Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Rabu, 29 Mei 2013

Ekspedisi Semeru, 8-12 Mei 2013

https://fbcdn-sphotos-a-a.akamaihd.net/hphotos-ak-prn2/970446_4943261495941_1450156981_n.jpg
Ranupani

https://fbcdn-sphotos-d-a.akamaihd.net/hphotos-ak-prn2/971134_4943252175708_1575834953_n.jpg
Jeep dari Tumpang ke Ranupani

https://fbcdn-sphotos-b-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash3/922724_4943212694721_717782666_n.jpg
Danau Pani (Ranupani)

https://sphotos-b.xx.fbcdn.net/hphotos-prn2/184551_4943189894151_596688323_n.jpg 
Pos Pelaporan Ranupani

https://fbcdn-sphotos-f-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash3/944204_4943133492741_2052092048_n.jpg 
Mahameru dilihat dari Ranupani

https://sphotos-b.xx.fbcdn.net/hphotos-prn1/936903_4942930327662_889908669_n.jpg
Ranu Kumbolo


https://fbcdn-sphotos-d-a.akamaihd.net/hphotos-ak-prn1/21275_4942945008029_878836922_n.jpg
Danau Kumbolo (Ranu Kumbolo)

https://sphotos-a.xx.fbcdn.net/hphotos-frc1/249096_4943340857925_1948983831_n.jpg
Gradasi Cahaya di Camp Ranu Kumbolo

https://fbcdn-sphotos-b-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash3/942090_4942887646595_158448286_n.jpg
Camp Ranukumbolo


https://sphotos-a.xx.fbcdn.net/hphotos-ash3/487542_4943140852925_1851059911_n.jpg
Kalimati

https://fbcdn-sphotos-b-a.akamaihd.net/hphotos-ak-prn1/946743_4943134732772_2110324213_n.jpg 
Jalur Kalimati Cemoro Kandang

https://sphotos-a.xx.fbcdn.net/hphotos-snc6/248180_4943103771998_342380431_n.jpg
Camp Kalimati

https://fbcdn-sphotos-h-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash3/943414_4943045410539_21214211_n.jpg
Summit attack menuuju puncak mahameru

https://fbcdn-sphotos-g-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash3/182512_4943040810424_1359832782_n.jpg
Puncak Mahameru

https://sphotos-b.xx.fbcdn.net/hphotos-ash3/941790_4943035210284_520776152_n.jpg
Puncak Mahameru

https://fbcdn-sphotos-g-a.akamaihd.net/hphotos-ak-frc3/971823_4943303176983_417100656_n.jpg
Plat Tanda Puncak Mahameru

https://fbcdn-sphotos-a-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash3/943337_4942990009154_1939660851_n.jpg
Pemandangan Bromo dari Mahameru

https://fbcdn-sphotos-c-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash4/428580_4942952288211_297946057_n.jpg
Sunrise di Puncak Mahameru

