat 378 kasus kejahatan di Kota Makassar. Jumlah itu terhitung sekitar tujuh kali lipat dengan angka kejahatan di Kabupaten Gowa yang menempati posisi kedua tertinggi setelah Makassar. Kejahatan yang tercatat terdiri dari kasus penganiayaan berat (anirat), pembunuhan, pencurian dengan pemberatan, pencurian dengan kekerasan, pencurian kendaraan bermotor, pencurian hewan ternak hingga kasus narkoba. (Liputan 6, 2016). Apa yang paling mencengangkan dari data tersebut adalah pelaku kejahatan didominasi oleh kaum muda. Tidak sedikit diantaranya yang masih duduk di bangku SMP dan SMA.
Berbagai kasus kejahatan yang didominasi oleh pemuda tersebut menumbuhkan kekhawatiran tentang masa depan Kota Makassar. Akan jadi seperti apa Kota Makassar kedepan jika kaum muda banyak yang sedini mungkin telah terpapar kejahatan? Apakah masih ada harapan bagi kota ini untuk menjadi lebih baik? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dijawab dengan lebih dahulu menjernihkan pemahaman kita mengenai pemetaan pemuda di Kota Makassar.

Jumat, 28 Oktober 2016

Anak-Anak Kuri Caddi

Pagi itu tak seperti pagi biasanya bagi bocah-bocah dusun Kuri Caddi. Sekitar setengah delapan pagi, beberapa orang diantara mereka sudah mulai berkumpul di sekitar tempat kami berkemah. Beberapa orang tampak mengenakai pakaian rapi dan bersih seperti hendak ke pesta. Padahal mereka sengaja diminta datang membantu kami membersihkan di sekitar sekolah mereka. Sekolah yang mereka gunakan secara bergantian antara siswa Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah. Satu-satunya sekolah di dusun itu. 

Sembari menunggu kami yang terlambat bersiap-siap, anak-anak berkumpul di kantin di samping sekolah. Sebuah ruangan berukuran sekitar 4 x 4 meter. Hampir di seluruh ruangan dipenuhi dengan beraneka macam makanan ringan yang tergantung dimana-mana. Banyak merk makanan ringan yang baru pertama kali saya temukan di tempat itu. Ya, sudut-sudut desa terpencil memang selalu menjadi sasaran empuk para penjual makanan ringan. Anak-anak kecil senang saja berbelanja tanpa tau bahayanya bagi kesehatan. Pagi itu, mi gelas menjadi primadona anak-anak kecil. Tampaknya mereka dibekali uang jajan oleh orang tua masing-masing. 

Rabu, 19 Agustus 2015

MERDEKA!!!

Kata orang sih, jangan mengaku cinta jika belum mengucap nama yang kamu cintai dalam doa mu?

Hari ini banyak yang menunjukkan cintanya ke Indonesia dengan berbagi ekspresi: upacara bendera, mengibarkan bendera di  bawah laut ataupun di puncak gunung, ada pula yang sekedar meramaikan dunia maya dengan ucapan dirgahayu negeriku (seperti saya)..

Apa pun ekspresi kecintaan yang ditunjukkan, jangan lupa menyelipkan doa  untuk negeri dalam sederetan doa mu: semoga masa krisis cepat berlalu (seperti saran ustads Yusuf Mansur), semoga bebas negeri kita dari korupsi dan sederetan doa yang baik2 untuk negeri kita..
Dan YANG PALING PENTING, setelah berdoa, seperti tema perayaan kemerdekaan Indonesia ke 70, Ayo Kerja!!!
Ayo berbuat untuk negeri!!!

Dirgahayu Indonesia ke 70..
Semoga jaya negeriku..

Makassar, 17 Agustus 1945

Selasa, 11 Agustus 2015

Power Point Mengurangi Kecerdasan?

