Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Senin, 07 April 2014

Budaya dari Meja Makan


Sengkang, 12 September 2013. Saat makan malam di rumah, terhidang dua tempat nasi yang salah satunya berisi nasi yang sudah dingin dan yang lainnya berisi nasi yang masih panas. Seketika ingatanku kembali pada tahun 2011 silam pada saat makan di rumah seorang seniorku di Himapem yang bernama Ahmad Heri Siswanto (Kak Iswan) di Kabupaten Enrekang. Pada saat itu juga terhidang dua jenis nasi masing-masing di tempat yang berlainan. Satunya nasi dingin dan satunya lagi nasi panas. Pesan yang masih melekat di ingatanku pada saat itu dari beliau adalah “Jangan dahulukan makan nasi panas dari pada nasi dingin”. Konon itu adalah “pamali” dari leluhur. Jadi, ketika di meja makan ada nasi panas dan nasi dingin, jika ingin makan kedua-duanya, dahulukan nasi dingin daripada nasi panas. Pesan moril yang konon terkandung dari pamali tersebut adalah jangan sampai panas dulu baru dingin. Panas yang dimaksud disini adalah dalam keadaan emosional atau temperamental. Jika terlanjur marah atau temperamental maka pantang untuk menyerah atau mundur. Panas dulu baru dingin itu diibaratkan seseorang yang cepat marah (tempramen) tetapi kemudian cepat pula menyerah. Kondisi ini tentu saja pantang bagi “Lelaki Bugis” yang jika sudah terlanjur marah maka harus menuntaskan kemarahannya. Dalam kondisi perkelahian misalnya, seorang laki-laki Bugis jika terlanjur marah maka harus diselesaikan dengan pertumpahan darah. Prinsipnya, “Sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke pantai”,  “Sekali badik terhunus dari sarungnya, pantang disarungkan kembali sebelum berdarah”. Nilai-nilai ini terjalin dengan begitu kompleks dalam budaya siri’.

Perkara yang sebenarnya cukup mengerikan, seketika menjadi sesuatu yang sangat menarik untuk dipikirkan di meja makan. Bagaimana hal-hal yang begitu kompleks disosialisasikan secara sederhana di meja makan. Seketika pula pikiran liar tentang nasi panas dan dingin, pamali dan budaya siri’ menggiring ingatanku pada salah satu pamali lain di meja makan yang dari dulu diajarkan kepadaku. Mungkin manusiawi jika berhadapan dengan makanan enak kita sering lupa berhenti makan. Alhasil, perut sudah kekenyangan dan tidak nyaman khususnya ketika mengenakan celana yang berkancing. Pada saat seperti inilah pilihan untuk melepas kancing celana untuk memberi ruang bagi perut agar dapat terus menampung makanan yang lagi nikmat-nikmatnya di lidah. Inilah yang dianggap “pamali” oleh leluhur masyarakat Bugis, “dilarang membuka kancing celana pada saat makan”. Membuka kancing celana pada saat makan konon katanya membuat seseorang gampang menyerah. Tentu saja sifat gampang menyerah sangat bertentangan dengan nilai juang masyarakat Bugis dalam prinsip “sekali layar terkembang, pantang biduk surut kepantai”.

Makan malam pun selesai, mulut berhenti mengunyah dan perut mulai bekerja lebih lanjut untuk mencerna makanan. Demikian pula indra telah berhenti menstimulus ingatan melalui citra di meja makan tetapi otak terus bekerja memikirkan citra pamali dan budaya siri’ yang muncul dalam ingatan. Begitu kompleks budaya yang disusun oleh leluhur untuk mentransformasikan nilai-nilai bahkan sampai dimeja makan. Dalam kasus nasi dingin dan nasi panas, pamali itu bisa bertujuan ganda. Disamping bermanfaat agar nasi dingin yang masih tersisa dihabiskan terlebih dahulu supaya tidak mubazir, juga bermanfaat sebagai peneguh nilai siri’ yang menjadi tulang punggung budaya masyarakat Bugis. Begitu pula dengan pamali membuka kancing celana pada saat makan. Disatu sisi, pamali ini bermanfaat bagi kesehatan karena memang makan berlebihan itu tidak baik bagi kesehatan. Namun disisi lain, juga memiliki pesan moral agar seseorang tidak gampang menyerah dalam kehidupan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
 
Blogger Templates