Pengaruh Media Informasi dalam Penetapan Agenda Kebijakan


Pendahuluan
Perkembangan teknologi informasi menjadikan dunia terasa semakin sempit sekaligus semakin luas. Semakin sempit karena teknologi informasi melipat dunia menjadi semakin sempit sebagaimana melipat kertas. Ruang dan waktu dimampatkan oleh begitu cepatnya informasi tersebar (Piliang: 2011). Seseorang tidak perlu untuk pergi ke Palestina untuk mendapatkan informasi adanya serangan Israel yang menewaskan anak-anak di Gaza. Cukup dengan duduk di depan televisi untuk mengetahui keadaan di belahan dunia lainnya. Begitu pula seseorang tidak harus menghabiskan waktu untuk turun dari lantai sepuluh hanya untuk memanggil seseorang yang berada di lantai dasar. Cukup dengan menekan beberapa tombol di handphone untuk menghemat waktu perjalanan beberapa menit. Sebagai perbandingan, dimasa lalu, kabar bahwa Colombus menemukan benua Amerika sampai ke telinga Ratu Isabella setelah lima bulan peristiwa tersebut terjadi; begitu pula kabar tentang pembunuhan Abraham Lincoln sampai ke Eropa setelah dua minggu kerjadian. Sementara itu, dimasa berkembangnya teknologi Informasi, dunia mendengar bahwa Neil Amstrong berhasil mendarat di bulan hanya dalam waktu 1,3 detik (Winarno: 2009).
Disisi lain, perkembangan teknologi informasi juga dapat dikatakan memperluas dunia. Salah satu dampak dari perkembangan teknologi informasi adalah hilangnya batas-batas antar negara khususnya dalam hal persebaran informasi. Seorang anak di Desa Ranu Pane yang terletak kaki Gunung Semeru bisa saja ikut mengutuk kekejaman Israel yang menjajah Palestina setelah menonton berita di televisi. Dalam kasus ini, anak tersebut tidak lagi sekedar sebagai seorang warga desa melainkan sebagai sebuah bagian dari masyarakat global. Selain itu, teknologi informasi juga mengikis batas-batas budaya. Masyarakat yang dulunya terfragmentasi dalam budaya-budaya lokal yang sangat beragam kini diseragamkan dalam sebuah budaya besar yang dikenal sebagai budaya populer. Cara berpakaian pemuda-pemuda di Amerika yang disebarkan melaui televisi akhirnya menjadi budaya populer yang diikuti oleh sebagian besar pemuda dunia. Pemuda-pemuda yang tidak ikut mainstream budaya ini diberi label ketinggalan zaman. Demikianlah perkembangan informasi menjadikan dunia seseorang yang dulunya terbatas dalam sebuah teritori dan budaya kini semakin diperluas menjadi bagian dari sebuah komunitas global.
Kondisi dimana semakin cepat dan luasnya pertukaran informasi sebagai akibat berkembangnya teknologi informasi menjadikan masyarakat semakin terbuka dengan berbagai informasi. Masyarakat dapat mengakses berbagai perubahan yang terjadi dibelahan bumi yang lain dan membandingkan dengan apa yang terjadi dilingkungannya. Perbandingan tersebut melahirkan keinginan untuk menyerupai perubahan yang terjadi di tempat lain yang menurutnya lebih baik dan sebaliknya berkeinginan menghindari kondisi yang dinilai lebih buruk (Firmansyah: 2012). Gelombang revolusi dan demokratisasi yang terjadi secara beruntun di timur tengah tahun-tahun terakhir ini menunjukkan bagaimana perubahan di sebuah negara dapat menginsipirasi negara lain untuk melakukan hal yang serupa. Disinilah terlihat bahwa perkembangan teknologi informasi telah memiliki pengaruh yang sangat penting dalam dunia politik. Informasi yang beredar begitu cepat dan begitu luas dapat mempengaruhi cara masyarakat melihat dan bersikap terhadap sebuah fenomena politik.
Telah nampak jelas bagaimana pengaruh perkembangan teknologi informasi dalam tatanan makro politik khususnya dalam hal pembentukan cara pandang masyarakat terhadap sebuah fenomena politik. konteks serupa juga dapat dijumpai dalam tatanan mikro yaitu dalam tatanan proses pengambilan keputusan. Informasi memiliki peran penting dalam semua tahapan pengambilan keputusan, mulai dari agenda setting, formulasi kebijakan, implementasi kebijakan hingga evaluasi kebijakan. Tulisan ini akan fokus membahas bagaimana pengaruh informasi dalam penetapan agenda pemerintah kebijakan (agenda setting).
Pengaruh Media Informasi dalam Agenda Setting
