Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Selasa, 17 September 2013

Jogja Nol Kilometer: Catatan Seorang Awam

Tulisan ini merupakan hasil akumulasi dari catatan-catatan kecil penulis selama kurang lebih dua bulan pertama berada di Kota Yogyakarta. Banyak kesan yang muncul dalam pikiran penulis tentang Yogyakarta, namun satu kata yang secara sederhana mewakili semua kesan itu adalah kata “Unik”. Secara kebetulan, RUU Keistimewaan Yogyakarta yang disahkan menjadi Undang-Undang Keistimewaan sekitar satu bulan yang lalu menegaskan kesan unik tersebut.
Jika ingin dirunut satu persatu maka tak cukup waktu untuk membuat daftar keunikan Jogja. Untuk itu, keunikan yang akan disorot dalam tulisan ini adalah beberapa keunikan di Kilometer Nol Kota Yogyakarta. Lebih khusus lagi, tempat-tempat yang menjadi fokus pembahasan yaitu Malioboro, Alun-Alun Utara, Kraton Jogja, Istana Kepresidenan Yogyakarta, Taman Pintar dan Shoping Center. Masing-masing tempat memiliki keunikan dari berbagai sisi.
Kita mulai dari keunikan berdasarkan sisi akses publik. Jika diberi hirarki berdasarkan akses publik maka Malioboro dan Alun-Alun Utara merupakan kawasan dengan akses publik yang paling besar. Di kedua tempat itu, semua kalangan masyarakat bebas untuk beraktifitas. Disana dapat dijumpai semua kalangan masyarakat mulai dari yang miskin maupun yang kaya; pejabat, bangsawan atau rakyat biasa; berpendidikan  ataupun tidak berpendidikan; dll. Sedikit berkurang akses publiknya, Taman pintar dan Shoping Center identik dengan kalangan masyarakat yang berpendidikan. Sebagai tempat yang berbasis ilmu pengetahuan, tentu kedua wilayah ini umumnya dikunjungi oleh masyarakat-masyarakat yang berpendidikan. Selajutnya, Kraton Jogja merupakan tempat dengan akses publik yang terbatas. Beberapa tempat di kraton memang dibuka untuk wisatawan tetapi ada juga yang tertutup khusus untuk internal kraton. Yang dapat mengakses tempat ini tentulah hanya bangsawan dan orang-orang tertentu dengan seizin kraton. Terakhir dari segi akses publik, Istana Kepresidenan Yogyakarta merupakan tempat yang akses publiknya sangat minim. Masyarakat hanya bisa melihat dari luar gedung yang megah itu tanpa pernah bermimpi bisa masuk ke tempat itu. Akses tempat itu hanya untuk pejabat-pejabat pemerintah itupun tentu dengan pengawasan protokoler yang ketat pada saat presiden atau wakil presiden datang.
Keunikan lain dapat dilihat dari sisi persandingan dua unsur yang dikategorikan berbeda satu sama lain. Di kawasan Malioboro banyak ditemui kesenjangan harmonis. Disatu sisi kita melihat makanan-makanan yang dikategorikan tradisional, disisi lain ada makanan yang dikategorikan moderen. Sungguh sulit ditemui di tempat-tempat lain angkringan bersanding harmonis dengan KFC. Begitu pula di kawasan yang sama kita temukan dua sistem pasar yang berbeda. Di pinggir jalan ramai terlihat sistem jual beli yang tradisional dimana masih terjadi tawar menawar antara penjual dan pembeli dan disisi lain kita melihat beberapa Mall dengan sistem yang modern. Di satu jalan yang sama kita dapat melihat sepeda ontel bersanding dengan motor mewah, begitu pula andong bersanding dengan mobil-mobil mewah. Kesemuanya itu bertemu dan bersanding dalam satu ruang publik yang sama, betul-betul unik!

Konsistensi Sejarah
Salah satu yang membuat Jogja Nol Kilometer unik adalah faktor sejarahnya. Daerah ini merupakan daerah pertempuran mempertahankan kemerdekaan RI dari Belanda tahun 1949. Begitu banyak jiwa yang dikorbankan di daerah ini untuk mempertahankan satu kata, MERDEKA. Konsekuensi logis dari pilihan untuk menyatakan kemerdekaan dari penjajahan.
Konsistensi semangat kemerdekaan itu masih terlihat di beberapa tempat dalam kawasan Nol Kilometer ini. Monumen Peringatan Serangan Umum Satu Maret yang dibangun di persipangan jalan merupakan salah satu upaya mempertahankan kesadaran sejarah tersebut. Manifestasi semangat kemerdekaan juga dapat ditemukan dalam dua tempat penunjang ilmu pengetahuan yaitu taman pintar dan Shoping center. Kemerdekaan disini diterjemahkan menjadi kemerdekaan dari kebodohan yang merupakan musuh utama bangsa Indonesia pasca kolonialisme. Keberadaan kedua tempat tersebut merupakan salah satu bentuk perjuangan kemerdekaan yang harus tetap dilanjutkan.
Perjuangan kemerdekaan yang lain juga terlihat dalam upaya mempertahankan kemandirian ekonomi bangsa. Mayoritas pedangang yang ada di Malioboro menjajakan hasil produksi lokal. Barang yang dijual merupakan barang yang diproduksi dengan menggunakan bahan baku lokal dan  diolah atau diproduksi oleh masyarakat lokal. Sebuah bentuk kemandirian ekonomi bangsa dalam skala mikro, berarti juga sebuah usaha mempertahankan kemerdekaan bangsa dari penjajahan ekonomi global. Sebagai bentuk konsistensi terhadap semangat sejarah kemerdekaan bangsa maka seharusnya kehadiran perusahaan-perusahaan multinasional dikawasan bersejarah Malioboro ditinjau ulang keberadaannya.
Menjadi sebuah kehormatan bagi seorang awam seperti penulis dengan mengetahui betapa Istimewanya tanah Jogja dalam sejarah mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia. Alangkah indahnya jika kehormatan yang sama di berikan kepada semua orang yang berkunjung ke kawasan Jogja Nol Kilometer. Untuk itu, penataan kawasan nol kilometer Jogja hendaknya lebih mengedepankan aspek historisnya guna menumbuhkan kesadaran sejarah bagi para pengunjung khususnya pengunjung dari Negara kita sendiri. Harga minimal bagi seorang pengunjung lokal adalah kesadaran sejarah bahwa ditanah mereka berpijak telah tertumpah banyak darah untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian, semangat berkunjung di Malioboro tidak didasari oleh nafsu konsumerisme melainkan semangat nasionalisme. Begitu pula semangat berkunjung ke Malioboro bukan sekedar semangat jalan-jalan tetapi dilandasi dengan semangat berkontribusi untuk kemerdekaan bangsa. Mungkin sudah saatnya penggunaan branding Malioboro sebagai kawasan jalan-jalan diganti dengan branding yang lebih nasionalis.

Wallahuallam bishawab


[Jogja, 28 Oktober 2012]

Rabu, 29 Mei 2013

Ekspedisi Semeru, 8-12 Mei 2013

https://fbcdn-sphotos-a-a.akamaihd.net/hphotos-ak-prn2/970446_4943261495941_1450156981_n.jpg
Ranupani

https://fbcdn-sphotos-d-a.akamaihd.net/hphotos-ak-prn2/971134_4943252175708_1575834953_n.jpg
Jeep dari Tumpang ke Ranupani

https://fbcdn-sphotos-b-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash3/922724_4943212694721_717782666_n.jpg
Danau Pani (Ranupani)

https://sphotos-b.xx.fbcdn.net/hphotos-prn2/184551_4943189894151_596688323_n.jpg 
Pos Pelaporan Ranupani

https://fbcdn-sphotos-f-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash3/944204_4943133492741_2052092048_n.jpg 
Mahameru dilihat dari Ranupani

https://sphotos-b.xx.fbcdn.net/hphotos-prn1/936903_4942930327662_889908669_n.jpg
Ranu Kumbolo


https://fbcdn-sphotos-d-a.akamaihd.net/hphotos-ak-prn1/21275_4942945008029_878836922_n.jpg
Danau Kumbolo (Ranu Kumbolo)

https://sphotos-a.xx.fbcdn.net/hphotos-frc1/249096_4943340857925_1948983831_n.jpg
Gradasi Cahaya di Camp Ranu Kumbolo

https://fbcdn-sphotos-b-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash3/942090_4942887646595_158448286_n.jpg
Camp Ranukumbolo


https://sphotos-a.xx.fbcdn.net/hphotos-ash3/487542_4943140852925_1851059911_n.jpg
Kalimati

https://fbcdn-sphotos-b-a.akamaihd.net/hphotos-ak-prn1/946743_4943134732772_2110324213_n.jpg 
Jalur Kalimati Cemoro Kandang

https://sphotos-a.xx.fbcdn.net/hphotos-snc6/248180_4943103771998_342380431_n.jpg
Camp Kalimati