"power point sebagai salah satu penyebab menurunnya kecerdasan".
Kutipan diatas saya temukan dalam salah satu artikel koran online. Karena ragu dengan isi artikelnya, saya pun mencari sumber aslinya dan ketemulah artikel ini:

http://www.nytimes.com/2010/04/27/world/27powerpoint.html?fb_ref=Default

Memang benar bahwa US Army memberi perhatian serius pada wacana ini. Tetapi sepanjang yang saya baca (dengan pemahaman bhs Inggris yg terbatas), saya tidak menemukan bahwa wacana ini merupakan hasil penelitian sebagaimana diulas dalam koran online tadi. 
Sebaliknya, wacana ini justru berasal dari "candaan" mereka ttg sulitnya memahami slide dengan diagram dynamic system thinking sehingga bagi mereka: jika sudah bisa memahami slide sama saja sudah memenangkan perang (saking sulitnya).
Namun wacana berkembang dgn serius. Banyak yang bercerita pengalamannya memakai power point hingga berasumsi ttg dampak power point bagi pemahaman manusia. Pro kontra pun berlanjut dalam sesi komentar, ada yg sepakat dengan ulasan di artikel dan ada pula yang tidak. Bagi mereka yang tidak sepakat mengajukan argumen bahwa Power Point hanya alat, selebihnya tergantung penggunanya. Orang yang mendesain power point secara baik tentu akan menghasilkan power point yang mencerdaskan (mudah dipahami).
Perdebatan ini sebenarnya juga sudah lama mengganggu pikiran saya. Power Point sering kali menjadikan pelajaran menjadi instan, baik oleh presenternya maupun yang audiensnya. Pengalaman dalam proses perkuliahan, tak jarang slide yang di tampilkan merupakan hasil copi paste dari internet (jujur, saya juga pernah). Demikian pula bagi siswa (mahasiswa), power point bisa menjadi alat belajar instan. Tak perlu mencatat, tak perlu membaca buku, tinggal copy file dan baca sebentar dan selesailah pelajaran. Instan bukan?
Di sisi lain, power point juga bermanfaat (khususnya bagi pembelar visual) untuk menyederhanakan sesuatu yang kompleks menjadi mudah di mengerti, entah itu melalui diagram sederhana, gambar ataupun video. Ini yang tidak di dapatkan jika hanya menjelaskan dengan media spidol dan papan tulis (apalagi mendikte).
Ya, seperti itulah tools..
Hadir untuk memudahkan, tetapi juga dapat membuat terlena dan menjadi malas..

Rabu, 06 Agustus 2014

Pattiro Sompe dan Cerita tentang Keihlasan

cerita tentang keihklasan
sumber: http://pakarcinta.com/

Pattiro Sompe adalah nama salah satu gunung (mungkin lebih tepat disebut bukit) di Kota Sengkang Kabupaten Wajo. Belum ada informasi yang pasti tentang asal-usul penamaan Pattiro Sompe ini. Jika diartikan secara etimologi, pattiro dalam bahasa bugis berarti melihat dari kejauhan sementara sompe berarti merantau. Jadi pattiro sompe dapat diartikan melihat orang merantau. Tapi, terjemahan kata pattiro sompe tidak lantas dapat disematkan pada Pattiro Sompe sebagai bukit tempat melihat orang merantau. Sebab, terdapat salah satu kelurahan di Kecamatan Sabbangparu Kabupaten Wajo yang bernama Kelurahan Sompe. Ini tentu memunculkan pilihan pemaknaan lain dari Pattiro Sompe yaitu bukit tempat melihat (kelurahan) Sompe.

Senin, 04 Agustus 2014

Ikhlas Berbagi Sejadah

Seringkali kita lupa membawa sejadah ketika ikut shalat berjamaah di mesjid atau di tempat lain. Jika beruntung, jemaah disamping kita akan berbagi sejadah dengan kita. Namun pernahkah anda perhatikan saat jemaah saling berbagi sejadah?

Selasa, 29 Juli 2014

Bergesernya Waktu


shifting time
sumber gambar:
 http://www.club.cc.cmu.edu/

Perubahan itu adalah sebuah keniscayaan. Begitulah mungkin penjelasan yang tepat mengapa perubahan kian terasa. Dulu, waktu kecil ku sering bertanya: mengapa orang-orang dewasa begitu membosankan? Mengapa orang dewasa senang menggunakan cincin dengan batu permata?

