gambar dirujuk dari : http://gema-nurani.com/
Korupsi
telah menjadi masalah kronik di Negeri ini. Gelar extra ordinary crime telah disematkan kepada jenis perbuatan
melawan hukum yang satu ini. Berbagai upaya telah dilakukan oleh berbagai pihak
untuk menyelesaikan masalah ini, mulai dari pembentukan lembaga “sakti” pemberantasan korupsi hingga pendidikan anti korupsi. Namun upaya-upaya
tersebut relatif belum mampu menyelesaikan masalah yang luar biasa ini.
Pendidikan
anti korupsi merupakan salah satu upaya pemerintah dalam mencegah korupsi.
Pemerintah menyusun kurikulum anti korupsi untuk diajarkan di semua tingkat
pendidikan. Pemerintah berharap pendidikan anti korupsi dapat menjadi sarana
sosialisasi nilai-nilai anti korupsi sejak dini kepada para pelajar dan dengan
demikian korupsi dapat dikurangi.
Namun
demikian, pendidikan anti korupsi masih perlu dipertanyakan efektifitas kedepannya.
Sebab larangan korupsi yang merupakan bentuk lain dari pencurian sesungguhnya
telah diajarkan dalam pendidikan agama, pendidikan moral pancasila ataupun
pendidikan kewarganegaraan tetapi toh yang sekarang menjadi koruptor adalah
mereka yang dulu pernah mempelajari semua mata pelajaran tersebut. beberapa
diantaranya mungkin mendapatkan nilai tinggi dari semua mata pelajaran
tersebut. Kemungkinan yang sama bisa saja terjadi dengan adanya kurikulum
pendidikan anti korupsi tersebut.
Pendidikan Korupsi pada Ujian
Nasional
Ditengah
upaya pemerintah mengatasi korupsi dengan pendidikan anti korupsi, secara tidak
langsung pemerintah juga menyediakan ruang untuk pendidikan korupsi. Ujian
nasional secara tidak langsung menjadi ruang bagi pendidikan korupsi. Nilai-nilai
korupsi terinternalisasi dalam ujian nasional melalui proses “pembiaran
menyontek massal”. Telah menjadi rahasia umum bahwa dalam ujian nasional menyontek
dengan berbagai variannya merupakan hal yang lazim. Bentuknya dapat berupa
kerja sama antar siswa ataupun suplai kunci jawaban dari luar. Praktek curang
dalam ujian nasional ini bukannya tidak diketahui melainkan ada kesan dibiarkan
atau yang lebih parah adalah "dikondisikan" (dibantu) oleh sebagian besar
“oknum” pendidik.
Dalam
proses belajar keseharian, menyontek merupakan hal yang dilarang oleh pendidik.
Menyontek pada saat ulangan harian atau ulangan semester merupakan hal yang
haram untuk dilakukan oleh siswa dengan konsekuensi-konsekuensi yang jelas dan
tegas. Namun pada saat ujian nasional, menyontek merupakan hal yang dibolehkan
atau dengan kata lain menyontek hukumnya makruh tanpa hukuman apapun. Proses
ini sama dengan posisi mencuri dan korupsi. Menyontek pada saat ulangan harian
dapat diibaratkan sebagai mencuri karena lingkupnya kecil sementara menyontek
pada saat ujian nasional dapat diibaratkan korupsi karena lingkupnya lebih
besar. Pembiaran menyontek dalam ujian nasional meginternalisasikan nilai
mencuri dalam kondisi tertentu dapat dibenarkan. Dampak dari pembiaran
menyontek adalah siswa tidak merasa berdosa ketika menyontek dalam ujian
nasional.
Perasaan
perasaan tidak bersalah ketika menyontek dalam ujian nasional mempunyai
relefansi dengan perasaan tidak bersalah para koruptor sebagaimana diungkapkan
oleh Dr. Hariatmoko dalam buku etika politik. Sebab-sebab koruptor tidak merasa
bersalah ketika melakukan perbuatan korupsi diantaranya: pertama, karena dilakukan beramai-ramai. Baik meyontek dalam ujian
nasional maupun korupsi tidak membuat pelakunya merasa bersalah karena
perbuatan tersebut dilakukan secara beramai-ramai. Perbuatan korupsi tidak
mungkin dilakukan hanya oleh seseorang. Dalam kasus penyuapan misalnya, minimal
yang harus ada yaitu yang menyuap dan yang menerima suap. Persis sama dengan
kasus menyontek yaitu ada yang menyontek dan ada yang memberi contekan. Pada
saat ujian nasional, contek-menyontek semakin mudah terjadi karena pengawas
membiarkan atau mungkin menganjurkan terjadinya proses tersebut.
