Jika
tut wuri handayani yang merupakan
sebuah kata berbahasa jawa bisa menjadi semboyan resmi institusi pendidikan
nasional, dapatkah siri’ juga
dijadikan semboyan dalam isntitusi pemerintahan lainnya? Pertanyaan ini menarik
dikaji dengan menggunakan perspektif etika pemerintahan.
Dalam
kajian etika pemerintahan, sebuah nilai dapat dijadikan sebagai etika publik
jika memenuhi nilai universal. Artinya, nilai tersebut tidak hanya dimiliki
oleh sekelompok orang ditempat dan waktu tertentu saja. Nilai tut wuri handayani, terlepas dari
bagaimana sejarah dan proses internalisasinya, juga terdapat dalam nilai
kepemimpinan dalam budaya suku Bugis. Suryadin Laoddang (http://www.sempugi.com)
mengemukanan bahwa Puang Ri Maggalatung, Arung Matoa Wajo Ke-IV pernah
megajarkan filosofi kepemimpinan dengan prinsip: “monriyolo patiroangngi, monri tengnga paraga-ragai, monri onri
paampai’i”. Prinsip ketiga ini yang dianggap
memiliki makna yang sepadan dengan makna tut
wuri handayani.
Nilai
siri’ juga dapat dikatakan memiliki
dimensi universal. Nilai siri’ memiliki
makna malu khususnya yang berhubungan dengan harga diri. Nilai malu ini
tentunya bersifat universal, yaitu ada di banyak budaya di Indonesia dalam
berbagai bahasa. Pepatah “lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup
bercermin bangkai” menunjukkan bahwa budaya malu itu telah lama ada dalam
budaya Indonesia. Dengan demikian nilai siri’
ini sudah memenuhi salah satu syarat untuk dijadikan sebagai etika publik.
Syarat
kedua yang harus dipenuhi untuk menjadi sebuah etika publik adalah harus
disetujui oleh semua orang. Untuk mendapat persetujuan tersebut, paling tidak
ada dua hal yang penting untuk diperhatikan. Pertama, nilai siri’ ini harus memiliki keutamaan
dibandingkan nilai malu dalam budaya lainnya. Kedua, nilai ini harus terlihat
secara empiris berhasil diterapkan ditempat satu tertentu.
Institusionalisasi Nilai Siri’
Siri’
merupakan nilai yang esensial dalam budaya masyarakat bugis. Siri’ bahkan dianggap sebagai esensi
kemanusiaan. Banyak ungkapan yang menegaskan posisi esensial tersebut
diantaranya: : “Naia tau di’e siri’na,
De’i lainna olokolo’e” (Orang yang tidak ada siri’nya tidak lain adalah binatang); “Siri’emmitu tariaseng tau; Narekko de’i siri’ta, tannianik tau; Rupa
tau mani’ asenna”, (hanya karena
siri’ kita disebut manusia; kalau tidak ada siri’, kita bukan manusia, melainkan hanya berwujud manusia). Siri’ dianggap sebagai pembeda antara
manusia dengan binatang.
