Entah mengapa ingatan saya
tiba-tiba tertuju pada pertanyaan teman sekelas pada kuliah perdana Filsafat
Ilmu dan Metode Penelitian yang dibawakan oleh Pak Gunawan. Teman saya bertanya
“Apakah manusia itu tersandra oleh kebiasaan?”. Berbagai jawaban muncul pada
kuliah tersebut termasuk dari pak dosen sendiri. Sebagian besar mengiyakan
bahwa manusia itu tersandara oleh kebiasaan. Pada saat itu saya berada pada
posisi tidak sepakat dengan pernyataan apakah manusia tersandra pada kebiasaan
tersebut dengan mengacu pada perdebatan antara kaum determinisme dan free will. Saat itu saya menganggap
bahwa pernyataan manusia tersandra oleh kebiasaan adalah sama dengan pemahaman
kaum determinisme bahwa segala sesuatu sudah teratur dan manusia hanya bergerak
sesuai aturan-aturan itu. Saya yang meyakini bahwa manusia itu punya kehendak
bebas pastinya tidak sepakat dengan pernyataan itu.
Setelah perkuliahan selesai tanpa
menghasilkan jawaban yang jelas, pertanyaan itu kemudian saya bawa pulang dan
untuk beberapa saat saya an apakah benar manusia itu tersandra oleh kebiasaan.
Perenungan itu kemudian menuntun saya pada pertanyaan seputar hakekat
kemanusiaan yang pada kuliah perdana Filsafat Ilmu itu juga di bahas meskipun
tidak tuntas. Apa perbedaan manusia dengan binatang?
Hampir semua yang ditanya
persoalan ini akan menjawab perbedaanya terletak pada akal yang dimiliki
manusia dan tidak dimiliki oleh hewan. Manusia memiliki akal yang dengan itu
mampu menghasilkan cipta, karya dan karsa (inipun juga dibahas dalam kuliah
tadi). Terkait dengan kemampuan mencipta dan berkarya, saya jadi teringat
beberapa bulan silam waktu saya menjadi Anggota Dewan Kehormatan Penerimaan
Anggota Baru Racana Hasanuddin. Pada kegiatan penghadapan dewan kehormatan yang
bertugas menguji kemampuan calon anggota untuk bisa diterima sebagai anggota,
saya ditempatkan pada pos pengetahuan umum.
Pertanyaan awak yang saya berikan
kepada calon peserta adalah “apa perbedaan antara manusia dengan binatang?”
Jawaban yang diberikan beragam, mulai dari jawaban yang simpel sampai yang
rumit. Yang simpel menjawab perbedaannya yaitu manusia bisa bikin pisang goreng
sedangkan hewan tidak bisa. Sekedar menguji kedalaman pemahamannya saya
bertanya lebih lanjut “jadi kalau ada manusia yang tidak bisa bikin pisang
goreng berarti bukan manusia?”. Semua yang memberi jawaban tapi akhirnya
berpikir ulang dan tidak menemukan jawaban selanjutnya.
Jika diranungkan lebih dalam,
sepenggal jawaban simpel tadi sebenarnya mengandung inti dari hakekah
kemanusiaan sebagaimana dijelaskan diatas, yaitu mampu mencipta dan berkarya.
Kata “manusia bisa bikin pisang goreng” itu sebenarnya mengandung identitas
kemanusiaan yang diterjemahkan dalam bahasa partikular. Bahasa universalnya
adalah manusia “bisa membuat sesuatu”. Kata “bisa membuat” disini berorientasi
pada “potensi berkreasi” sedangkan “sesuatu” berorientasi pada “sesuatu yang
baru”. Jadi jika pertanyaannya “Kalau ada manusia yang tidak bisa bikin pisang
goreng, apakah berarti dia bukan manusia? Jawabannya iya, dia bukan manusia.
Mari kita garis bawahi kata “tidak bisa bikin” pada pertanyaan tersebut. Jika
kita merujuk pada orientasi kata “bisa” yang berarti potensi berkreasi, maka
kata “tidak bisa bikin” dapat juga diartikan “tidak punya potensi berkreasi”
dan itu bertentangan dengan hakekat kemanusiaan. Manusia bukannya tidak bisa
bikin pisang goreng melainkan hanya belum tau caranya dan belum mau belajar
membuat pisang goreng.
Pertanyaan selanjutnya adalah
bagaimana jika dibandingkan dengan binatang yang bisa membuat sarang? Apakah
bisa juga digolongkan sebagai manusia? Ataukan pernyataan itu justru
menggugurkan hakekat kemanusiaan karena ternyata binatang juga bisa membuat
sesuatu. Untuk menjawabnya, kita kembali pada orientasi kemanusiaan pada kata
“bisa membuat” dan “sesuatu”. Pada manusia, sebagaimana diungkapkan diatas,
kata bisa membuat berorientasi pada pemahaman memiliki potensi berkreasi
sedangkan pada binatang berorientasi sebagaimana secara harfiah yaitu bisa
membuat. Pada kata “sesuatu”, untuk manusia, berorientasi pemahaman sesuatu
yang baru sedangkan pada binatang berarti sesuatu sebagaimana biasanya.
Kreasi berarti menghasilkan sesuatu yang baru yang
belum pernah ada sebelumnya atau memodivikasi sesuatu yang sudah ada menjadi
sesuatu yang berbeda dari sebelumnya. Potensi inilah yang dimiliki manusia.
Binatang tidak memiliki daya kreasi sehingga hanya melakukan sesuatu
sebagaimana kebiasaanya. Itulah yang membuat sarang dan pisang goreng menjadi
pembeda binatang dan manusia. Sarang yang dibuat oleh binatang dari dulu sampai
sekarang masih saja seperti itu sedangkan pisang goreng dibuat oleh manusia
dari olahan pisang yang bisa sangat beragam cara yaitu dibakar, digoreng,
direbus dibuat kripik dll. Pisang goreng saja sudah beragam campuran, mulai
dari pisang goreng keju, coklat, dll yang pastinya akan terus menjadi sesuatu
yang baru.
Kembali ke diskusi awal, apakah
manusia tersandra oleh kebiasaan? Jawabannya tentu tidak. Hakekat manusia salah
satunya adalah potensi untuk berkreasi yang dengan itu membuatnya keluar dari
kebiasaan. Jika manusia tersandra oleh kebiasaan maka tidak akan ada
kreasi-kreasi baru yang lahir didunia ini. Jika manusia tersandra oleh
kebiasaan maka manusia tidak ada bedanya dengan binatang. Asumsi ini menolak
pandangan circular reasoning yang
menempatkan cara berpikir manusia pada satu lingkaran yang berulang-ulang.
Lebih dari itu, cara berpikir manusia itu seperti bola salju yang
menggelinding, sedikit demi sedikit membesar, bukannya seperti bola kasti yang
menggelinding tanpa berubah besar lingkarannya. Manusia selalu mendapat
pengetahuan baru yang bisa menjadi kebiasaan. Kebiasaan itu kemudian diperkaya
dengan pengetahuan-pengetahuan yang lebih baru, atau bisa jadi pengetahuan baru
tersebut merubah kebiasaan lama. Namun berubahnya kebiasaan tidak lantas menghilangkan
kebiasaan lama dari pengetahuan manusia, melainkan menjadikannya bahan baku
dalam menelaah kebiasaan barunya.
Wallahuallam bishawab.
Catatan Ngawur [minggu 21 Okt. 12]