Rabu, 24 Oktober 2012

Hakekat Manusia

Entah mengapa ingatan saya tiba-tiba tertuju pada pertanyaan teman sekelas pada kuliah perdana Filsafat Ilmu dan Metode Penelitian yang dibawakan oleh Pak Gunawan. Teman saya bertanya “Apakah manusia itu tersandra oleh kebiasaan?”. Berbagai jawaban muncul pada kuliah tersebut termasuk dari pak dosen sendiri. Sebagian besar mengiyakan bahwa manusia itu tersandara oleh kebiasaan. Pada saat itu saya berada pada posisi tidak sepakat dengan pernyataan apakah manusia tersandra pada kebiasaan tersebut dengan mengacu pada perdebatan antara kaum determinisme dan free will. Saat itu saya menganggap bahwa pernyataan manusia tersandra oleh kebiasaan adalah sama dengan pemahaman kaum determinisme bahwa segala sesuatu sudah teratur dan manusia hanya bergerak sesuai aturan-aturan itu. Saya yang meyakini bahwa manusia itu punya kehendak bebas pastinya tidak sepakat dengan pernyataan itu.
Setelah perkuliahan selesai tanpa menghasilkan jawaban yang jelas, pertanyaan itu kemudian saya bawa pulang dan untuk beberapa saat saya an apakah benar manusia itu tersandra oleh kebiasaan. Perenungan itu kemudian menuntun saya pada pertanyaan seputar hakekat kemanusiaan yang pada kuliah perdana Filsafat Ilmu itu juga di bahas meskipun tidak tuntas. Apa perbedaan manusia dengan binatang?
Hampir semua yang ditanya persoalan ini akan menjawab perbedaanya terletak pada akal yang dimiliki manusia dan tidak dimiliki oleh hewan. Manusia memiliki akal yang dengan itu mampu menghasilkan cipta, karya dan karsa (inipun juga dibahas dalam kuliah tadi). Terkait dengan kemampuan mencipta dan berkarya, saya jadi teringat beberapa bulan silam waktu saya menjadi Anggota Dewan Kehormatan Penerimaan Anggota Baru Racana Hasanuddin. Pada kegiatan penghadapan dewan kehormatan yang bertugas menguji kemampuan calon anggota untuk bisa diterima sebagai anggota, saya ditempatkan pada pos pengetahuan umum.
Pertanyaan awak yang saya berikan kepada calon peserta adalah “apa perbedaan antara manusia dengan binatang?” Jawaban yang diberikan beragam, mulai dari jawaban yang simpel sampai yang rumit. Yang simpel menjawab perbedaannya yaitu manusia bisa bikin pisang goreng sedangkan hewan tidak bisa. Sekedar menguji kedalaman pemahamannya saya bertanya lebih lanjut “jadi kalau ada manusia yang tidak bisa bikin pisang goreng berarti bukan manusia?”. Semua yang memberi jawaban tapi akhirnya berpikir ulang dan tidak menemukan jawaban selanjutnya.
Jika diranungkan lebih dalam, sepenggal jawaban simpel tadi sebenarnya mengandung inti dari hakekah kemanusiaan sebagaimana dijelaskan diatas, yaitu mampu mencipta dan berkarya. Kata “manusia bisa bikin pisang goreng” itu sebenarnya mengandung identitas kemanusiaan yang diterjemahkan dalam bahasa partikular. Bahasa universalnya adalah manusia “bisa membuat sesuatu”. Kata “bisa membuat” disini berorientasi pada “potensi berkreasi” sedangkan “sesuatu” berorientasi pada “sesuatu yang baru”. Jadi jika pertanyaannya “Kalau ada manusia yang tidak bisa bikin pisang goreng, apakah