Nilai
siri’ memiliki dua dimensi yaitu
dimensi personal dan dimensi sosial. Dimensi personalnya yaitu menjadi motif
penggerak bagi individu baik yang sifatnya destruktif, maupun sifatnya
konstruktif. Nilai siri’ yang
sifatnya destruktif berwujud aksi menghilangkan (membunuh) semua yang menganggu
siri’ seseorang termasuk
menghilangkan dirinya (bunuh diri). Istilah “materi
siri’na” dan “mate siri’”
sepertinya tepat menggambarkan kondisi ini. Orang yang “materi siri’na” yaitu orang yang mati dalam upaya menegakkan siri’nya. Kematian seperti ini dianggap
kematian secara terhormat (“mate ri
gollai, mate ri santangi”). Sedangkan orang yang “mate siri’” yaitu orang yang siri’nya
sudah hilang dan tak lebih dari mayat hidup. Untuk itu, orang yang merasa mate siri’ karena peristiwa tertentu
akan melakukan jallo’ (amuk), hingga
mati sendiri. Jallo’ yang demikian
disebut napatettongi siri’na, atau menegakkan kembali siri’nya sehingga dia meninggal dalam keadaan sebagai manusia (Mattulada,
1985: 63; dan Ahimsa, 2007: 63)
Dari
gambaran tentang mate
ri siri’na dan mate
siri’, nilai siri’ dapat
disamakan dengan budaya harakiri di
Jepang. Dizaman dahulu, para kesatria Jepang melakukan aksi bunuh diri untuk
membayar sebuah kesalahan atau kegagalan dalam menjalankan tugas. Dengan
demikian, harga dirinya akan kembali dipulihkan dan mereka pun mati dalam
keadaan terhormat. Jika dilihat dari motif tindakannya, keduanya digerakkan
oleh keinginan untuk menegakkan harga dirinya. Harga diri merupakan sesuatu
yang berharga sehingga mati merupakan harga yang pantas untuk menebusnya.
Dalam
perjalanannya kemudian, Jepang mentransformasi nilai tersebut kedalam etika
pemerintahannya. Pejabat yang gagal dalam menjalankan pemerintahan tidak lagi
melakukan harakiri melainkan dengan
sukarela melepaskan jabatannya. Nilai yang tetap dipertahankan adalah keharusan
melakukan pertanggngjawaban etik atas sebuah kesalahan yang dianggap
merendahkan harga diri. Dengan ditemukannya banyak kesamaan antara nilai siri’ dengan harakiri, maka bukan tidak mungkin nilai siri’ dengan mudah ditransformasikan menjadi pertanggungjawaban
etik serupa dengan yang terjadi di Jepang pada saat ini.
Menjadikan
siri’ sebagai etika pemerintahan
diharapkan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya pertanggungjawaban etik dalam
pemerintahan. Siri’ yang ditegakkan
nyawa sebagai taruhannya mengajarkan betapa mahalnya harga sebuah
pertanggungjawaban etik sehingga nyawa adalah harga yang pantas menjadi
bayarannya. Perkembangan zaman tidak lagi mendukung pengorbanan nyawa untuk
sebuah pertanggungjawaban. Namun demikian, nilai yang mengharuskan
perntanggungjawaban etik harus dibayar mahal tidak boleh juga ikut hilang. Jika
jabatan adalah sesuatu yang sangat berharga pada saat ini maka mengundurkan diri
sudah dapat dianggap sebagai sebuah bentuk perttanggungjawaban yang pantas
sebagai transformasi bentuk pertanggungjawaban etik.
Nilai
siri’ ini juga dapat bersifat
konstruktif. Bagi orang bugis, bermalas-malasan sehingga menjadi miskin atau
bodoh merupakan hal yang dapat mempermalukan dan merendahkan harga dirinya. Ini
menjadi motif untuk bekerja keras dan bersungguh-sungguh agar tidak
mempermalukan diri sendiri. Disini siri’
dapat dilihat sebagai sebuah etos kerja. Nilai siri’ juga menjadi pengawal tingkah laku agar tidak melakukan
perbuatan yang mempermalukan diri sendiri. terbukti mencuri, berbohong, berbuat
curang tentu akan membuat seseorang menjadi malu sehingga harus dihindari.
Nilai
siri’ selain berdimensi pribadi, juga
memiliki dimensi sosial. Dimensi sosial siri’
berwujud dalam ungkapan ”masseddi siri’”.
Dalam skala kelompok yang paling kecil yaitu keluarga, diajarkan bahwa hubungan
suami istri hanya akan sempurna jika saling menjaga siri’ (Rahim, 2011:142). Begitu pula dalam skala yang lebih besar,
setiap anggota kelompok harus saling menjaga siri’. Apabila ada salah seorang anggota kelompok yang dipermalukan
maka setiap anggota kelompok lain berhak untuk ikut menyelesaikan persoalan siri’ tersebut. Begitu pula apabila ada
seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang tidak patut maka akan ikut
mempermalukan seluruh anggota kelompok (mappakasiri’-siri’).