Kedua, karena kebiasaan dapat membungkam rasa bersalah. Baik korupsi maupun
menyontek dalam ujian nasional telah terjadi secara berulang-ulang sehingga
telah dianggap sebagai hal yang wajar. Dalam budaya birokrasi, uang pelicin
telah menjadi hal yang wajar dan biasa dalam mendapatkan proyek dan oleh karena
itu tidak menimbulkan rasa bersalah bagi pelakunya. Dalam kasus ujian nasional,
cerita-cerita tentang pembiaran menyontek ataupun bantuan jawaban dari luar
telah beredar dari peserta ujian nasional tahun-tahun sebelumnya (kakak kelas)
sehingga menyontek pada ujian tahun ini bukan merupakan hal baru yang harus
menimbulkan rasa bersalah.
Ketiga, karena adanya kompensasi atas rasa bersalah. Koruptor biasanya
mengurangi rasa bersalahnya dengan menyumbangkan sebagian uang korupsinya
kepada tempat ibadah, masyarakat dll. Uang korupsi juga dapat dijadikan modal
bisnis sehingga dapat membuka lapangan pekerjaan dan mempekerjakan orang
banyak. Rasa bersalah itu digantikan dengan perasaan telah berbuat baik kepada
orang lain. Dengan demikian koruptor merasa telah menggunakan uang yang diadapatka
melalui cara yang tidak benar untuk sebuah kebaikan dan dengan sendirinya
mengurangi rasa bersalahnya. Dalam kasus ujian nasional, siswa-siswa yang
contek menyontek mengurangi rasa bersalahnya dengan perasaan telah berbuat baik
kepada teman-temannya yang diberikan contekan. Perasaan bersalah karena
menyontek juga dikompensasi dengan imbalan yang akan diterima jika lulus ujian
nasional yaitu perasaan berbuat baik karena telah menyenangkan orang tua.
Karena bagi para orang tua, lulus jauh lebih penting ketimbang cara untuk lulus.
Kompensasi rasa bersalah dalam kasus korupsi dan kasus menyontek dalam ujian
nasional merupakan alasan pembenaran untuk mengurangi konflik batin dalam diri
para pelaku atas perbuatan salah yang telah mereka lakukan.
Ketiga
poin tersebut di atas menunjukkan bahwa Ujian Nasional dapat menjadi ruang
untuk internalisasi nilai-nilai korupsi. Nilai yang diinternalisasikan dalam
pembiaran menyontek dalam ujian nasional adalah bahwa mencuri dalam konteks
tertentu bukan merupakan sesuatu salah. Tidak mengherankan kemudian jika siswa
yang menganggap menyontek adalah perbuatan yang tidak benar justru ikut-ikutan menyontek pada saat ujian nasional. Kelulusan nampaknya telah menjadi
keberhasilan besar yang tidak berarti jika dibandingkan dengan
keberhasilan-keberhasilan kecil yang diraih dengan kejujuran. Kebiasaan
mengenyampingkan etika untuk sebuah keberhasilan yang besar juga menjadi
jawaban mengapa para koruptor bukan merupakan orang-orang yang terbiasa mencuri
hal-hal yang kecil.
Pendidikan
anti korupsi yang dicanangkan pemerintah menjadi kontra produktif jika
dihadapkan dengan realitas internalisasi nilai-nilai korupsi yang sudah lama
mengakar dalam pembiaran menyontek pada ujian nasional. Jika budaya pembiaran
menyontek ini terus berlanjut maka pendidikan anti korupsi tidak lebih baik
dari pelajaran yang lain yang telah berlangsung di sekolah. Pendidikan korupsi
hanya akan masuk dalam tulisan kecil dalam ijazah kelulusan yang didapatkan
dengan jalan korupsi kecil-kecilan.
Jalan
keluar dari jerat proses internalisasi korupsi ini adalah bersikap tegas untuk
menghentikan kebiasaan pembiaran menyontek dalam Ujian Nasional dengan
kemungkinan terburuk akan banyak yang tidak lulus. Pilihan lain yang lebih
mudah adalah dengan menghapuskan ujian nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar