Berbicara masalah
demokrasi tidak terlepas dari pembahasan masalah kebebasan. Demokrasi
diidentikkan dengan sejumlah kebebasan. Di dunia barat model demokrasi liberal
menjadi bukti betapa dekatnya demokrasi dengan kebebasan. Di dunia timur atau
lebih tepatnya di dunia ketiga yang sedang gencar-gencarnya menerapkan sistem
demokrasi, kebebasan merupakan sesuatu yang diagung-agungkan menggantikan
sistem otoritarianisme yang sebelumnya mengekang kebebasan masyarakat.
Makna Kebebasan
Mencermati
pandangan awam dalam penilaian tentang kebebasan, mungkin akan disimpulkan
bahwa Indonesia memasuki masa kebebasan dalam banyak hal. Namun perlu tetap
dipertanyakan kembali mengenai makna kebebasan itu, apakah masyarakat Indonesia
telah benar-benar bebas? Untuk merenungkan pertanyaan itu, salah satu standar
yang menarik untuk dijadikan standar kebebasan adalah pendapat dari Kishore
Mahbubani dalam buku Asia Hemisfer Baru Dunia. Kebebasan menurut Mahbubani
terbagi kedalam beberapa kriteria diantaranya: bebas dari rasa ingin (freedom from want), kebebasan karena ada
rasa aman (freedom of security),
kebebasan seseorang untuk memilih pekerjaan (freedom to choose one’s employment), Kebebasan untuk memilih tempat
tinggal (freedom to choose one’s occupation),
bebas dari penangkapan dan penahanan sewenang-wenang oleh pemerintah (freedom from arbitrary arrest and detention),
kebebasan berpikir (freedom to think),
kebebasan berekspresi (freedom to
expression), serta bebas untuk memilih seorang pemimpin (freedom to choose one’s ruler).
Berdasarkan standar
kebebasan yang diungkapkan Mahbubani, kebebasan-kebebasan di Indonesia dapat
diklasifikasi kedalam tiga kategori yaitu belum bebas, bebas proporsional dan
kebablasan. Kondisi ideal tentu saja bebas itu sendiri yaitu kebebasan yang
proporsional, tidak kekurangan dan tidak juga kebablasan.
Kebebasan yang
dikategorikan belum bebas adalah freedom from
want, freedom of security, freedom to choose one’s employment, dan freedom from arbitrary arrest and detention.
Untuk dua kebebasan yang pertama, terdapat kecenderungan titik balik pasca
reformasi. Banyak kalangan menilai tingkat kesejahteraan dan keamanan
masyarakat lebih baik pada zaman orde baru ketimbang pasca reformasi.
Masyarakat merasa lebih banyak bebas dari tuntutan kebutuhannya dan lebih
merasa aman pada masa orde baru ketimbang pada masa reformasi saat ini. Tidak
mengherankan ketika akhir-akhir ini banyak beredar gambar-gambar Soeharto
disertai tulisan yang intinya menyatakan bahwa zaman orde baru lebih “enak”
dari zaman sekarang. Lebih mutakhir, adanya gerakan-gerakan mendukung aksi
penyerangan lapas cebongan di Sleman Yogyakarta dengan cara-cara militer yang bisa disamakan dengan cara-cara orde
baru dalam mewujudkan ketertiban.
Kebebasan memilih
pekerjaan tetap merupakan masalah klasik dengan kecenderungan yang semakin
parah. Pasca reformasi, masyarakat semakin tidak bebas memilih pekerjaan karena
yang ingin dipilih semakin tidak ada. Lapangan pekerjaan semakin langka dan
pengangguran semakin bertambah. Reformasi tidak membebaskan masyarakat dari
pengangguran. Kategori belum bebas yang terakhir adalah bebas dari penangkapan
dan penahanan sewenang-wenang oleh pemerintah. Pada awal reformasi, masalah
perlakuan sewenang-wenang pemerintah sudah mulai berkurang seiring dengan
bregulirnya wacana HAM yang tumbuh satu paket
dengan demokrasi. Namun akhir-akhir ini terlihat adanya titik balik
kebebasan ini. Gejalanya terlihat pada kasus penangkapan terduga teroris yang
dilakukan oleh Densus 88 yang dinilai sewenang-wenang terhadap masyarakat yang
masih belum terbukti sebagai teroris. Tak jarang korbannya mendapat perlakuan
kasar bahkan sampai kehilangan nyawa hanya karena diduga teroris. Aksi yang
serupa dengan “petrus” di zaman orde baru. Ini berarti kebebasan dari perlakuan
sewenang-wenang kembali jauh dari harapan.
Kategori kebebasan
yang kedua yaitu kategori bebas proporsional. Termasuk dalam kategori ini adalah freedom to choose one’s occupation, freedom to think, dan freedom
to choose one’s ruler. Kebebasan yang pertama yaitu kebebasan memilih
tempat tinggal ini relatif tidak pernah bermasalah di Indonesia mengingat bahwa
pada masa orde baru telah dilaksanakan program transmigrasi yang memungkinkan
adanya masyarakat yang berbeda identitas berdomisili di berbagai tempat di
Indonesia. Pasca reformasi, masyarakat relatif lebih toleran menerima perbedaan
sehingga semakin memperbesar kebebasan ini. Kebebasan yang kedua adalah
kebebasan berpikir yang lebih berkaitan dengan kebebasan informasi. Pasca orde
baru, keran-keran informasi terbuka lebar melalui berbagai media. Kebebasan
pers yang pada masa orde baru dikekang, sekarang tumbuh subur di Indonesia.
Kajian-kajian marxisme yang dulu dilarang juga telah dibolehkan untuk dikaji di
berbagai ruang ilmiah. Kebebasan berpikir relatif lebih bebas pasca reformasi.
Kebebasan yang ketiga adalah kebebasan memilih pemimpin. Kebebasan ini
merupakan kebebasan yang benar-benar terasa dizaman reformasi karena dizaman
orde baru, masyarakat tidak memiliki kebebasan untuk memilih pemimpinnya.
Ketiga kebebasan tersebut sudah bisa dikatakan bebas secara proporsional
dizaman reformasi.
Kategori ketiga
yaitu kategori kebablasan. Kebebasan berekspresi, dalam beberapa kasus, sudah
dapat dikategorikan kebablasan. Dengan alasan kebebasan berkespresi, terkadang
pertimbangan-pertimbangan moral dan agama tidak lagi dihiraukan. Kebebasan yang
kebablasan ini akhirnya harus kembali dibatasi meskipun pembatasan berada pada
sisi sebaliknya dari pembebasan.
Mencermati ketiga deskrikpsi-deskripsi kebebasan
sebagaimana diungkapkan sebelumnya mengarahkan pada kesimpulan bahwa bangsa ini
masih memiliki banyak pekerjaan rumah terkait dengan wacana kebebasan. Disatu
sisi kita harus berjuang membebaskan masyarakat dari kemiskinan, rasa tidak
aman dan pengangguran dan disisi lain pemerintah harus membatasi kebebasan
berkespresi yang sudah kebablasan. Usaha paralel ini tampaknya akan lebih mudah
jika diawali dengan memaknai kembali kebebasan yang diartikan secara sempit
hanya pada kebebasan politik dan kebebasan berkspresi.