Kebijakan pemerintah dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh pemerintah (Thomas R. Dye dalam Nugroho:2012). Ketika terjadi sebuah masalah dalam masyarakat, pemerintah dapat memutuskan melakukan sebuah tindakan untuk mengatasi masalah tersebut atau memutuskan tidak melakukan tindakan terhadap masalah tersebut. Dalam kasus kenaikan harga minyak dunia, pemerintah dapat memutuskan untuk menaikkan harga atau tidak merespon kenaikan harga minyak dunia tersebut. Kedua-duanya dapat disebut sebagai kebijakan pemerintah karena baik menyesuaikan harga maupun mendiamkannya masing-masing memiliki dampak kebijakan. Namun demikian, konteks tidak melakukan tindakan tertentu untuk mengatasi masalah di masyarakat bukan hanya sekedar karena sengaja tidak melakukan apa-apa. Penyebab lain pemerintah tidak melakukan tindakan adalah karena ada masalah lain yang lebih penting untuk diselesaikan. Keterbatasan kemampuan pemerintah menyebabkannya harus memilih masalah mana yang harus diperhatikan dan mana yang harus diabaikan. Penentuan prioritas inilah yang disebut sebagai agenda setting (Kusumanegara:2010).
 Dari ulasan diatas terlihat bahwa sebuah pilihan tindakan (kebijakan) selalu dimulai dari masalah yang terjadi dalam masyarakat. Dalam konsep pemerintahan terdapat dua kutub besar terkait pemilihan masalah untuk dijadikan kebijakan. Kedua kutub tersebut yaitu antara negara dan pasar. Dalam kutub negara, agenda setting ditentukan sendiri oleh pemerintah melalui aktivitas terencana yang sejak awal menjadi tujuan utama. Disini, pemerintah yang menentukan apa masalah dari masyarakat dan apa tindakan untuk mengatasi masalah tersebut. Di kutub pasar, agenda ditentukan oleh masalah-masalah yang menjadi perhatian masyarakat. Pemerintah bersikap lebih reaktif ketika terjadi masalah yang menjadi perhatian masyarakat.
Pada kutub negara mengatur semua agenda setting, arus informasi semaksimal mungkin di kontrol oleh pemerintah. Informasi-informasi yang tidak merugikan jalannya pemerintahan dibatasi semaksimal mungkin begitu pula sebaliknya, informasi yang menguntungkan pemerintah dipublikasikan secara massif. Sebagai contoh, di Singapura informasi khususnya di televisi dan media cetak di kontrol untuk kepentingan pembagunan. Ketika terjadi demonstrasi anarkis di Indonesia, koran-koran nasional menjadikan berita tersebut sebagai headlinenya. Massifikasi informasi tersebut dimaksudkan untuk membentuk opini publik agar tidak senang dengan model demokrasi yang sangat bebas seperti di Indonesia. Publik di Singapura akhirnya memaklumi adanya sejumlah pembatasan-pembatasan hak seperti hak mengeluarkan pendapat dll. Dengan demikian pemerintah bebas menjadi aktor tunggal dalam menjalankan pemerintahan termasuk menentukan masalah-masalah yang menjadi prioritas kebijakan.
Di kutub yang berbeda,  dalam kutub pasar, masalah kebijakan dipengaruhi oleh seberapa besar perhatian masyarakat terhadap sebuah masalah. Pemerintah memberi prioritas terhadap sebuah masalah setelah masalah tersebut mendapat perhatian dari masyarakat luas. Kasus masalah jembatan sungan Ciberang Lebak Banten misalnya (penetapan agenda di Indonesia merupakan gabungan kedua kutub), perhatian pemerintah terhadap kasus tersebut muncul setelah media Inggris (Reuters dan Daily Mail) memberitakan dan mempublikasikan foto kondisi tersebut. Foto-foto pelajar yang meniti jembatan miring diatas sungai yang mengalir deras tersebut mendapat perhatian luas di masyarakat dunia. Perhatian masyarakat dunia tersebutlah yang akhirnya membuat pemerintah melalui Kementerian Daerah Tertinggal mengucurkan dana satu milliar untuk memperbaiki jembatan tersebut (Simanjuntak dkk: 2013).
Jika dicermati, baik dalam kutub negara maupun kutub pasar, media informasi memiliki peran penting dalam penetapan agenda kebijakan. Dalam kutub negara, pemerintah menggunakan media untuk mempengaruhi opini publik agar menyetujui agenda pemerintah. Begitupun dalam kutub pasar, media menjadi sarana memperluas perhatian publik sehingga menjadi agenda pemerintah. Kondisi ini digambarkan oleh Rogers dan Dearing (dalam Parsons: 2011) sbb:

kebijakan
Sumber: Parsons (2011)

Disini ditegaskan ada tiga jenis agenda yaitu agenda media, agenda publik dan agenda kebijakan. Disini terjadi dua alur yaitu agenda media yang mempengaruhi agenda publik untuk kemudian mempengaruhi agenda kebijakan dan alur agenda kebijakan yang mempengaruhi agenda media dan agenda publik. Teori ini semakin mempertegas arti media informasi dalam siklus penetapan agenda pemerintah. Media informasi dapat mempenaruhi agenda publik (opini publik) yang melahirkan tuntutan atau dukungan terhadap agenda kebijakan pemerintah.
Bagaimana media dapat mempengaruhi opini publik dijelaskan oleh Noelle-Newman (dalam Junaedi:2007). Asumsi dasarnya adalah secara alamiah, setiap orang memiliki perasaan takut dikucilkan oleh orang lain sehingga berusaha membangun konsensus. Dalam hal opini publik, perasaan takut terkucilkan menjadi alasan untuk seseorang untuk mengikuti opini mayoritas. Jika opini mayoritas semakin tersebar dan meluas dalam masyarakat maka semakin senyap pula suara perseorangan yang berlawanan dengan opini mayoritas tersebut. Kondisi inilah yang kemudian disebut sebagai gelombang kebisuan (Junaedi: 2007). Demikianlah mekanisme kerja media informasi dalam membentuk opini publik sehingga publik mengikuti apa yang diagendakan oleh media.
Penutup
Perkembangan media informasi telah merasuki sendi-sendi kehidupan termasuk kehidupan politik. Media Informasi tidak sekedar menghadirkan informasi menjadi lebih mudah, lebih luas dan lebih cepat di akses melainkan juga mempengaruhi cara berpikir seseorang. Dalam pross kebijakan, media infomasi dapat mempengaruhi opini publik sehingga melahirkan tuntutan dan dukungan terhadap sebuah agenda kebijakan. Dengan demikian, menguasai media dapat juga berarti menguasai opini publik. Menguasai opini publik berarti juga menguasai agenda pemerintah, sedangkan menguasai agenda pemerintah berarti menguasai apa yang harus dan tidak harus dilakukan pemerintah. Dengan kata lain menguasai media sudah bisa dikatakan menguasai pemerintahan. Tidak heran jika muncul pernyataan bahwa di era teknologi informasi sekarang ini, “menguasai informasi berarti menguasai dunia”.

Referensi
Firmanzah. 2012. Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Junaedi, Fajar. 2007. Komunikasi Massa: Pengantar Teoritis. Yogyakarta: Santusta
Kusumanegara, Solahuddin. 2010. Model dan Aktor dalam Proses Kebijakan Publik. Yogykarta: Gava Media
Nugroho, Riant. 2012. Public Policy. Jakarta: Gramedia
Parsons, Wayne. 2011. Public Policy: Pengantar Teori & Praktik Analisis Kebijakan. Jakarta: Kencana
Piliang, Yasraf Amir. 2011. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Bandung: Matahari
Simanjuntak, Bungaran Antonius dkk. 2013. Dampak Otonomi Daerah di Indonesia: Merangkai Sejarah Politik dan Pemerintahan Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Winarno, Budi. 2009. Pertarungan Negara Vs Pasar. Yogyakarta: Media Pressindo

Jumat, 12 April 2013

Dilema Etika



Ada rasa bimbang setelah menonton film “Warriors of the Rainbow Seediq Bale  tentang hakekat pembangunan sumber daya manusia. Film yang dibuat berdasarkan kisah nyata tersebut menggambarkan kehidupan salah satu suku pedalaman di Taiwan pada masa penjajahan Jepang. Di bagian awal film digambarkan tradisi berburu yang sudah turun temurun dilakukan oleh masing-masing suku. Kejadian yang dramatis diawal cerita yaitu ketika terjadi perang antar suku yang disebabkan karena klaim daerah perburuan. Perang tersebut meninggalkan kesan bahwa suku-suku pedalaman yang hidup dihutan masih terkesan “bar-bar/biadab” menurut pandangan umum.
Seorang lelaki dari setiap anggota suku hanya berhak mendapatkan tato tanda dia telah menjadi “kesatria pelangi” apabila telah berhasil memenggal kepala musuh. Tradisi seperti itu dibangun dengan filosofi dasar “keberanian” sebagai landasan utama kehidupan para lelaki dari setiap suku.  Hanya lelaki yang pemberani yang dapat bergabung dengan para leluhurnya di surga yang mereka anggap berada di ujung pelangi. Itulah mengapa para lelaki yang mendapat tato kesatria menamai diri mereka dengan kesatria pelangi (seediq bale).
Fase kehidupan mereka berubah segera setelah Jepang masuk dan menjajah mereka. sempat terjadi perlawanan sebelum Jepang akhirnya mengalahkan mereka. Untuk menghindari perlawanan, para pimpinan suku dibawa ke Jepang dan diperlihatkan bagaimana kuatnya kekuatan militer Jepang. Perlawanan kepada Jepang hanya akan berujung kematian bahkan akan memusnahkan seluruh anggota suku. Pikiran itulah yang dibawa pulang oleh para pimpinan suku sehingga tidak ada keberanian bagi mereka untuk melakukan perlawanan kepada Jepang. Hasilnya, para pemuda dipaksa bekerja membangun “peradaban modern” ditengah hutan. Dengan tenaga-tenaga para lelaki dari setiap suku, Jepang membangun pemukiman modern yang didalamnya terdapat sekolah, rumah sakit, kantor pos, kantor polisi dll. Wanita-wanita dari suku dijadikan pembantu rumah tangga oleh Jepang. Anak-anak kecil dipaksa untuk masuk sekolah dan belajar bahasa Jepang.
Dalam masa penjajahan, sikap orang Jepang sebagai penjajah terbagi dua. Ada sebagian dari mereka yang bersikap baik kepada orang-orang dari suku pedalaman dan sebagian lainnya bersikap kasar dan sombong. Kelompok kedua ini yang lebih dominan dalam kehidupan sehari-hari di pemukiman tersebut. Anak-anak sekolah merasakan adanya diskriminasi antara mereka dengan anak-anak dari Jepang. Para pekerja tidak mendapat gaji yang layak dan setimpal dengan pekerjaannya. Dua orang diantara warga asli yang bekerja di kepolisian Jepang tidak pernah mendapat perlakuan yang adil meskipun mereka yang paling tinggi sekolahnya diantara para polisi Jepang yang bertugas di wilayah tersebut. Kondisi ini membangkitkan rasa benci yang menumpuk dalam diri para anggota suku pedalaman.
Menjelang adegan pemberontakan, terdapat sebuah dialog yang sangat dilematis dalam konteks pembangunan sumber daya manusia. Dialog ini terjadi antara pimpinan dari salah satu suku yang menginisiasi pemberontakan dengan salah seorang anggota suku yang bekerja sebagai polisi Jepang. Polisi Jepang mengawali dialog dengan mengingatkan bagaimana kuatnya kekuatan militer Jepang yang tidak mungkin untuk dilawan. Salah satu pertanyaan yang penting untuk disimak adalah “apa buruknya kita dipimpin oleh Jepang? Bukankah anak-anak kita bisa bersekolah dan menjadi pintar? Bukankah Jepang membangun rumah sakit untuk kita berobat? Bukankah kita tidak lagi harus berperang antar suku?” Semua pertanyaan itu menegaskan bahwa kehidupan anggota suku menjadi lebih beradab dibawah kepemimpinan Jepang. Namun jawaban dari pimpinan suku tersebut juga tidak kalah penting untuk disimak. Kepala suku menjawab dengan kembali bertanya, “apakah dengan itu semua kehidupan kita menjadi lebih baik dari sebelumnya?” Kepala suku melanjutkan dengan mengingatkan filosofi kehidupan suku mereka yaitu “keberanian”. Suku mereka belum pernah dijajah sepanjang sejarah dan ketika mereka dijajah tanpa mampu melawan, mereka ragu apakah mereka masih bisa disebut sebagai seorang seediq bale. Jika mereka tidak melawan mereka ragu apakah mereka masih bisa bergabung dengan roh leluhur mereka di ujung pelangi.