Seorang anak perempuan yang melakukan kawin lari (silariang) akan mempermalukan seluruh anggota keluarga dan untuk
itu wajib mendapatkan sanksi sosial.
Sejarah
masa lalu telah menunjukkan bagaimana masyarakat masseddi siri’ dalam urusan kerajaan. Tercatat beberapa raja pernah
dibunuh oleh masyarakat karena berbuat sewenang-wenang. Ada putra raja yang
diusir/diasingkan (ripaoppangi tana)
karena membunuh salah seorang petinggi kerajaan (http://www.rappang.com).
Catatan sejarah ini menunjukkan bahwa massedi
siri’ tersebut dapat dijadikan sebuah kontrol sosial yang efektif bagi
jalannya pemeintahan.
Siri’
yang berdimensi sosial ini dapat ditranformasikan kedalam proses pemerintahan
moderen saat ini. Jika setiap masyarakat ikut merasa malu apabila ada salah
seorang dari kelompoknya yang berbuat korup kemudian menjatuhkan sanksi sosial
bagi si pelaku maka akan menjadikan pejabat lain dari kelompok yang sama lebih
berhati-hati. Sanksi sosial yang diharapkan tentu tidak lagi berupa pembunuhan.
Aksi massa menjelang pilpres 2009 terhadap salah seorang politikus/pejabat
pemerintah yang dianggap rasis dengan menyatakan “belum saatnya bagi orang
sulsel untuk memimpin” kiranya cukup memadai untuk dijadikan sanksi sosial.
Tentu saja bukan aksi massa penyerangan rumah pejabat tersebut yang dimaksud
disini, melainkan pernyataan massa agar pejabat ybs. tidak lagi menginjakkan
kaki di bumi Sulawesi Selatan. Hukuman yang bisa disepadankan dengan
pengasingan dimasa lalu.
Masih
dalam konteks kontrol sosial, siri’
dapat diaplikasikan dalam mencegah korupsi kecil berupa pungutan liar (pungli)
dari aparat pemerintahan. Pungli ini dapat dimaknai sebagai aksi pemalakan
terhadap seseorang. Aksi seperti ini seharusnya dapat dianggap merendahkan
harga diri orang yang dipalak sehingga muncul perlawanan. Orang yang punya siri’ tentu tidak ingin direndahkan
harga dirinya sehingga menentang aksi yang serupa. Pemaknaan ulang aksi
pungutan liar ini dengan mengaitkannya dengan nilai siri’ diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk tidak
pasrah dengan patologi birokrasi yang satu ini.
Nilai
siri’ dalam konteks etika
pemerintahan terwujud dalam nilai pertanggungjawaban etik, etos kerja, kontrol
diri birokrat dan kontrol sosial masyarakat. Demikian luas dan komperhensifnya
nilai siri’ ini dalam menjadikannya
sangat memadai untuk dijadikan etika pemerintahan di Indonesia. Tidak
berlebihan jika berharap agar nilai siri’
ini disimbolisasi menjadi semboyan Departemen Dalam Negeri sebagai induk
pemerintahan di dalam dalam negeri.
Untuk
mewujudkan harapan tersebut, Pemerintahan di Sulawesi Selatan sebagai pemilik
nilai siri’ harus menjadi contoh
nyata penerapan nilai siri’. Para
birokrat harus menjaga siri’nya
sebagai pemerintah, disamping itu masyarakat juga harus masseddi siri’ untuk mengawal jalannya pemerintahan dengan baik.
Jika itu semua berhasil, bukan tidak mungkin kita akan membaca siri’ dalam simbol Institusi Pemeritahan
Nasional. Bukan tidak mungkin pula, pemerintahan yang baik dengan berdasar pada
nilai siri’ akan terwujud.