Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Kamis, 01 November 2012

Good Governance Mencengkram Dunia

Sumber: http://www.poppydharsono.com
Gambar diatas menunjukkan betapa tidak merdekanya Indonesia dalam bidang energi. Hampir semua wilayah kekayaan migas Indonesia digarap oleh pihak asing khususnya Amerika. Menjadi semakin unik karena gambar yang sangat profokatif ini bersumber dari BPH Migas. Tafsir yang muncul kemudian meyakinkan bahwa ada sesuatu yang salah dengan semua ini. Bangsa Indonesia sendiri sadar akan tidak berdaulatnya dalam bidang migas tetapi seolah-olah tidak mampu berbuat apa-apa menghadapi semua itu. Jawaban paling singkat atas fenomena tersebut yaitu besarnya intervensi asing dalam kebijakan energi di Indonesia.
Salah satu kajian yang bisa memberikan gambaran atas fenomena tersebut yaitu kajian terhadap konsep good governance. Kata yang sudah sangat akrab dengan telinga hampir semua ruang-ruang hidup. Kata yang fasih dilafaskan bahkan oleh orang-orang yang tidak memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi. Pembahasan lebih lanjut tentang good governance ini akan dibahas dengan terlebih dahulu mengungkapkan bagaimana sejarahnya serta adakah pihak yang berkepentingan dengan konsep tersebut. Bagian selanjutnya akan melihat bagaimana penerapannya di Indonesia khususnya dalam masalah kebijakan energi.
Konsep Governance: Tinjauan Sejarah dan Kepentingan
Kata governance dan government merupakan dua kata yang sering sekali dipertukarkan. Banyak ilmuan atau praktisi yang menggunakan kata tersebut secara bergantian pada satu konteks yang sama. disini perlu diperjelas perbedaan antara term governance dan governance. Term Governance menurut kamus Oxford online yaitu: “the action or manner of governing a state, organization, etc”, sedangkan dalam New Webster’s International Dictionary (Pratikno dalam jurnal ilmu sosial dan ilmu politik 2005: 234) mengartikan governance sebagai: ‘act, manner, office, or power of governing’, atau ‘methods of government or regulation’. Kedua definisi tersebut menunjukkan bahwa governance merujuk pada aktivitas dari pemerintah. Sedangkan kata government itu sendiri berarti pemerintah. Jadi government merujuk kepada pemerintahnya sedangkan governance merujuk kepada aktivitas pemerintah.
Jika dirunut sejarah konsep governance dan governent, maka dua definisi kamus di atas terbilang sangat sederhana. Setelah tahun 1980-an kata governance muncul untuk menggantikan kata governing dalam agenda reformasi pemerintahan. Seppo Tiihonen (2004) menggambarkan: “when governing refers to constitued policies of state actors backed by formal authority to use monopolized coercive powers, governance suggest more to activities backed by shared goals that may or may not derive from legal and formal authority.” Kata governance digunakan dalam reformasi pemerintahan dari yang sebelumnya kaku dan formal menjadi lebih fleksibel. Gambaran yang lebih jelas diungkapkan oleh Pratikno (2005) yang disadur dari Pendapat Rhodes mengenai tujuan penggunaan kata governance. Diungkapkan bahwa:
“Istilah government reform, democracy dan sejenisnya, dianggap telah mengalami inflasi dan tidak mampu menarik perhatian untuk menggerakkan semangat reform. Oleh karena itu, diperlukan kemasan baru government reform kali ini berbeda dengan reform yang ada sebelumnya. Istilah governance digunakan untuk menegaskan signifikansi perlunya arah dan semangat baru reformasi pemerintahan. Istilah governance telah digunakan untuk menegaskan signifikansi perubahan proses, metode dan capaian kepemerintahan.”
Paparan Praktikno memberikan gambaran penggunaan term governance dalam reformasi pemerintahan merupakan upaya re-simbolisasi atas term government yang sudah menjadi simbol negatif dalam praktek pemerintahan. Praktek pemerintahan yang negatif disini yaitu praktek pemerintahan yang kaku dan sangat formal diubah menjadi pemerintahan yang lebih fleksibel.
Kronologis transformasi government ke governance terjadi sepanjang abad ke-20 yang secara kronologis berlangsung melalui beberapa tahap. Tahap I adalah era abad ke-20 yang ditandai dengan konsolidasi pemerintahan demokratis (democratic government) di Dunia Barat. Tahap ke II berlangsung setelah Perang Dunia I, yang ditandai dengan semakin menguatnya peran pemerintah. Era ini merupakan masa dimana negara dilihat sebagai kendaraan yang tangguh untuk membawa perubahan sosial dan pembangunan ekonomi.  Tahap ke III, era tahun 1960-1970an, Perhatian dunia barat beralih ke negara-negara dunia ketiga. Era ini adalah saat dimana perluasan proyek developmentalisme (moderenisasi) yang dilakukan oleh dunia barat di dunia ketiga dengan melancarkan pendalaman kapitalisme. Pada saat yang sama, hadir rezim otoritarian di kawasan Asia, Amerika Latin dan Afrika sehingga kapitalisme justru mendukung otoritarianisme. Tahap ke IV memasuki dekade 1980-an, ditandai dengan krisis ekonomi dan finansial negara yang melanda dunia yang mendorong munculnya cara pandang baru terhadap pemerintah. Pemerintah dimaknai bukan sebagai solusi terhadap problem yang dihadapi melainkan justru  sebagai akar masalah krisis, karena itu penyesuaian struktural yang lahir dalam bentuk deregulasi, prifatisasi, dan pelayanan publik yang berorientasi pasar berkembang pesat. Perkembangan isu-isu ini menandakan kemenangan neoliberal yang sejak lama menghendaki peran negara secara minimal, sekaligus kemenangan pasar dan swasta. Pada saat yang sama, rezim-rezim otoritarian mulai runtuh satu persatu melalui gelombang demokratisasi. Tahap ke V adalah era 1990-an dimana demokratisasi (yang sudah dimulai dekade 1980-an) berkembang pesat seantero jagad yang dimotori oleh lembaga-lembaga dunia yaitu IMF dan World Bank (AAGN Ari Dwipayana dan Suroto Eko 2003: 2-6).
Berkembangnya konsep governance berdasarkan uraian sejarah dari Dwipayana dan Suroto tidak terlepas dari dominasi salah satu ideologi dunia yang muncul sebagai pemenang dari perang ideologis di masa lalu. Ideologi kapitalisme dengan wajah baru yaitu neoliberalisme berhasil bertahan dan menjadi ideologi tunggal yang  mencengkram dunia. Ideologi neoliberalisme sebagaimana diungkapkan diatas mengharuskan minimalisasi peran negara dalam bentuk deregulasi, privatisasi dan pelayanan publik yang berorientasi pasar. Ini berarti mengharuskan negara bertransformasi menjadi lebih fleksibel dan konsep demikian sejalan dengan konsep governance yang diungkapkan oleh Seppo Tiihonen.
Meskipun demikian, term governance menjadi populer setelah dipublikasikan secara massif oleh Bank Dunia sejak tahun 1989. Eko Prasojo dan Teguh Kurniawan mengungkapkan:
“Terminologi governance menjadi lebih mengemuka  dengan adanya studi yang dilaksanakan oleh bank dunia pada tahun 1989... Sejak publikasi bank dunia tersebut terminologi governance menjadi populer dan dijadikan sebagai kriteria dalam bantuan pembangunan kepada negara-negara berkembang” (2008:4)
Agresifitas Bank Dunia dalam mengkampanyekan konsep governance ini terlihat dalam penyesuaian kelembagaan sebagai prasyarat untuk mendapatkan bantuan pembangunan. Untuk mendapatkan bantuan dari Bank Dunia, setiap negara harus menyesuaikan tata kelembagaannya berdasarkan kriteria yang dikeluarkan oleh Bank Dunia. Untuk memperlancar transformasi pemerintahan di negara calon penerima bantuan, Bank Dunia mengutus seorang konsultan untuk mengasistensi perubahan tata kelembagaan negara penerima bantuan tersebut. Selain itu, negara-negara tersebut juga berinisiatif mengundang agen-agen Bank Dunia untuk memberikan pelatihan kepada pejabat publik di negaranya masing-masing sebagai langkah penyesuaian kelembagaan.