https://fbcdn-sphotos-h-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash3/943414_4943045410539_21214211_n.jpg
Summit attack menuuju puncak mahameru

https://fbcdn-sphotos-g-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash3/182512_4943040810424_1359832782_n.jpg
Puncak Mahameru

https://sphotos-b.xx.fbcdn.net/hphotos-ash3/941790_4943035210284_520776152_n.jpg
Puncak Mahameru

https://fbcdn-sphotos-g-a.akamaihd.net/hphotos-ak-frc3/971823_4943303176983_417100656_n.jpg
Plat Tanda Puncak Mahameru

https://fbcdn-sphotos-a-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash3/943337_4942990009154_1939660851_n.jpg
Pemandangan Bromo dari Mahameru

https://fbcdn-sphotos-c-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash4/428580_4942952288211_297946057_n.jpg
Sunrise di Puncak Mahameru

Pengaruh Media Informasi dalam Penetapan Agenda Kebijakan


Pendahuluan
Perkembangan teknologi informasi menjadikan dunia terasa semakin sempit sekaligus semakin luas. Semakin sempit karena teknologi informasi melipat dunia menjadi semakin sempit sebagaimana melipat kertas. Ruang dan waktu dimampatkan oleh begitu cepatnya informasi tersebar (Piliang: 2011). Seseorang tidak perlu untuk pergi ke Palestina untuk mendapatkan informasi adanya serangan Israel yang menewaskan anak-anak di Gaza. Cukup dengan duduk di depan televisi untuk mengetahui keadaan di belahan dunia lainnya. Begitu pula seseorang tidak harus menghabiskan waktu untuk turun dari lantai sepuluh hanya untuk memanggil seseorang yang berada di lantai dasar. Cukup dengan menekan beberapa tombol di handphone untuk menghemat waktu perjalanan beberapa menit. Sebagai perbandingan, dimasa lalu, kabar bahwa Colombus menemukan benua Amerika sampai ke telinga Ratu Isabella setelah lima bulan peristiwa tersebut terjadi; begitu pula kabar tentang pembunuhan Abraham Lincoln sampai ke Eropa setelah dua minggu kerjadian. Sementara itu, dimasa berkembangnya teknologi Informasi, dunia mendengar bahwa Neil Amstrong berhasil mendarat di bulan hanya dalam waktu 1,3 detik (Winarno: 2009).
Disisi lain, perkembangan teknologi informasi juga dapat dikatakan memperluas dunia. Salah satu dampak dari perkembangan teknologi informasi adalah hilangnya batas-batas antar negara khususnya dalam hal persebaran informasi. Seorang anak di Desa Ranu Pane yang terletak kaki Gunung Semeru bisa saja ikut mengutuk kekejaman Israel yang menjajah Palestina setelah menonton berita di televisi. Dalam kasus ini, anak tersebut tidak lagi sekedar sebagai seorang warga desa melainkan sebagai sebuah bagian dari masyarakat global. Selain itu, teknologi informasi juga mengikis batas-batas budaya. Masyarakat yang dulunya terfragmentasi dalam budaya-budaya lokal yang sangat beragam kini diseragamkan dalam sebuah budaya besar yang dikenal sebagai budaya populer. Cara berpakaian pemuda-pemuda di Amerika yang disebarkan melaui televisi akhirnya menjadi budaya populer yang diikuti oleh sebagian besar pemuda dunia. Pemuda-pemuda yang tidak ikut mainstream budaya ini diberi label ketinggalan zaman. Demikianlah perkembangan informasi menjadikan dunia seseorang yang dulunya terbatas dalam sebuah teritori dan budaya kini semakin diperluas menjadi bagian dari sebuah komunitas global.
Kondisi dimana semakin cepat dan luasnya pertukaran informasi sebagai akibat berkembangnya teknologi informasi menjadikan masyarakat semakin terbuka dengan berbagai informasi. Masyarakat dapat mengakses berbagai perubahan yang terjadi dibelahan bumi yang lain dan membandingkan dengan apa yang terjadi dilingkungannya. Perbandingan tersebut melahirkan keinginan untuk menyerupai perubahan yang terjadi di tempat lain yang menurutnya lebih baik dan sebaliknya berkeinginan menghindari kondisi yang dinilai lebih buruk (Firmansyah: 2012). Gelombang revolusi dan demokratisasi yang terjadi secara beruntun di timur tengah tahun-tahun terakhir ini menunjukkan bagaimana perubahan di sebuah negara dapat menginsipirasi negara lain untuk melakukan hal yang serupa. Disinilah terlihat bahwa perkembangan teknologi informasi telah memiliki pengaruh yang sangat penting dalam dunia politik. Informasi yang beredar begitu cepat dan begitu luas dapat mempengaruhi cara masyarakat melihat dan bersikap terhadap sebuah fenomena politik.
Telah nampak jelas bagaimana pengaruh perkembangan teknologi informasi dalam tatanan makro politik khususnya dalam hal pembentukan cara pandang masyarakat terhadap sebuah fenomena politik. konteks serupa juga dapat dijumpai dalam tatanan mikro yaitu dalam tatanan proses pengambilan keputusan. Informasi memiliki peran penting dalam semua tahapan pengambilan keputusan, mulai dari agenda setting, formulasi kebijakan, implementasi kebijakan hingga evaluasi kebijakan. Tulisan ini akan fokus membahas bagaimana pengaruh informasi dalam penetapan agenda pemerintah kebijakan (agenda setting).
Pengaruh Media Informasi dalam Agenda Setting
Kebijakan pemerintah dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh pemerintah (Thomas R. Dye dalam Nugroho:2012). Ketika terjadi sebuah masalah dalam masyarakat, pemerintah dapat memutuskan melakukan sebuah tindakan untuk mengatasi masalah tersebut atau memutuskan tidak melakukan tindakan terhadap masalah tersebut. Dalam kasus kenaikan harga minyak dunia, pemerintah dapat memutuskan untuk menaikkan harga atau tidak merespon kenaikan harga minyak dunia tersebut. Kedua-duanya dapat disebut sebagai kebijakan pemerintah karena baik menyesuaikan harga maupun mendiamkannya masing-masing memiliki dampak kebijakan. Namun demikian, konteks tidak melakukan tindakan tertentu untuk mengatasi masalah di masyarakat bukan hanya sekedar karena sengaja tidak melakukan apa-apa. Penyebab lain pemerintah tidak melakukan tindakan adalah karena ada masalah lain yang lebih penting untuk diselesaikan. Keterbatasan kemampuan pemerintah menyebabkannya harus memilih masalah mana yang harus diperhatikan dan mana yang harus diabaikan. Penentuan prioritas inilah yang disebut sebagai agenda setting (Kusumanegara:2010).
 Dari ulasan diatas terlihat bahwa sebuah pilihan tindakan (kebijakan) selalu dimulai dari masalah yang terjadi dalam masyarakat. Dalam konsep pemerintahan terdapat dua kutub besar terkait pemilihan masalah untuk dijadikan kebijakan. Kedua kutub tersebut yaitu antara negara dan pasar. Dalam kutub negara, agenda setting ditentukan sendiri oleh pemerintah melalui aktivitas terencana yang sejak awal menjadi tujuan utama. Disini, pemerintah yang menentukan apa masalah dari masyarakat dan apa tindakan untuk mengatasi masalah tersebut. Di kutub pasar, agenda ditentukan oleh masalah-masalah yang menjadi perhatian masyarakat. Pemerintah bersikap lebih reaktif ketika terjadi masalah yang menjadi perhatian masyarakat.
Pada kutub negara mengatur semua agenda setting, arus informasi semaksimal mungkin di kontrol oleh pemerintah. Informasi-informasi yang tidak merugikan jalannya pemerintahan dibatasi semaksimal mungkin begitu pula sebaliknya, informasi yang menguntungkan pemerintah dipublikasikan secara massif. Sebagai contoh, di Singapura informasi khususnya di televisi dan media cetak di kontrol untuk kepentingan pembagunan. Ketika terjadi demonstrasi anarkis di Indonesia, koran-koran nasional menjadikan berita tersebut sebagai headlinenya. Massifikasi informasi tersebut dimaksudkan untuk membentuk opini publik agar tidak senang dengan model demokrasi yang sangat bebas seperti di Indonesia. Publik di Singapura akhirnya memaklumi adanya sejumlah pembatasan-pembatasan hak seperti hak mengeluarkan pendapat dll. Dengan demikian pemerintah bebas menjadi aktor tunggal dalam menjalankan pemerintahan termasuk menentukan masalah-masalah yang menjadi prioritas kebijakan.
Di kutub yang berbeda,  dalam kutub pasar, masalah kebijakan dipengaruhi oleh seberapa besar perhatian masyarakat terhadap sebuah masalah. Pemerintah memberi prioritas terhadap sebuah masalah setelah masalah tersebut mendapat perhatian dari masyarakat luas. Kasus masalah jembatan sungan Ciberang Lebak Banten misalnya (penetapan agenda di Indonesia merupakan gabungan kedua kutub), perhatian pemerintah terhadap kasus tersebut muncul setelah media Inggris (Reuters dan Daily Mail) memberitakan dan mempublikasikan foto kondisi tersebut. Foto-foto pelajar yang meniti jembatan miring diatas sungai yang mengalir deras tersebut mendapat perhatian luas di masyarakat dunia. Perhatian masyarakat dunia tersebutlah yang akhirnya membuat pemerintah melalui Kementerian Daerah Tertinggal mengucurkan dana satu milliar untuk memperbaiki jembatan tersebut (Simanjuntak dkk: 2013).
Jika dicermati, baik dalam kutub negara maupun kutub pasar, media informasi memiliki peran penting dalam penetapan agenda kebijakan. Dalam kutub negara, pemerintah menggunakan media untuk mempengaruhi opini publik agar menyetujui agenda pemerintah. Begitupun dalam kutub pasar, media menjadi sarana memperluas perhatian publik sehingga menjadi agenda pemerintah. Kondisi ini digambarkan oleh Rogers dan Dearing (dalam Parsons: 2011) sbb:

kebijakan
Sumber: Parsons (2011)

Disini ditegaskan ada tiga jenis agenda yaitu agenda media, agenda publik dan agenda kebijakan. Disini terjadi dua alur yaitu agenda media yang mempengaruhi agenda publik untuk kemudian mempengaruhi agenda kebijakan dan alur agenda kebijakan yang mempengaruhi agenda media dan agenda publik. Teori ini semakin mempertegas arti media informasi dalam siklus penetapan agenda pemerintah. Media informasi dapat mempenaruhi agenda publik (opini publik) yang melahirkan tuntutan atau dukungan terhadap agenda kebijakan pemerintah.
Bagaimana media dapat mempengaruhi opini publik dijelaskan oleh Noelle-Newman (dalam Junaedi:2007). Asumsi dasarnya adalah secara alamiah, setiap orang memiliki perasaan takut dikucilkan oleh orang lain sehingga berusaha membangun konsensus. Dalam hal opini publik, perasaan takut terkucilkan menjadi alasan untuk seseorang untuk mengikuti opini mayoritas. Jika opini mayoritas semakin tersebar dan meluas dalam masyarakat maka semakin senyap pula suara perseorangan yang berlawanan dengan opini mayoritas tersebut. Kondisi inilah yang kemudian disebut sebagai gelombang kebisuan (Junaedi: 2007). Demikianlah mekanisme kerja media informasi dalam membentuk opini publik sehingga publik mengikuti apa yang diagendakan oleh media.
Penutup
Perkembangan media informasi telah merasuki sendi-sendi kehidupan termasuk kehidupan politik. Media Informasi tidak sekedar menghadirkan informasi menjadi lebih mudah, lebih luas dan lebih cepat di akses melainkan juga mempengaruhi cara berpikir seseorang. Dalam pross kebijakan, media infomasi dapat mempengaruhi opini publik sehingga melahirkan tuntutan dan dukungan terhadap sebuah agenda kebijakan. Dengan demikian, menguasai media dapat juga berarti menguasai opini publik. Menguasai opini publik berarti juga menguasai agenda pemerintah, sedangkan menguasai agenda pemerintah berarti menguasai apa yang harus dan tidak harus dilakukan pemerintah. Dengan kata lain menguasai media sudah bisa dikatakan menguasai pemerintahan. Tidak heran jika muncul pernyataan bahwa di era teknologi informasi sekarang ini, “menguasai informasi berarti menguasai dunia”.

Referensi
Firmanzah. 2012. Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Junaedi, Fajar. 2007. Komunikasi Massa: Pengantar Teoritis. Yogyakarta: Santusta
Kusumanegara, Solahuddin. 2010. Model dan Aktor dalam Proses Kebijakan Publik. Yogykarta: Gava Media
Nugroho, Riant. 2012. Public Policy. Jakarta: Gramedia
Parsons, Wayne. 2011. Public Policy: Pengantar Teori & Praktik Analisis Kebijakan. Jakarta: Kencana
Piliang, Yasraf Amir. 2011. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Bandung: Matahari
Simanjuntak, Bungaran Antonius dkk. 2013. Dampak Otonomi Daerah di Indonesia: Merangkai Sejarah Politik dan Pemerintahan Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Winarno, Budi. 2009. Pertarungan Negara Vs Pasar. Yogyakarta: Media Pressindo
 
 
Blogger Templates