Pilihan yang kemudian dipilih adalah memberontak dan melawan penjajahan dengan konsekuensi apapun. Penyerangan pertama menghasilkan pembantaian secara meluas kepada semua orang Jepang di perkampungan Jepang di pedalaman tersebut namun sialnya ada satu orang yang lolos dan meminta bantuan. Maka datanglah tentara Jepang dengan kekuatan penuh. Suku pedalaman pun tetap melakukan perlawanan sengit dan menunjukkan kualitas perlawanan dimana hanya dengan 300 orang melawan ribuan tentara Jepang. Hal tersebut tentunya menjadi sesuatu yang mengejutkan bagi bangsa Jepang yang menganggap suku pedalaman tersebut sebagai suku liar, bar-bar dan bodoh. Namun di akhir cerita, suku pedalaman semakin terdesak dan sebagian besar pejuang meninggal dalam pertempuran. Sebagian lelaki pejuang dan wanita yang tersissa, memilih bunuh diri dengan cara menggantung diri di pepohonan. Mati lebih terhormat bagi mereka ketimbang harus hidup tertindas atau terjajah. Sebuah konsistensi yang digerakkan oleh semangat transendental akan janji-janji surga diujung pelangi.
Kasus Indonesia
Dizaman modern seperti saat sekaran ini, di Indonesia masih hidup beberapa suku yang masih bertahan dengan tradisinya. Suku-suku tersebut contohnya adalah suku Kajang di Sulawesi Selatan, Suku Dayak Punan dan Ngayu di Kalimantan, Suku Korowai di Papua, dll. Sebagian dari mereka masih hidup dengan cara primitif seperti yang digambarkan dalam film diatas yaitu berburu, berperang antar suku, memenggal kepala bahkan mungkin kanibalisme (informasinya masih belum pasti); sementara sebagian lainnya hidup dengan cara tradisional yaitu belum tersebtuh modernitas tetapi juga tidak primitif.
Menyimak apa yang digambarkan pada ulasan singkat film warriors of rainbow seediq bale kemudian dibandingkan dengan konteks suku-suku primitif maupun tradisional di Indonesia tentu juga akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dilematis. Dilema-dilema yang muncul adalah seputar pembangungan sumber daya manusia bagi suku-suku tersebut. Pertanyaan pertama adalah apakah perlu dilakukan pembangunan sumber daya manusia bagi suku-suku tersebut dalam artian membuat mereka menjadi lebih “beradab”, sementara mereka memiliki standar peradaban yang berbeda. Dari film diatas kita mendapatkan gambaran bahwa nilai tertinggi yang menyusun peradaban mereka adalah keberanian sehingga bangunan kebudayaannya dibawahnya disusun untuk mendukung pencapaian nilai tertinggi tersebut. Jadi beradab menurut mereka ketika mereka melakukan akis-aksi yang berani. Letak dilema pembangunannya adalah disatu sisi suku-suku primitif menganggap diri mereka sudah beradab dan sudah nyaman dengan peradabannya sementara disisi lain pemerintah memandang aktualisasi peradabannya (misalnya memenggal leher musuh) adalah tidak beradab. Penekanan tersebut menegaskan pertanyaan bahwa apakah perlu menginternalisasikan nilai-nilai perdaban pada masyarakat yang sudah memiliku nilai-nilai peradabannya sendiri?
Pertanyaan selanjutnya jika dipandang perlu untuk melakukan pembangunan peradaban masyarakat primitif adalah sejauh mana pembangunan itu dilakukan? Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa pendidikan sebagai instrumen pembangunan sumber daya manusia cenderung menjadikan masyarakat menjadi homogen dalam satu nilai universal. Kita lihat sebelum masa penjajahan, bangsa Indonesia benar-benar heterogen dilihat dari pakaiannya, bahan makanannya dll. Pembangunan kemudian menjadikan bangsa Indonesia homogen dari cara berpakaian, bahan makanan dll.sehingga masyarakat menjadi kehilangan identitas tradisinya. Kenyataan ini yang menjadi dasar pertimbangan dalam kasus pembangunan sumber daya manusia yang masih primitif di Indoensia. Pointnya adalan bagaimana menjadikan mereka beradab tanpa harus membuat mereka kehilangan jati dirinya sebagai sebuah entitas. Jawabannya dapat dibangun dari pertanyaan pokok sejauh mana pembangunan atau internalisasi nilai itu harus dilakukan?
Dua pertanyaan etik yang muncul dari ulasan diatas yaitu pertama apakah harus dilakukan internalisasi nilai-niai peradaban kepada masyarakat yang telah memiliki nilai-nilai peradabannya sendiri? dan kedua adalah jika memang perlu, sejauh mana internalisasi nilai tersebut harus dilakukan agar tidak mengubah jati diri yang has dari sebuah masyarakat?

 
 
Blogger Templates