Penyesuaian kelembagaan yang disyaratkan oleh bank dunia dirumuskan sebagai kriteria good governance. Kriteria kemudian ini dikenal sebagai Washington Consensus karena perumusannya dilakukan di Washington DC oleh tiga lembaga keuangan besar yaitu World Bank, IMF dan Departemen Keuangan Amerika Serikat. Dalam Washington Consensus, pemerintah dikatakan baik apabila memenuhi kriteria berikut:
  1. Disiplin Fiskal
  2. Konsentrasi belanja publik pada barang-barang publik termasuk sektor pendidikan, kesehatan dan infrastruktur
  3. Reformasi perpajakan dengan memperluas basis pajak dengan tarif pajak moderat
  4. Bunga bank yang dikendalikan oleh mekanisme pasar
  5. Nilai mata uang yang kompetitif
  6. Liberalisasi perdagangan
  7. Keterbukaan terhadap infestasi asing
  8. Privatisasi perusahaan negara dan daerah
  9. Deregulasi atau penghapusan regulasi yang menghambat pasar asing atau membatasi kompetensi kecuali yang bisa dibenarkan untuk kepentingan keamanan, lingkungan, perlindungan konsumen atau keperluan pengawasan finansial
  10. Jaminan hukum untuk kepemilikan (Hayami dalam Pratikno, 2005)
Kesepuluh point Washington Consensus diatas semakin memperkuat keidentikan konsep governance  dengan Neo-Liberalisme. Kriteria deregulasi, privatisasi dan mekanisme pasar yang merupakan prinsip dari neoliberalisme dengan jelas tertera dalam kriteria good governance diatas. Jika negara-negara yang membutuhkan bantuan dari Bank Dunia dengan sukarela ataupun dengan terpaksa harus menyesuaikan tata pemerintahannya berdasarkan kriteria good governance dari washington consesus maka berarti juga negara-negara tersebut juga mau tidak mau menerima ideologi neoliberalisme.
Salah satu faktor lain yang menyebabkan konsep governance ini berkembang pesat yaitu dengan adanya hegemoni konsep yang lebih operasional khususnya dalam wacana keilmuan pemerintahan ataupun administrasi publik. Hughes (dalam Pratikno, 2005) mengungkapkan “pada tataran low middle rank theory tentang administrasi publik, gagasan good governance versi ini dikembangkan oleh beberapa gagasan seperti New Public Management, Market Based Public Administration, Entrepreneurial Government, dan sejenisnya. Konsep-konsep tersebut merupakan konsep yang memasukkan logika pasar dalam pengelolaan administrasi publik. Pada umumnya, praktisi maupun akademisi administrasi publik selalu menggunakan kata “sudah” bagi pemerintah yang  menerapkan New Publik Management. Penggunaan istilah “sudah” tersebut menunjukkan sikap pengharapan dan pengagungan bagi konsep New Public Management sebagai konsep ideal pemerintahan. Demikian pula konsep Reiventing Government karya Osborne dan Gablaer yang merupakan konsep utama dalam New Public Manegement telah menjadi kitab wajib yang harus dihafalkan oleh penggiat administrasi publik baik itu dikalangan mahasiswa maupun pegawai-pegawai dalam diklat-diklat pemerintah.
Baik dalam perspektif sejarah, Washington Consesus, dan wacana keilmuan administrasi publik; konsep governance selalu menunjukkan keidentikannya dengan ideologi neoliberalisme. Konsep minimal state, deregulasi, privatisasi, penggunaan mekanisme pasar merupakan konsep yang ditemui di keduanya. Untuk mengetahui pola relasi dari konsep governance dan neoliberalisme maka menjadi penting untuk mengkaji lebih lanjut mengenai ideologi neoliberalisme.
Konsep neoliberalisme menemukan moment yang tepat untuk berkembang. Sebelumnya, di Amerika dan Eropa menerapkan model ekonomi keynesian dimana pemerintah memegang kendali terhadap pasar . Pada da tahun 1973, negara-negara Arab, produsen utama minyak dunia membentuk kartel yaitu OPEK sehingga menyebabkan harga minyak melambung tinggi. Kenaikan harga minyak menyebabkan kenaikan harga-harga dan upah-upah yang berujung pada resesi ekonomi. Disaat seperti inilah para penganut aliran neoliberalisme mengeluarkan kritik kepada kebijakan ekonomi keynesian yang dianggapnya menjadi sumber masalah tersebut.
Tiga point kritikan dari penganut aliran neoliberalisme kepada aliran keynesian yaitu: pertama, intrevensi negara menghalangi ekonomi pasar untuk berfungsi sebagaimana mestinya. Selain itu mereka menyatakan bahwa peningkatan belanja publik Keynesian dianggap menciptakan terlalu banyak demand, dan karenanya menjadi sebab timbulnya inflasi yang meluas. Kedua, kelompok penganut neoliberalisme menggugat program-program kesejahteraan dan welfare state yang ditawarkan oleh kebijakan keynesian karena dianggap sebagai bentuk ketidakadilan. Ketiga, pengagungan terhadap pasar. Setelah melakukan kritik terhadap fondasi kebijakan ekonomi keynesian, kelompok neolieralisme menekankan arti penting pasar bagi penciptaan kesejahteraan umat manusia (Budi Winarno, 2009: 88-90).
Point pertama kritikan neoliberalisme terhadap keynesian menghasilkan prinsip minimal state yaitu mengurangi peran dan belanja negara. Untuk itu, privatisasi menjadi pilihan yang dilakukan oleh Reagan dan Thatcher sebagai pendukung neoliberalisme terhadap fungsi-fungsi atau lembaga negara. Prinsip kedua menekankan pada pengurangan subsidi kepada masyarakat miskin. Sedangkan prinsip ketiga yaitu penerapan mekanisme pasar dalam urusan pemerintahan. Penerapan prinsip-prinsip neoliberalisme pada masa kepemimpinan Reagan dan Thatcher ternyata berdampak positif dan menyelamatkan Amerika dan Inggris dari depresi ekonomi bahkan mengantarkan kedua negara tersebut menjadi negara yang paling mulai saat itu. Pengurangan pajak yang merupakan salah satu point dalam neoliberalisme berhasil mendorong pertumbuhan perusahaan-perusahaan di kedua negara tersebut dalam skala besar-besaran yang saat ini dikenal sebagai perusahaan multinasional atau transnasional.
Keberhasilan neoliberlisme di kedua negara tersebut mendorong mereka untuk memperjuangkan liberalisasi dan perdagangan bebas dunia. Didukung oleh para pengambil kebijakan di lembaga-lembaga dunia (GAAT/WTO, IMF, dan Bank Dunia) serta pengambil kebijakan publik di negara-negara maju, pikiran-pikiran kelompok ini menjadi ideologi dominan dalam usahanya menciptakan liberalisasi perdagangan dan investasi di seluruh dunia (Budi Winarno, 2009:93). Senjata ampuh yang mereka ciptakan adalah Washington Consensus sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, dan alat ampuh yang mereka manfaatkan dan rekayasa adalah globalisasi.
Globalisasi merupakan sebuah fenomena yang multi perspektif. Oleh karena itu globalisasi dapat dimanfaatkan dan direkayasa tergantung pada perspektif yang digunakan. Globalisasi dalam konteks dimanfaatkan merujuk pada globalisasi dalam perspektif perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang telah masuk sangat dalam ke setiap dimensi kehidupan sehingga menghubungkan semua manusia dalam sebuah komunitas global tanpa batas. Globalisasi dalam konteks direkayasa yaitu dalam perspektif pemaksaan yang dilakukan oleh bank dunia agar negara-negara penerima bantuan membuka pasarnya untuk komunitas global. Sehubungan dengan rekayasa globalisasi ini, Thahtcher sendiri menggunakan istilah TINA, kepanjangan dari There is No Alternative – tidak ada pilihan lain (dalam Amin Rais, 2008:17). Lebih lanjut, Amin Rais (2008) menjelaskan:
 “Maksudnya, tidak ada alternatif lain bagi globalisasi; bagi WTO; World Bank, dan IMF; bagi ekonomi pasar bebas; bagi kapitalisme; bagi kuasa koorporasi; bagi monopoli media yang telah di merger; bagi hegemoni politik dan supremasi ekonomi barat. Tidak Ada Alternatif Lain bagi itu semua. Semua negara harus memahami dan menyesuaikan diri dengan TINA tersebut.”
Penekanan Thacher dan penjelasan Amin Rais menunjukkan betapa kuatnya pengaruh kaum neoliberalisme dalam merekayasa globalisasi sehingga tidak bisa tidak semua negara harus mengaminkan globalisasi yang mereka kreasi.
Menurut George A. Steiner dan Jhon F. Steiner (dalam Budi Winarno 2009:30-31), globalisasi yang berjalan cepat di saat ini di dorong oleh tiga kekuatan yaitu: pertama, produk nasional kotor tumbuh dan meningkat dengan cepat terutama di negara-negara maju. Kedua: revolusi dalam teknologi komunikasi dan ketiga: kekuatan-kekuatan yang mempermudah munculnya perusahaan – perusahaan besar berskala global seperti modal-modal besar, pasar-pasar tidak tetap, perkembangan ilmu manajemen dll. Dari poin pertama, kita dapat mengetahui kepentingan besar yang bermain dalam rantai besar neoliberalisme, globalisasi dan governance. Ketika perusahaan-perusahaan lokal di negara-negara maju berlomba-lomba untuk memproduksi barang dan jasa dalam skala besar-besaran sedangkan target pasar dalam negerinya kurang yang disebabkan karena jumlah penduduknya sedikit maka diperlukan pangsa pasar baru yang lebih luas yaitu dunia Internasional. Untuk tujuan itu, perusahaan-perusahaan tersebut melalui corong pemerintah dan lembaga-lembaga dunia dengan gencar mempromosikan satu paket ideologi beserta konsep praktisnya lengkap dengan medianya. Satu paket yang dimaksud yaitu ideologi neoliberalisme, konsep praktisnya dalam pemerintahan berupa good governance dan medianya yaitu globalisasi.
Dalam bagian sebelumnya telah dipaparkan bahwa untuk mendapatkan bantuan dari Bank Dunia ataupun lembaga-lembaga donor Internasional lainnya, negara calon penerima bantuan harus menerima asistensi  dari agen atau konsultan yang di utus oleh lembaga internasional tersebut. Konsultan inilah yang menjadi aktor utama yang memastikan kepentingan-kepentingan Amerika Serikat ataupun koorporasi besar di Amerika bisa diinjeksikan ke negara-negara penerimaa donor lembaga Internasional. Pengakuan Jhon Perkins, mantan konsultan dari Amerika Serikat menunjukkan bagaimana mekanisme kerja mereka dalam memuluskan kepentingannya. Budianto Shambazy (dalam Jhon Perkins, 2007):
“Tugas pertama Jhon Perkins adalah membuat laporan-laporan fiktif untuk IMF dan World Bank untuk mengucurkan utang luar negeri kepada Negara-Negara Dunia Ketiga. Tugas kedua Perkins membangkrutkan negara penerima utang. Setelah tersandra oleh utang yang menggunung, negara pengutang agar, misalnya, mendukung pemerintah AS dalam voting di Dewan Keamanan PBB. Bisa juga negara pengutang dipaksa menyewakan lokasi untuk pangkalan militer AS. Sering terjadi korporatokrasi memaksa pengutang untuk menjual ladang-ladang minyak mereka kepada MNC (Multi Nasional Corpopration) milik negara-negara barat.”
Apa yang digambarkan Budianto Shambazy  dalam pengantar buku yang ditulis sendiri oleh Jhon Perkins ini menunjukkan bagaimana cara negara-negara maju memaksakan kepentingan mereka kepada negara-negara dunia ketiga. Cara kerja mereka ini tidak ubahnya seperti penjajahan di masa kolonial tetapi dengan cara-cara yang lebih elegan. Lebih lanjut, Jhon Perkins (2004) sendiri mengakui:
“Itulah kami para EHM upayakan dengan sebaik-baiknya: kami membangun kekuasaan global. Kami adalah sekelompok laki-laki dan perempuan elit yang memanfaatkan organisasi keuangan internasional untuk menimbulkan kondisi yang menyebabkan bangsa-bangsa lain tunduk pada corporatocracy yang menjalankan korporasi kami yang paling besar, pemerintah kami dan perbankan kami. Seperti rekan sejawat kami di mafia, para EHM bermurah hati. Ini berbentuk pinjaman untuk mengembangkan infrastruktur – pembangkit tenaga listrik, jalan raya, pelabuhan, bandar udara, atau kawasan industri. Sebuah syarat pinjaman semacam itu adalah perusahaan rekayasan dan konstruksi dari negara kamilah yang mesti membangun semua proyek itu. Pada hakiktanya, sebagian besar uang itu tidak pernah meninggalkan Amerika Serikat; uang itu hanya di transfer dari perbangkan di Washington ke kantor bagian rekayasa di New York, Houston atau San Fransisco.”
Para mafia atau Economic Hit Men (EHM) berdandan dengan cantik dalam bahasa agen atau konsultan dari lembaga-lembaga internasional. Tugas mereka pun didandani dengan bahasa asistensi atau penataan struktur padahal yang terjadi sebenarnya adalah lobi atau lebih tepatnya pemaksaan kehendak pemerintah dan korporasi AS untuk menyuntikkan kepentingannya di negara-negara penerima donor yang ternyata lebih tepat disebut sebagai pinjaman. Jhon Perkins sebagai mantan EHM menunjukkan kepada dunia bagaimana mekanisme yang digunakan dalam pemberian pinjaman luar negeri hanya menguntungkan negara AS dan korporasinya, sebaliknya merugikan dan mencekik negara yang menerima pinjaman.
Jika hasil kajian ini digunakan untuk kembali melihat point-point good governance yang dirumuskan dalam Washington Consensus maka akan menjadi jelas kepentingan apa dan siapa yang melandasi setiap rumusan tersebut. Point kedua misalnya yaitu konsentrasi belanja publik pada barang-barang publik termasuk sektor pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Point ini landasan ideologisnya yaitu neoliberalisme yang sangat alergi dengan subsidi kepada masyarakat miskin dengan dalih untuk mengurangi laju inflasi, untuk itu belanja publik disarankan dialihkan pada barang-barang publik misalnya pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Kepentingan dari poin ini, seperti yang di gambarkan Perkins yaitu agar perusahaan-perusahaan mereka yang bergerak dalam jasa tersebut mendapatkan proyek pembangunan di negara-negara penerima bantuan melalui lobi EHM. Begitu pula dengan point-point yang mengharuskan negara calon penerima pinjaman untuk membuka pasarnya bagi dunia intrenasional, menerima infestasi asing, dan mereformasi pajaknya tidak lain dilandasi oleh ideologi neoliberalisme yang mengagungkan pasar dan kepentingan memperluas pemasaran produk dalam negeri mereka yang sudah membludak dan tidak mampu lagi di serap oleh pasar lokalnya serta kepentingan memperluas cengkraman perusahaan multinasional mereka di negara-negara dengan upah pekerjanya lebih murah.
Untuk kepantingan yang lebih jauh yaitu memastikan pinjaman yang diberikan kepada negara-negara penerima pinjaman digunakan secara efektif, Bank Dunia maupun lembaga-lembaga internasional lain mengeluarkan azas-azas good governance yang berupa transparansi, akundabilitas, partisipasi, demokrasi, kepastian hukum dll. Azas-azas tersebut juga tidak terlepas dari muatan kepentingan. Transparansi dan akuntabilitas dimaksudkan agar penggunaan dana yang diberikan tidak disalahgunakan seperti di korupsi karena juga merugikan negara-negara pendonor. Azas kepastian hukum juga dimaksudkan untuk menjamin keamanan anak perusahaan mereka di negara tempat mereka berinfestasi. Begitu pula azas demokrasi dimaksudkan karena negara dengan pemikiran masyarakatnya yang terbuka lebih mudah dipengaruhi untuk menerima ideologi yang mereka sosialisasikan. Hal tersebut semakin mudah dilaksanakan pada masyarakat demokratis dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan yang masih rendah karena masyarakat yang demikian akan dengan mudahnya direkayasa pandangannya untuk menyetujui ideologi tertentu.
IMPLEMENTASI Governance di Indonesia
Konsep governance di dunia telah merasuki pemerintahan Indonesia baik secara koseptual maupun secara kontekstual. Membahas sedemikian banyank konsep tersebut tentu membutuhkan waktu dan kajian yang lebih intens. Untuk itu tulisan ini hanya akan memfokuskan implementasi governance di Indonesia dalam aspek keterbukaan terhadap modal asing berdasarkan kriteria good governance dari bank dunia.
Prinsip keterbukaan terhadap infestasi asing telah mendapatkan legitimasi dalam bentuk Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UUPMA) dan beberapa UU lain seperti UU Migas. Masing-masing undang-undang ini sendiri sejak perumusan sampai penetapannya banyak menuai protes dan penolakan dari masyarakat di seluruh Indonesia. Berbagai argumen dan kiritik telah diberikan kepada pemerintah dan DPR untuk tidak mengesahkan undang-undang tersebut seakan menjadi angin lalu bagi lemabaga pemerintah tersebut. Hal ini semakin menguatkan indikasi bahwa undang-undang ini merupakan titipan dari pihak asing.
Dampak nyata dari prinsip keterbukaan terhadap infestasi asing ini dapat dilihat pada kolom fokus dalam harian kompas (Jumat, 2 Novermber 2012: 34) yang membahas penguasaan energi oleh pihak asing. Berdasarkan data yang bersumber dari BP Migas per Mei 2012, PT Freeport Indonesia dan PT Newmont yang merupakan perusahaan milik Amerika Serikat merupakan yang paling banyak menguasai sumber energi di Indonesia. Perusahan asing lainnya diantaranya berasal dari Inggris (British Petroleum), Prancis (Total), Norwegia (State Oil), Italia (ENI), dll. Penguasaan perusahaan AS dan negara lainnya mencapai 70-80%  atas energi dan sisanya dikuasai oleh Pertamina dan Perusahaan dalam Negeri. Kerugian Indonesia dari kondisi ini ditafsirkan oleh berbagai pengamat mencapai ratusan triliun.
Kerugian yang diungkapkan para pengamat dalam jumlah ratusan triliun bukanlah kerugian besar jika dibandingkan dengan kerugian dari perspektif kedaulatan bangsa. Kembali menengok sejarah, kedaulatan bangsa dibayar dengan harga yang sangat mahal yaitu penderitaan akibat penjajahan selama 350 tahun disertai dengan hilangnya ribuan nyawa dalam upaya mencapai dan mempertahankan kemerdekaan. Penguasaan secara massif sumber-sumber energi di Indonesia merupakan sebuah bentuk penjajahan baru dengan metode yang lebih lembut. Ketidakberdayaan pemerintah dalam menghadapi masalah ini merupakan sebuah gejala pelapukan fungsi negara. Negara ada tapi tidak berdaya. Itulah yang terjadi dalam konteks penguasaan sumber daya energi yang akarnya bersumber dari konsep keterbukaan terhadap infestasi asing.
Dimata bank dunia, pemerintahan seperti ini dianggap pemerintahan yang baik berdasarkan kriteria good governance-nya.  Namun perlu direfleksi kembali apakah negara itu baik jika membiarkan rumahnya dirampok oleh orang lain? Apakah masih bisa dikatakan negara jika kedaulatannya sudah tidak ada? Jawabannya jelas tidak. Penjelasannya menggunakan konsep negara yang terdiri dari unsur penduduk, lokasi, pemerintah dan kedaulatan. Dari konsep ini menggambarkan bahwa negara, pemerintah dan kedaulatan merupakan satu paket yang berarti jika tidak ada kedaulatan maka tidak ada negara dan jika tidak ada negara maka tidak ada pemerintah.  Dari titik ini konsep good governance menunjukkan kecacaatan epistemologinya. Prinsip penalaran meniscayakan non-kontradiksi dalam sebuah realitas. Tidak mungkin sesuatu ada dan tiak ada sekaligus dalam sebuah ruang dan waktu yang bersamaan. Begitu pula konsep negara dalam kriteria good governance pada contoh kasus diatas menunjukkan bahwa negara dikatakan baik berdasarkan konsep good governance jika kedaulatannya tidak ada. Ini berarti menganggap pemerintah baik jika tidak ada. Sungguh sebuah konsep ketatanegaraan yang irasional.
Meskipun konsep governance terbukti cacat epistemologi dan hanya merupakan konsep penjajahan baru tetapi menjadi pertanyaan kemudian mengapa pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa? Berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya, dua jawaban yang mungkin ditemukan yang pertama pada konsep NITA dari Tatcher yang mendeklarasikan bahwa tidak ada pilihan lain bagi negara-negara kecuali tunduk pada mekanisme global yang sedang berlangsung. Kedua, peran Economic Hit Man yang berhasil melobi pimpinan-pimpinan pemerintahan entah dengan cara sukarela atau pemaksaan. Sukarela disini berarti dengan menawarkan keuntungan-keuntungan pribadi atau sebaliknya pemaksaan yang dapat berupa ancaman kepada pemimpin pemerintahan ataupun organisasional dalam hal ini rezim atau negara.
Kesimpulan
Sejarah govenance tidak dapat dipisahkan dari perkembangan neoliberalisme dan globalisasi. Puncak perkembangannya terjadi mulai tahun 1980-an yaitu pada masa kepemimpinan Reagan di Amerika dan Thatcher di Inggris. Proses kerja ketiganya yaitu basis neoliberalisme menjadi basis ideologi dan wacananya, governance menjadi metode taknisnya dalam pemerintahan dan globalisasi merupakan medianya. Perjalanan sejarahnya juga menunjukkan dengan jelas siapa yang paling diuntungkan dari proses globalisasi yang menyebarkan ideologi neoliberalisme dan governance. Adalah perusahaan-perusahaan multinasional yang paling banyak diuntungkan dari proses perjalanan sejarah dunia yang cenderung berjalan unipolar ini. Perusahaan-perusahaan multinasional tersebut menggunakan pemerintah Amerika Serikat dan lembaga-lembaga internasional sebagai corongnya dalam mencengkram dunia. Indonesia merupakan salah satu negara yang menjadi santapan empuk dari proses perjalanan sejarah tersebut. Bukti faktual dari sektor pertambangan menunjukkan ketidakberdayaan pemerintah Indonesia keluar dari pusaran global tersebut. Nampak dengan sangat jelas siapa yang memegang kendali pertambangan di Indonesia pada saat ini. Yang terjadi sekarang hanyalah akumulasi dari penjajahan halus melalui hegemoni konseptual yang telah lama berjalan. Konsep itu didandani dengan cantik dalam wujud “governance”.
Rujukan:
Dwipayana, AAGN Ari dan Sutoro Eko (Eds). 2003. Membangun Good Governance di Desa. Yogyakarta: IRE Press.
Prasojo, Eko dan Teguh Kurniawan.  2008. Reformasi Birokrasi dan Good Governance: Kasus Best Practice dari Sejumlah Daerah di Indonesia. http://staff.ui.ac.id/
Pratikno. 2005. “Good Governance dan Governability”dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol 8, No. 3, 231-352. http://jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.id/
Perkins, Jhon. 2005. Confession of Economic Hit Man. Jakarta: Abdi Tandur
Perkin, Jhon. 2007. Bandit Ekonomi; Kelanjutan Kisah Petualangannya di Indonesia dan Dunia Ketiga. Jakarta: Ufuk Press.
Rais, Muhammad Amin. 2008. Agenda Mendesak Bangsa; Selamatkan Indonesa!. Yogyakarta: PPSK Press.  http://books.google.co.id/
Suhartono dan Anton Sanjoyo. “Penguasan Energi: Ketika AS Menguasai Sumber EnergiKompas.     2 November 2012. Hal. 34
Tiihonen, Seppo.  2004. From Governing to Governance. Tampere: Juvenes Print. http://books.google.co.id/

Winarno, Budi. 2009. Pertarungan Negara Vs Pasar. Jakarta: Media Presindo

Rabu, 24 Oktober 2012

Telaah Buku Membunuh Indonesia

Ide menulis resensi buku membunuh Indonesia tiba-tiba muncul sore ini didasari sebuah peristiwa ringan di kamar kost. Penulis secara spontan menegur teman kost karena membawa rokoknya masuk ke dalam kamar ketika ingin mengambil koran hari ini untuk dibacanya. Seketika peristiwa itu mengingatkan penulis akan sebuah buku yang pernah dibahas dalam sebuah acara Bedah Buku yang dilaksanakan oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu Pemerintahan. Acaranya meninggalkan kesan tersendiri bagi penulis selain karena temanya yang menarik juga karena pada saat itu penulis didadak menjadi panelis semalam sebelum diskusinya dimulai. Menjelang magrib tiba-tiba panitia pelaksana datang ke tempat penulis membawakan sebuah buku berjudul “Membunuh Indonesia” dan meminta kesediaan penulis menjadi salah satu panelis untuk kegiatan yang akan dilaksanakan keesokan paginya.
Berlatar kejadian menarik itu, seharusnya dapat dimengerti jika resensi buku tersebut tidak begitu baik disajikan dalam tulisan ini. Faktor lain yang membuat informasi dalam tulisan ini cukup terbatas karena penulis hanya mengandalkan ingatan atas bacaan buku tersebut mengingat buku yang dimaksud berada cukup jauh dari Jogja untuk bisa dibuka kembali.
Buku Membunuh Indonesia ini merupakan buku yang isinya tentang ekonomi politik dalam konspirasi menghancurkan kretek Indonesia. Pada bab awal digambarkan bagaimana kekuatan politik bangsa asing (red: bangsa kapitalis) “menghabisi” produksi-produksi unggulan Indonesia seperti kelapa sawit, jamu dll. Media pengancur yang digunakan adalah lembaga-lembaga penelitian dan badan-badan Internasional yang mengeluarkan standar kelayakan atau kesehatan suatu obat dan makanan. Untuk lebih mempermudah pemahaman, dapat dicontohkan bagaimana produk dalam negeri biasanya dilarang beredar dipasaran jika tidak mendapat izin dari BPOM.
Produksi kelapa sawit misalnya, dihancurkan dengan publikasi hasil riset yang menyimpulkan bahwa minyak yang dihasilkan oleh kelapa sawit Indonesia mengandung kolesterol yang tinggi sehingga berbahaya bagi kesehatan. Begitu pula jamu-jamu yang diproduksi di Indonesia belum memenuhi standar higenitas. Hasil riset tersebut kemudian menyebabkan kelapa sawit dan jamu produksi Indonesia menjadi tidak laku di pasar internasional dan secara otomatis mematikan produksi-produksi lokal.
Pada bab selanjutnya dijelaskan sejarah rokok dan sejarah kretek di Indonesia. Rokok menurut sejarahnya masuk ke Indonesia pada zaman kolonial belanda. Produksi tembakau di Indonesia yang melimpah membuat VOC yang memang merupakan perusahaan dagang tertarik mengembangkan industri rokok di Indonesia. Ketersediaan bahan baku ditambah upah pekerja murah menjadi faktor utama yang mendorong terwujudnya industri rokok di Indonesia. Hasil industri tersebut awalnya dipasarkan di pasaran Internasional. Pada saat itu, warga pribumi belum dibolehkan untuk merokok sampai terjadi resesi yang mengakibatkan keterputusan akses ke pasar Internasional. Dengan produksi yang melimpah dan pasar yang kurang, akhirnya pemerintah belanda membolehkan warga pribumi untuk merokok. Pada saat itulah rokok mulai tersebar dan membudaya di sepanjang nusantara. Budaya merokok terekspresikan berbeda di berbagai daerah di Indonesia, salah satunya dalam kultur masyarakat Bugis kita kenal istilah ico’ untuk sebutan terhadap rokok.
Industri rokok di Nusantara sendiri telah melalui berbagai tantangan masa resesi ekonomi dan terbukti masih bisa bertahan hidup hingga saat ini. Karena itulah WS Rendra, sang burung merak, sangat memuji Industri rokok sebagai model ideal kemandirian perekonomian di Indonesia. Betapa tidak, Industri ini mulai dari bahan baku, produsen dan konsumen semuanya ada dalam negeri. Tembakau sebagai bahan baku tersedia melimpah di Indonesia, pabrik-pabrik pembuatan rokok juga masih mampu bertahan dan terus memproduksi rokok dan ditambah lagi konsumen paling besar dari rokok itu sendiri adalah bangsa kita sendiri.
Dalam bab lain dalam buku Membunuh Indonesia diulas sejarah tentang kretek, mengapa kretek disebut sebagai rokok asli Indonesia. Kretek menjadi khas karena adanya bahan campuran selain dari tembakau yaitu cengkeh. Menurut sejarahnya, racikan rokok kretek itu tidak sengaja ditemukan oleh seorang petani. Pada mulanya petani tersebut mengalami sakit dibagian dadanya. Rasa sakitnya itu diobati dengan menggosokkan minyak cengkeh kedadanya. Walhasil, rasa sakit di dadanya berkurang. Akhirnya dia coba mengoleskan minyak cengkeh tersebut pada rokok dan dihisap asapnya sehingga sakit dadanya pun sembuh. Racikan itulah yang kemudian dikenal dengan isitilah kretek. Mengenai penamaannya sendiri mengapa disebut kretek karena kretek itu dianggap menyerupai bunyi tembakau yang trebakar, bunyinya kretek..kretek.. Dari situlah nama kretek digunakan untuk menyebut rokok yang berbahan campuran cengkeh.
Dalam perkembangan selanjutnya, rokok kretek yang berkembang di Indonesia mendapatkan pesaing baru dalam dunia bisnis rokok khususnya oleh perusahaan rokok putih yang sudah dapat digolongkan sebagai Multi National Corpration. Perebutan lahan bisnis oleh perusahaan rokok ini dinilai sudah tidak sehat. Pengusaha rokok putih yang berbasis di USA mendapat dukungan pemerintahnya melalui pembatasan peredaran rokok kretek di negaranya melalui bea pajak impor yang sangat tinggi. Berbeda halnya di Inonesia yang justru sebaliknya, tren bea impor semakin menurun. Pola persaingan lain yang dilakukan oleh pengusaha rokok putih yaitu, sebagaimana dijelaskan diawal, menggunakan legitimasi penelitian untuk menunjukkan secara ilmiah bahwa rokok kretek mempunyai kadar yang melebihi standar aman untuk dikonsumsi.
Selain rokok putih, lawan dari rokok kretek adalah kampanye anti rokok. Penelusuran yang disajikan dalam buku ini mengungkapkan perusahaan-perusahaan yang menyokong usaha-usaha publikasi kampanye bahaya merokok. Perusahaan-perusahaan yang dimaksud salah satunya adalah perusahaan yang memproduksi obat yang digunakan dalam rehabilitasi pecandu rokok. Kampanye bahaya merokok tentunya bakal merugikan perusahaan rokok dan pastinya menguntungkan perusahaan obat rehabilitasi perokok tadi.
Konteks ekonomi politik dalam pertarungan antara rokok putih dan rokok kretek dan antara perusahaan rokok dengan perusahaan obat rehabilitasi disimpulkan oleh para penulis buku Membunuh Indonesia sebagai sebuah usaha untuk mematikan perekonomian lokal Indonesia. Dampak yang digambarkan akan terjadi jika konspirasi penghancuran rokok kretek di Inodonesia terus berlanjut adalah matinya perusahaan rokok kretek Indonesia yang akan mengakibatkan ribuan pekerjanya mulai dari petani tembakau sampai buruk pabrik akan kehilangan lapangan pekerjaan. Selain itu, pemasukan negara akan berkurang besar mengingat pemasukan dari sektor pajak rokok tergolong sangat besar. Secara umum, disimpulkan bahwa mematikan usaha kretek di Indonesia berarti Membunuh Indonesia.

Telaah Kritis
Buku Membunuh Indonesia ini merupakan buku yang sangat profokatif. Hal tersebut dapat terlihat dari model penyusunan bukunya yang pada bagian awal menceritakan bagaimana produksi-produksi lokal di Indonesia dimatikan secara sistematis oleh konspirasi Intrenasional. Bagian awal inilah yang dapat menyentil sentimen Nasionalisme kita dana menjadikannya perspektif dalam membaca bagian-bagian selanjutnya. Luapan kemarahan kita kepada bangsa-bangsa atau perusahaan-perusahaan asing itulah yang menjadi landasan dalam menikamati paparan data dan sejarah yang disajikan dalam bahasan-bahasan selanjutnya.
Perlu menjadi perhatian kita bahwa emosi terkadang mereduksi akal sehat kita, menjadikan kita tidak objektif dalam melihat persoalan yang sebenarnya. Konteks itu yang coba dibangun dalam struktur buku ini. Namun sebagau bahan refleksi, patut dipertanyakan, apakah rokok sama dengan produksi-produksi Indonesia yang dipaparkan di awal pembahasan? Jawabanya sama dalam beberapa hal tetapi sangat berbeda dalam hal yang lain. Minyak kelapa sawit misalnya, dari segi perekonomian dan ketersediaan lapangan kerja kita dapat mengatakan bahwa keduanya sama tetapi dalam konsteks kebutuhan akan kedua barang tersebut menjadi sangat berbeda. Minyak kelapa adalah bahan yang penting dalam kehidupan sehari-hari. Indikatornya adalah minyak kelapa termasuk dalam satu dari sembilan bahan pokok sedangkan rokok tidak.
Hal lain yang perlu dipikirkan kembali setelah membaca buku ini adalah pola hegemoni dalam persaingan antara rokok putih dan rokok kretek. Jika rokok putih menggunakan kekuatan publikasi hasil riset yang menguntungkannya, maka tidak menutup kemungkinan rokok kretek yang juga menggunakan metode hegemoni yang lain dengan muatan tema yang lain. Buku mempunyai potensi yang cukup hebat sebagai media sosialisasi rokok kretek dengan memanfaatkan isu ekonomi politik dan sentimentil nasionalisme.