berarti dia bukan manusia? Jawabannya iya, dia bukan manusia. Mari kita garis bawahi kata “tidak bisa bikin” pada pertanyaan tersebut. Jika kita merujuk pada orientasi kata “bisa” yang berarti potensi berkreasi, maka kata “tidak bisa bikin” dapat juga diartikan “tidak punya potensi berkreasi” dan itu bertentangan dengan hakekat kemanusiaan. Manusia bukannya tidak bisa bikin pisang goreng melainkan hanya belum tau caranya dan belum mau belajar membuat pisang goreng.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana jika dibandingkan dengan binatang yang bisa membuat sarang? Apakah bisa juga digolongkan sebagai manusia? Ataukan pernyataan itu justru menggugurkan hakekat kemanusiaan karena ternyata binatang juga bisa membuat sesuatu. Untuk menjawabnya, kita kembali pada orientasi kemanusiaan pada kata “bisa membuat” dan “sesuatu”. Pada manusia, sebagaimana diungkapkan diatas, kata bisa membuat berorientasi pada pemahaman memiliki potensi berkreasi sedangkan pada binatang berorientasi sebagaimana secara harfiah yaitu bisa membuat. Pada kata “sesuatu”, untuk manusia, berorientasi pemahaman sesuatu yang baru sedangkan pada binatang berarti sesuatu sebagaimana biasanya.
Kreasi  berarti menghasilkan sesuatu yang baru yang belum pernah ada sebelumnya atau memodivikasi sesuatu yang sudah ada menjadi sesuatu yang berbeda dari sebelumnya. Potensi inilah yang dimiliki manusia. Binatang tidak memiliki daya kreasi sehingga hanya melakukan sesuatu sebagaimana kebiasaanya. Itulah yang membuat sarang dan pisang goreng menjadi pembeda binatang dan manusia. Sarang yang dibuat oleh binatang dari dulu sampai sekarang masih saja seperti itu sedangkan pisang goreng dibuat oleh manusia dari olahan pisang yang bisa sangat beragam cara yaitu dibakar, digoreng, direbus dibuat kripik dll. Pisang goreng saja sudah beragam campuran, mulai dari pisang goreng keju, coklat, dll yang pastinya akan terus menjadi sesuatu yang baru.
Kembali ke diskusi awal, apakah manusia tersandra oleh kebiasaan? Jawabannya tentu tidak. Hakekat manusia salah satunya adalah potensi untuk berkreasi yang dengan itu membuatnya keluar dari kebiasaan. Jika manusia tersandra oleh kebiasaan maka tidak akan ada kreasi-kreasi baru yang lahir didunia ini. Jika manusia tersandra oleh kebiasaan maka manusia tidak ada bedanya dengan binatang. Asumsi ini menolak pandangan circular reasoning yang menempatkan cara berpikir manusia pada satu lingkaran yang berulang-ulang. Lebih dari itu, cara berpikir manusia itu seperti bola salju yang menggelinding, sedikit demi sedikit membesar, bukannya seperti bola kasti yang menggelinding tanpa berubah besar lingkarannya. Manusia selalu mendapat pengetahuan baru yang bisa menjadi kebiasaan. Kebiasaan itu kemudian diperkaya dengan pengetahuan-pengetahuan yang lebih baru, atau bisa jadi pengetahuan baru tersebut merubah kebiasaan lama. Namun berubahnya kebiasaan tidak lantas menghilangkan kebiasaan lama dari pengetahuan manusia, melainkan menjadikannya bahan baku dalam menelaah kebiasaan barunya.
Wallahuallam bishawab.


Catatan Ngawur [minggu 21 Okt. 12]

Rabu, 11 April 2012

Narsisme Kelompok


Narsisme Kelompok : Buah Dehumanisasi Pengkaderan

Kekerasan menjadi fenomena yang kian merebak akhir-akhir ini. Yang paling marak adalah kekerasan antar kelompok, dari kelompok masyarakat hingga kelompok mahasiswa. Jika kita menyoal tentang kekerasan maka salah satu penyebab kekerasan yang dapat diidentifikasi adalah apa yang disebut oleh Erich Fromm dalam bukunya “Akar Kekerasan” sebagai “Narsisme Kelompok”.
Narsisme dijelaskan oleh Erich Fromm sebagai kondisi pengalaman seseorang dimana yang dia rasakan sebagai sesuatu yang benar-benar nyata hanyalah tubuhnya, keutuhan perasaannya, pikirannya kekayaan atau benda-benda serta orang-orang yang ada hubungan dengannya. Dapat disimpulkan bahwa Fromm menggambarkan narsisime sebagai sebuah pemisahan diri mutlak seseorang dengan lingkungannya. Selain dirinya adalah sesuatu yang semu.  Narsisme membangkitkan sikap agresif atas segala sesuatu yang mengganggu keagungan citra dirinya menurut dirinya sendiri.
Dalam konteks kelompok, Fromm menjelaskan bahwa bila objek narsisme adalah kelompok maka individu narsistik dapat sepenuhnya menyadari narsisnya dan mengungkapkannya tanpa hambatan apapun. Penegasan bahwa “Negara Saya” (atau bangsa atau agama saya) yang paling hebat, paling berdaya, paling kuat, paling cinta damai dan sebaganya sama sekali tidak berlebihan bahkan terdengar sebagai ungkapan patriotisme, keyakinan dan kesetiaan. Celakanya penegasan tersebut sepertinya nyata sebagai sebuah kebenaran oleh karena bagi sebagian orang yang tidak memiliki daya kritis, kenyataan dibangun berdasarkan konsesnsus. Narsisme kelompok sebagaimana narsisme individu membangkitkan sikap agresif terhadap sesuatu yang menggangu keyakinan kelompok tersebut.
Narsisme kelompok bisanya teraktualkan kedalam simbol-simbol yang diyakini oleh anggota kelomponya. Simbol-simbol ini biasanya berupa nama, slogan, lagu,  gambar, warna, angka,  dll dengan segala pemaknaannya. Fanatisme simbolik ini kadang menjadi identitas yang menyatukan suatu kelompok dan mengidentifikasi yang lain sebagai sesuatu yang berbeda dengannya bahkan tidak nyata baginya. Proses internalisasi simbol dapat dilakukan dengan proses sugesti. Sugesti itu sendiri diartikan sebagai sebuah pernyataan yang diterima tanpa adanya daya kritis. Sugesti terjadi karena beberapa hal, diataranya karena banyak, karena sedikit dll. Karena banyak yaitu karena sebagian besar orang menyepakati sesuatu maka sesuatu itu dinyatakan sebagai sebuah kebenaran. Karena sedikit dimaksudkan karena orang sedikit itu adalah orang yang ahli, dan orang yang ahli selalu benar.
Dalam konteks kelompok mahasiswa, proses internalisasi biasanya dilakukan dalam proses pengkaderan mahasiswa baru. Mahasiswa baru yang umumnya belum memiliki daya kritis yang memadai dengan jumlah yang minoritas jika dibandingkan dengan anggota kelompok yang telah lebih dahulu bergabung (red:senior) akan bersosialisasi dengan mayoritas senior yang telah sepakat dengan simbol kelompoknya. Dalam proses pengkaderan, biasanya akan tampil seorang senior yang menjelaskan makna dan histori dari simbol-simbol kelompoknya, seseorang yang dianggap ahli untuk itu. Tanpa daya kritis, mahasiswa baru akan menelan bulat-bulat sugesti-sugesti tersebut.

Dehumanisasi Pengkaderan
Pengkaderan sejatinya merupakan proses transformasi nilai-nilai kemanusiaan. Pengkaderan merupakan proses pendidikan yang oleh karenanya juga merupakan proses memanusiakan manusia. Proses menjadikan manusia sebagai manusia seutuhnya berdasarkan fitrahnya. Proses mengaktualkan potensi-potensi kemanusiaan seorang manusia. Oleh karena  itu, seharusnya semua proses dalam pengkaderan didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan.
Manusia dalam perspektif personal dalam proses humanisasi dimaksudkan untuk mengoptimalkan semua potensi-potensinya, baik jiwa maupun raganya. Dalam perspektif universal, manusia adalah bagian dari lingkungan, bagian dari alam semesta. Segala hal yang menjauhkan manusia dari dirinya secara personal maupun universal adalah sebuah tindakan dehumanisasi.
Proses pengkaderan harusnya mampu menciptakan kesadaran kritis terhadap anggota kelomponya. Karena menciptakan kesadaran kritis merupakan proses optimalisasi potensi akal sebagai salah satu identitas kemanusiaan. Dengan kesadaran kritis, anggota baru tidak akan mudah terjebak pada sugesti-sugesti yang akan semakin menjauhkanya dari fitrah kemanusiaannya.
Proses internalisasi simbol kelompok sebagai salah satu agenda pengkaderan sejatinya merupakan sebuah proses humanisasi sepanjang tujuannya adalah melepaskan seseorang dari narsisme individu, oleh karena jika seseorang bergabung dalam sebuah kelompok maka dia setidaknya mengakui orang lain sebagai bagian dari kelompoknya. Namun kemudian proses itu seharusnya dibarengi dengan kesadaran universal sehingga menghindarkan seseorang atau kelompok tersebut dalam sebuah narsisme kelompok. Simbol kelompok seharusnya hanya dijadikan sebagai sebuah sarana penyadaran akan keberagaman dan bukan menjadikan kelompok yang satu berbeda apalagi menafikkan secara eksistensial dengan kelompok yang lain. Wallahuallam bishawab
 
 
Blogger Templates