Wallahuallam bishawab..

Catatan Ngawur [Yogyakarta, Selasa, 23 Oktober 2012]

Hakekat Manusia

Entah mengapa ingatan saya tiba-tiba tertuju pada pertanyaan teman sekelas pada kuliah perdana Filsafat Ilmu dan Metode Penelitian yang dibawakan oleh Pak Gunawan. Teman saya bertanya “Apakah manusia itu tersandra oleh kebiasaan?”. Berbagai jawaban muncul pada kuliah tersebut termasuk dari pak dosen sendiri. Sebagian besar mengiyakan bahwa manusia itu tersandara oleh kebiasaan. Pada saat itu saya berada pada posisi tidak sepakat dengan pernyataan apakah manusia tersandra pada kebiasaan tersebut dengan mengacu pada perdebatan antara kaum determinisme dan free will. Saat itu saya menganggap bahwa pernyataan manusia tersandra oleh kebiasaan adalah sama dengan pemahaman kaum determinisme bahwa segala sesuatu sudah teratur dan manusia hanya bergerak sesuai aturan-aturan itu. Saya yang meyakini bahwa manusia itu punya kehendak bebas pastinya tidak sepakat dengan pernyataan itu.
Setelah perkuliahan selesai tanpa menghasilkan jawaban yang jelas, pertanyaan itu kemudian saya bawa pulang dan untuk beberapa saat saya an apakah benar manusia itu tersandra oleh kebiasaan. Perenungan itu kemudian menuntun saya pada pertanyaan seputar hakekat kemanusiaan yang pada kuliah perdana Filsafat Ilmu itu juga di bahas meskipun tidak tuntas. Apa perbedaan manusia dengan binatang?
Hampir semua yang ditanya persoalan ini akan menjawab perbedaanya terletak pada akal yang dimiliki manusia dan tidak dimiliki oleh hewan. Manusia memiliki akal yang dengan itu mampu menghasilkan cipta, karya dan karsa (inipun juga dibahas dalam kuliah tadi). Terkait dengan kemampuan mencipta dan berkarya, saya jadi teringat beberapa bulan silam waktu saya menjadi Anggota Dewan Kehormatan Penerimaan Anggota Baru Racana Hasanuddin. Pada kegiatan penghadapan dewan kehormatan yang bertugas menguji kemampuan calon anggota untuk bisa diterima sebagai anggota, saya ditempatkan pada pos pengetahuan umum.
Pertanyaan awak yang saya berikan kepada calon peserta adalah “apa perbedaan antara manusia dengan binatang?” Jawaban yang diberikan beragam, mulai dari jawaban yang simpel sampai yang rumit. Yang simpel menjawab perbedaannya yaitu manusia bisa bikin pisang goreng sedangkan hewan tidak bisa. Sekedar menguji kedalaman pemahamannya saya bertanya lebih lanjut “jadi kalau ada manusia yang tidak bisa bikin pisang goreng berarti bukan manusia?”. Semua yang memberi jawaban tapi akhirnya berpikir ulang dan tidak menemukan jawaban selanjutnya.
Jika diranungkan lebih dalam, sepenggal jawaban simpel tadi sebenarnya mengandung inti dari hakekah kemanusiaan sebagaimana dijelaskan diatas, yaitu mampu mencipta dan berkarya. Kata “manusia bisa bikin pisang goreng” itu sebenarnya mengandung identitas kemanusiaan yang diterjemahkan dalam bahasa partikular. Bahasa universalnya adalah manusia “bisa membuat sesuatu”. Kata “bisa membuat” disini berorientasi pada “potensi berkreasi” sedangkan “sesuatu” berorientasi pada “sesuatu yang baru”. Jadi jika pertanyaannya “Kalau ada manusia yang tidak bisa bikin pisang goreng, apakah berarti dia bukan manusia? Jawabannya iya, dia bukan manusia. Mari kita garis bawahi kata “tidak bisa bikin” pada pertanyaan tersebut. Jika kita merujuk pada orientasi kata “bisa” yang berarti potensi berkreasi, maka kata “tidak bisa bikin” dapat juga diartikan “tidak punya potensi berkreasi” dan itu bertentangan dengan hakekat kemanusiaan. Manusia bukannya tidak bisa bikin pisang goreng melainkan hanya belum tau caranya dan belum mau belajar membuat pisang goreng.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana jika dibandingkan dengan binatang yang bisa membuat sarang? Apakah bisa juga digolongkan sebagai manusia? Ataukan pernyataan itu justru menggugurkan hakekat kemanusiaan karena ternyata binatang juga bisa membuat sesuatu. Untuk menjawabnya, kita kembali pada orientasi kemanusiaan pada kata “bisa membuat” dan “sesuatu”. Pada manusia, sebagaimana diungkapkan diatas, kata bisa membuat berorientasi pada pemahaman memiliki potensi berkreasi sedangkan pada binatang berorientasi sebagaimana secara harfiah yaitu bisa membuat. Pada kata “sesuatu”, untuk manusia, berorientasi pemahaman sesuatu yang baru sedangkan pada binatang berarti sesuatu sebagaimana biasanya.
Kreasi  berarti menghasilkan sesuatu yang baru yang belum pernah ada sebelumnya atau memodivikasi sesuatu yang sudah ada menjadi sesuatu yang berbeda dari sebelumnya. Potensi inilah yang dimiliki manusia. Binatang tidak memiliki daya kreasi sehingga hanya melakukan sesuatu sebagaimana kebiasaanya. Itulah yang membuat sarang dan pisang goreng menjadi pembeda binatang dan manusia. Sarang yang dibuat oleh binatang dari dulu sampai sekarang masih saja seperti itu sedangkan pisang goreng dibuat oleh manusia dari olahan pisang yang bisa sangat beragam cara yaitu dibakar, digoreng, direbus dibuat kripik dll. Pisang goreng saja sudah beragam campuran, mulai dari pisang goreng keju, coklat, dll yang pastinya akan terus menjadi sesuatu yang baru.
Kembali ke diskusi awal, apakah manusia tersandra oleh kebiasaan? Jawabannya tentu tidak. Hakekat manusia salah satunya adalah potensi untuk berkreasi yang dengan itu membuatnya keluar dari kebiasaan. Jika manusia tersandra oleh kebiasaan maka tidak akan ada kreasi-kreasi baru yang lahir didunia ini. Jika manusia tersandra oleh kebiasaan maka manusia tidak ada bedanya dengan binatang. Asumsi ini menolak pandangan circular reasoning yang menempatkan cara berpikir manusia pada satu lingkaran yang berulang-ulang. Lebih dari itu, cara berpikir manusia itu seperti bola salju yang menggelinding, sedikit demi sedikit membesar, bukannya seperti bola kasti yang menggelinding tanpa berubah besar lingkarannya. Manusia selalu mendapat pengetahuan baru yang bisa menjadi kebiasaan. Kebiasaan itu kemudian diperkaya dengan pengetahuan-pengetahuan yang lebih baru, atau bisa jadi pengetahuan baru tersebut merubah kebiasaan lama. Namun berubahnya kebiasaan tidak lantas menghilangkan kebiasaan lama dari pengetahuan manusia, melainkan menjadikannya bahan baku dalam menelaah kebiasaan barunya.
Wallahuallam bishawab.


Catatan Ngawur [minggu 21 Okt. 12]

Kamis, 07 Juni 2012

BELAJAR MENULIS_2

Makassar,28 April 2012, pukul 19.15

Seri kedua rekomendasi buku “Daripada Bete, Nulis Aja” halaman 38-40 dimaksudkan untuk melahirkan kreativitas dengan menulis bebas. Metode yang digunakan yaitu dengan focus menulis dalam jangka waktu tertentu  tanpa henti dengan menulis apa saja yang muncul dalam pikiran tentang sebuah tema atau topik. Sesekali jika terjadi kebuntuan atau tidak ada inspirasi untuk melanjutkan suatu kalimat maka disarankan untuk menulis tidak terpikir.. tidak terpikir.. tidak terpikir.. secara berulang-ulang sampai terdapat inspirasi baru. Usahakan tulisanmu tidak terputus, terus gerakkan tanganmu dan tulis apa saja. Topik yang akan ditulis bebas tergantung apa yang ada dipikiran kita, yang terpenting adalah menggerakkan pena bagi yang menulis manual atau menggerakkan jari jemari bagi yang menggunakan komputer.
Topik yang di contohkan dalam buku tersebut bagi yang sulit menentukan topic yaitu:
·         Apa yang kamu lihat hari ini? (Atau tidak kamu lihat hari ini)
·         Jika kamu punya saudara kembar, akan seperti apakah dia? (dan jika kamu punya saudara kembar, tulis seperti apa rasanya jika hanya satu-atau tiga orang bersamaan- yang terlahir?)
·         Kemana kamu akan pergi jika dapat bepergian kemana saja? Apa yang kamu lakukan disana?
Dari ketiga topik di atas, saya lebih tertarik memilih topik ketiga. Berikut ulasannya:
***
“Jika Aku Dapat Pergi Kemana Saja”
Jika aku dapat pergi kemana saja seperti pada film doraemon dan jumper maka saya akan ke… tidak terpikir.. tidak terpikir… tidak terpikir…  Disana saya akan melakukan.. tidak terpikir… tidak terpikir… Jika saya punya mesin waktunya doraemon maka saya akan pergi ke zaman purba untuk tau apa betul nabi adam itu manusia purba, saya juga akan ke zamannya Rasulullah Muhammad SAW untuk melihat tingkah lakunya beliau sehingga tidak akan ada lagi pertengkaran diantara pengikutnya.
Tapi semua itu hanyalah khayalan, dalam kehidupan nyata aku tak akan kemana-mana, aku hanya ingin terus berada disisimu..
***
Lebih lanjut dikatakan dalam buku ini, salah satu manfaat menulis bebas adalah kata-kata tampak nyata pada halaman walaupun hanya sepotong-sepotong tapi toh ternyata kita telah menghasilkan sesuatu. Langkah selanjutnya adalah memperluas tulisan bebas dan membantunya mengambil bentuk (Bagai menanbahkan air ke busa spons). Ada beberapa cara yang dapat dilakukan antara lain barainstorming (curah gagasan), clustering (Pengelompokan) dan terakhir seleksi.

Brainstorming
Curah gagasan berarti membuat gagasan baru yang muncul dari tulisan tulisan kita sebelumnya.
Contoh:
Kalimat-kalimat:
-          Doraemon
-          Jumper
-          Zaman purba
-          Berada disisimu
Gagasan Baru:
-          Teknologi
-          Film
-          Zaman prasejarah
-          Charles Darwin
-          Tempat meyenangkan
Ide-ide baru ini dapat membatu dalam mengembangkan tulisan-tulisan yang akan ditambahkan kedalam tulisan sebelumnya.
Clustering
Yaitu mengembangkan tulisan dengan membuat percabangan ke berbagai arah. Untuk pengelompokan, dipilih ide utama dan dilingkari di tengah halaman baru. Selanjutnya catata semua kata yang terkait dan hubungkan dengan garis.
Contoh:


Seleksi
Yaitu mengelompokkan yang serupa dengan yang seupa, contoh:
Yang bias kemana saja
-          Jumper
-          Teknologi Doraemon dengan pintu ajaib dan mesin waktu
Kemana saja dalam dimensi waktu saya akan ke:
-          Zaman Purba
-          Zaman Nabi
Kemana saja dalam dimensi ruang:
-          Kaki gunung untuk mendaki
-          Menjadi chamber, loser atu climber
Dengan metode-metode diatas, kita telah memiliki banyak pemicu gagasan untuk ditulis.
Berikut penyempurnaan tulisan sebelumnya dengan menggunakan rekonmendasi metode diatas:

***
Jika Aku Dapat Kemana Saja
Pernyataan yang unik dan pastinya akan mengantarkan saya pada khayalan, entah itu tingkat tinggi seperti yang dikatakan Ariel Peterpan atau hanya hayalan kekanak-kanakan. Dapat kemana saja mengasosiasikan ingatan saya pada film fiksi ilmiah “Doraemon”. Kucing robot yang berasal dari abad ke XXI yang mempunya teknologi yang sangat canggih sehingga dapat mempermudah kehidupan. Film ini menarik karena setting yang digunakan adalah Jepang di Abad ke XX tetapi masih diputar sampai sekarang yang sudah berada di abad ke XXI. Uniknya karena ternyata banyak diantara teknologi yang di tampilkan pada film itu ada yang terbukti dan jauh lebih banyak yang tidak terbukti.
Yang terbukti dari teknologi doraemon tidak secara gamblang seperti yang terdapat pada filmnya tetapi dengan prinsip yang sama. Baling-baling bamboo yang merupakan alat transportasi personal yang paling sering digunakan oleh tokoh-tokoh dalam film kartun tersebut mempunyai prinsip yang sama dengan helicopter yang lazim kita lihat. Adapun yang belum terbukti salah satunya yaitu pintu kemana saja dan mesin waktu yang sekarang menjadi topic dalam tulisan ini. Dengan memiliki  kedua alat itu, kita dapat pergi kemana saja dalam dimensi ruang dan waktu. Pintu ajaib dapat membawa kita ke tempat mana saja di dunia ini sedangkan mesin waktu dapat membawa kita ke semua masa dalam skala waktu.
Salah satu film yang lain yang terasosiasi dalam pikiran sehubungan dengan kata “Pergi Kemana Saja” yaitu film berjudul “Jumper”. Di ceritakan beberapa orang dengan kemampuan khusus dapat melompat melintasi suatu dimensi ruang ke ruang yang lain. Hanya dengan kedipan mata, ia dapat berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lainnya. Tokoh utama dari film tersebut diskenariokan menjadi kaya tanpa pernah bekerja bahkan untuk sekedar membuka pintu. Jelas karena ia dapat tiba-tiba berada di dalam ruang penimpanan uang tanpa diketahui penjaga. Kemampuan yang di salah gunakan untuk mencuri.
Jika tadi otak mengasosiasikan kata tersebut dengan objek lain, maka sekarang waktunya berimajinasi jika teknologi atau kemampuan tersebut menjadi milikku. Disini saya tidak akan mengulasnya berdasarkan item teknologi atau kemampuan supra natural melainkan akan diulas berdasarkan prinsipnya yaitu dapat pergi ke tempat dan masa apa saja.
Maka mulailah saya berandai andai dalam dimensi waktu. Jika seandainya saya dapat ke masa apa saja maka masa pertama yang akan saya datangi adalah zaman prasejarah untuk mencari tau apakah benar teori “Charles Darwin” yang disimpulkan oleh kebanyakan orang dengan dalil bahwa “Manusia berasal dari kera”. Asumsi tersebut melahirkan banyak spekulasi diantaranya pernyataan “Ternyata Adam Dilahirkan”. Berada di zaman prasejarah akan mengkonfirmasi pernyataan-pernyataan atau spekulasi-spekulasi tersebut.
Masih dalam dimensi waktu, masa lain yang akan saya datangi adalah abad keenam-masa dimana Rasulullah Muhammad SAW hidup. Berada dalam zaman yang sama dengan Rasulullah, menjadi sahabat Rasulullah dan menjadi saksi hidupnya akan menjadwab semua pertentangan-pertentangan diantara berbagai aliran dalam Agama Islam. Pertentangan yang tak hanya dalam tataran perdebatan melainkan telah sampai konflik terbuka, perang saudara. Pertentangan yang akar masalahnnya hanya perbedaan informasi dan perbedaan penafsiran terhadap informasi tentang perilaku Rasulullah, baik dalam urusan ibadah maupun urusan dunia.
Dalam dimensi ruang, jika pergi kemana saja itu dimungkinkan, maka tempat yang menarik untuk saya kunjungi yaitu semua kaki gunung tetinggi di Indonesia. Dari tempat itu saya akan mulai mendaki ke puncaknya. Mungkin muncul pertanyan mengapa tidak sekalian saja langsung ke puncak gunung, mengapa hanya sampai di kaki gunung terus kemudian repot-repot mendaki gunung? Jawabannya, berada dipuncak gunung hanyalah hadiah dari proses panjang mendaki gunung. Yang terpenting bukanlah menaklukkan gunung melainkan menaklukkan diri sendiri. Medaki gunung bukan untuk mencapai puncaknya dan berfoto narsis. Medaki gunung membutuhkan tekad yang kuat disesrtai konsistensi untuk menembus batas yang kita buat sendiri. Itulah kenapa dalam motivasi diri dikenal istilah, chamber, loser dan climber.
Dalam meraih suatu impian pasti aka nada halangan dan rintangan. Kondisi inilah yang dianalogikan sebagai proses mendaki gunung. Chamber adalah tipe orang yang ketika melihat puncak gunung yang begitu tinggi, nyalinya langsung menciut dan menyatakan dirinya tak sanggup. Loser adalah tipe orang yang sementara mendaki gunung tetapi menyerah ditengah jalan. Sedangkan Climber adalah tipe orang yang berhasil menaklukkan gunung hingga mencapai puncaknya. Itulah mengapa kaki gunung menjadi tempat yang paling ingin saya kunjungi. Berada di kaki gunung dan melihat puncak gunung berarti menantang diri dan keyakinan untuk mundur, maju setengah jalan atau menaklukkan gunung.
Begitulah khayalan-khayalan kekanak-kanakan yang muncul dalam pikiran saya menanggapi penggalan kata “Jika Aku Dapat Kemana Saja”. Khayalan yang hamper pasti tidak dapat terealisasikan. Khayalan yang tidak dibarengi kemampuan untuk merealisasikannya. Karena ruang dan waktu hanya milik-Nya dan kita hanya mengisi ruang dan waktu yang diciptakannya untuk kita.
Mengakhiri tulisan ini, saya tuliskan dengan sepenuh hati sebuah kahayalan tinggkat tinggi. Hayalan yang berada satu disisi mata uang dengan realitas  disisi lainnya. Karena Tuhan menambatkan satu hati kehati lainnya tentu tetap dengan sebebas-bebasnya kehendak kita untuk mengaminkannya.
Jika aku dapat kemana saja
aku hanya ingin berada disisimu
menjadi penghuni hatimu yang kekal
Jika aku dapat melitasi dimensi waktu
Aku akan menyerahkan masa lalu, masa sekarang dan masa depanku
Hanya kepadamu, bersamamu dalam keabadian
Jikapun harus terpisah
hanya keabadian pula yang memisahkan kita

***



Sabtu, 28 April 2012

Belajar Menulis 1

Makassar, Rabu, 25 April 2012, pukul 19.27
  
BELAJAR MENULIS

Tulisan ini merupakan tulisan awal dari proses belajar menulis yang mengikuti rekomendasi penulisan dari buku “daripada bĂȘte, nulis aja!” karya Caryn Mirriam-Golberg, Ph.D halaman 33-34. Isi tulisan merupakan jawaban dari beberapa pertanyan yang diajukan dalam buku ini sebagai pintu masuk menuju langkah pertama menulis. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan untuk menuntun penulisan yaitu:
-          Mengapa kamu ingin menulis?
-          Apakah kamu menganggap dirimu penulis? Mengapa ya, mengapa tidak?
-          Mengapa menulis itu penting?
-          Manfaat apa yang kamu dapatkan dan kamu harapkan dari menulis?
-          Apa yang kamu dapatkan dari menulis? Apa yang telah dilakukannya untukmu?
-          Apa yang paling ingin kamu tulis?

Saya mencoba menjawab pertanyaan tersebut tidak dengan merunut satu-persatu pertanyaan tetapi langsung membuatnya dalam sebuah tulisan secara acak. Maksudnya, setiap pertanyaan yang jawabanyannya hampir sama akan dijawab sekaligus meskipun itu tidak berurutan.
***
Saya ingin belajar menulis karena menulis merupakan investasi jangka panjang. Maksudnya adalah dengan menulis kita bisa memperpanjang usia bahkan melampaui masa hidup kita. Seperti tokoh-tokoh yang hidup di zaman yunani kuno ribuan tahun sebelum masehi misalnya Plato, Aristoteles, Socrates dll; pemikiran mereka masih hidup dan mewarnai zaman kita. Dengan kata lain, menulis merupakan gerbang menuju keabadian.
Begitu pentingnya tulisan sehingga menjadi penanda antara zaman prasejarah dengan zaman sejarah. Zaman prasejarah merupakan zaman dimana manusia belum mengenal tulisan sedangkan zaman sejarah berlangsung saat manusia mulai mengenal tulisan dan menulis sejarahnya. Selanjutnya sejarah merekam perkembangan dari masa ke masa sehingga manusia tidak lagi perlu mencari dari awal tentang sebuah ilmu atau sekedar pengetahuan. Kita tidak lagi perlu mencari tau bagaimana cara membuat lampu karena telah ada tulisan dari Thomas Alfa Edison mengenai penemuannya tersebut sehingga kita tinggal mengembangkan lampu itu menjadi sesuatu yang baru.
Sepenggal ulasan diatas jelas menunjukkan bahwa saya belum dapat digolongkan sebagai seorang penulis profesional. Seorang pembaca awam pun pasti dengan mudahnya mengiyakan bahwa tulisan diatas masih lebih tepat digolongkan sebagai celotehan belaka tanpa memberikan pengetahuan baru yang berarti bagi pembaca. Namun demikian, kesepakatan dari pembaca tidak lantas menjadi penghalang tapi justru menjadi penyemangat untuk terus belajar menulis. Karena bahkan messi pun tidak langsung terlahir sebagai pemain terbaik dunia tetapi terlebih dahulu jatuh bangun luka-luka belajar lika liku menendang bola. Sebagaimana halnya karya besar sekelas La Galigo atau Mahabrata pun diawali dari sebuah titik yang dalam kondisi tertentu hanya dianggap tak lebih dari noda.
Kemampuan menulis khususnya tulisan ilmiah sering diidentikkan dengan penggunaan kedua belahan otak. Menulis merupakan penggabungan antara berpikir logis yang merupakan domain otak kiri dengan berkreasi yang merupakan domain otak kanan. Dengan demikian, berlatih menulis secara tidak langsung juga melatih perkembangan otak kiri dan otak kanan sekaligus juga koordinasi diantara kedua belahan otak tersebut. Menulis merupakan proses merangkai pengetahuan yang sudah ada dalam memori menjadi sebuah kreasi kata dalam bentuk tertulis. Kualitas sebuah tulisan ditentukan oleh kualitas pengetahuan yang akan dirangkaikan. Bermimpi, berharap atau bercita-cita menjadi penulis professional berarti bersedia mengawalinya dengan pencarian pengetahuan yang memadai tentang bidang atau hal yang akan ditulis. Ini dapat dianalogikan sambil berenang minum air makan ikan. Sambil belajar menulis, kita sekaligus melatih kemampuan otak dan memotivasi diri untuk belajar lebih banyak.
Menulis adalah hal yang tidak dapat dipisahkan dengan pengetahuan. Jika seluruh pepohonan dijadikan pulpen dan seluruh lautan dijadikan tintanya maka itu belum cukup untuk menuliskan semua pengetahuan yang ada di dunia ini. Luasnya pengetahuan berarti pula luasnya bidang atau hal yang dapat ditulis. Mustahil bagi seseorang untuk mengetahui segala pengetahuan berarti juga mustahil bagi sesorang untuk dapat menulis segala hal. Untuk itu, fokus dalam satu bidang merupakan langkah yang terbaik untuk mulai menulis.
Ilmu pemerintahan merupakan salah satu bidang yang menarik untuk menjadi bahan tulisan. Ilmu pemerintahan merupakan ilmu yang masih kontroversial dikalangan pakar ilmu kenegaraan. Ilmu pemerintahan masih belum mapan sebagai sebuah bidang ilmu. Ini merupakan peluang besar untuk melibatkan diri dalam pencarian jati diri keilmuan dari ilmu pemerintahan karena masih banyak hal untuk dicari dan ditulis. Akan lebih menarik mencari pengetahuan baru ketimbang sekedar mempelajari yang sudah mapan.
***
Sebagai evaluasi atas tulisan yang dibuat, dalam buku tersebut disiapkan pertanyaan evaluatif “Kejutan apa yang kamu temukan?”. Pertanyaan ini mengevaluasi perasaan saat menulis sampai tulisan selesai. Dari tipenya, jika diklasivikasikan berdasarkan pertanyaan dalam penelitian, pertanyaan ini merupakan pertanyaan tertutup dan terbuka. Pertanyaan tertutup karena sudah diarahkan bahwa penulis akan merasakan keterkejutan pada saat selesai menulis sedangkan pertanyaan terbuka menanyakan perasaan terkejut apa yang ditemukan.
Benar saja bahwa penulis merasa terkejut bahwa ternyata pertanyaan sederhana ternyata dapat dikembangkan kemana-mana sehingga yang paling penting ada perasaan bahwa “menulis bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan”.

***Silahkan Mencoba!!!!!***
 
 
Blogger Templates