Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Jumat, 12 April 2013

Dilema Etika



Ada rasa bimbang setelah menonton film “Warriors of the Rainbow Seediq Bale  tentang hakekat pembangunan sumber daya manusia. Film yang dibuat berdasarkan kisah nyata tersebut menggambarkan kehidupan salah satu suku pedalaman di Taiwan pada masa penjajahan Jepang. Di bagian awal film digambarkan tradisi berburu yang sudah turun temurun dilakukan oleh masing-masing suku. Kejadian yang dramatis diawal cerita yaitu ketika terjadi perang antar suku yang disebabkan karena klaim daerah perburuan. Perang tersebut meninggalkan kesan bahwa suku-suku pedalaman yang hidup dihutan masih terkesan “bar-bar/biadab” menurut pandangan umum.
Seorang lelaki dari setiap anggota suku hanya berhak mendapatkan tato tanda dia telah menjadi “kesatria pelangi” apabila telah berhasil memenggal kepala musuh. Tradisi seperti itu dibangun dengan filosofi dasar “keberanian” sebagai landasan utama kehidupan para lelaki dari setiap suku.  Hanya lelaki yang pemberani yang dapat bergabung dengan para leluhurnya di surga yang mereka anggap berada di ujung pelangi. Itulah mengapa para lelaki yang mendapat tato kesatria menamai diri mereka dengan kesatria pelangi (seediq bale).
Fase kehidupan mereka berubah segera setelah Jepang masuk dan menjajah mereka. sempat terjadi perlawanan sebelum Jepang akhirnya mengalahkan mereka. Untuk menghindari perlawanan, para pimpinan suku dibawa ke Jepang dan diperlihatkan bagaimana kuatnya kekuatan militer Jepang. Perlawanan kepada Jepang hanya akan berujung kematian bahkan akan memusnahkan seluruh anggota suku. Pikiran itulah yang dibawa pulang oleh para pimpinan suku sehingga tidak ada keberanian bagi mereka untuk melakukan perlawanan kepada Jepang. Hasilnya, para pemuda dipaksa bekerja membangun “peradaban modern” ditengah hutan. Dengan tenaga-tenaga para lelaki dari setiap suku, Jepang membangun pemukiman modern yang didalamnya terdapat sekolah, rumah sakit, kantor pos, kantor polisi dll. Wanita-wanita dari suku dijadikan pembantu rumah tangga oleh Jepang. Anak-anak kecil dipaksa untuk masuk sekolah dan belajar bahasa Jepang.
Dalam masa penjajahan, sikap orang Jepang sebagai penjajah terbagi dua. Ada sebagian dari mereka yang bersikap baik kepada orang-orang dari suku pedalaman dan sebagian lainnya bersikap kasar dan sombong. Kelompok kedua ini yang lebih dominan dalam kehidupan sehari-hari di pemukiman tersebut. Anak-anak sekolah merasakan adanya diskriminasi antara mereka dengan anak-anak dari Jepang. Para pekerja tidak mendapat gaji yang layak dan setimpal dengan pekerjaannya. Dua orang diantara warga asli yang bekerja di kepolisian Jepang tidak pernah mendapat perlakuan yang adil meskipun mereka yang paling tinggi sekolahnya diantara para polisi Jepang yang bertugas di wilayah tersebut. Kondisi ini membangkitkan rasa benci yang menumpuk dalam diri para anggota suku pedalaman.
Menjelang adegan pemberontakan, terdapat sebuah dialog yang sangat dilematis dalam konteks pembangunan sumber daya manusia. Dialog ini terjadi antara pimpinan dari salah satu suku yang menginisiasi pemberontakan dengan salah seorang anggota suku yang bekerja sebagai polisi Jepang. Polisi Jepang mengawali dialog dengan mengingatkan bagaimana kuatnya kekuatan militer Jepang yang tidak mungkin untuk dilawan. Salah satu pertanyaan yang penting untuk disimak adalah “apa buruknya kita dipimpin oleh Jepang? Bukankah anak-anak kita bisa bersekolah dan menjadi pintar? Bukankah Jepang membangun rumah sakit untuk kita berobat? Bukankah kita tidak lagi harus berperang antar suku?” Semua pertanyaan itu menegaskan bahwa kehidupan anggota suku menjadi lebih beradab dibawah kepemimpinan Jepang. Namun jawaban dari pimpinan suku tersebut juga tidak kalah penting untuk disimak. Kepala suku menjawab dengan kembali bertanya, “apakah dengan itu semua kehidupan kita menjadi lebih baik dari sebelumnya?” Kepala suku melanjutkan dengan mengingatkan filosofi kehidupan suku mereka yaitu “keberanian”. Suku mereka belum pernah dijajah sepanjang sejarah dan ketika mereka dijajah tanpa mampu melawan, mereka ragu apakah mereka masih bisa disebut sebagai seorang seediq bale. Jika mereka tidak melawan mereka ragu apakah mereka masih bisa bergabung dengan roh leluhur mereka di ujung pelangi.
Pilihan yang kemudian dipilih adalah memberontak dan melawan penjajahan dengan konsekuensi apapun. Penyerangan pertama menghasilkan pembantaian secara meluas kepada semua orang Jepang di perkampungan Jepang di pedalaman tersebut namun sialnya ada satu orang yang lolos dan meminta bantuan. Maka datanglah tentara Jepang dengan kekuatan penuh. Suku pedalaman pun tetap melakukan perlawanan sengit dan menunjukkan kualitas perlawanan dimana hanya dengan 300 orang melawan ribuan tentara Jepang. Hal tersebut tentunya menjadi sesuatu yang mengejutkan bagi bangsa Jepang yang menganggap suku pedalaman tersebut sebagai suku liar, bar-bar dan bodoh. Namun di akhir cerita, suku pedalaman semakin terdesak dan sebagian besar pejuang meninggal dalam pertempuran. Sebagian lelaki pejuang dan wanita yang tersissa, memilih bunuh diri dengan cara menggantung diri di pepohonan. Mati lebih terhormat bagi mereka ketimbang harus hidup tertindas atau terjajah. Sebuah konsistensi yang digerakkan oleh semangat transendental akan janji-janji surga diujung pelangi.
Kasus Indonesia
Dizaman modern seperti saat sekaran ini, di Indonesia masih hidup beberapa suku yang masih bertahan dengan tradisinya. Suku-suku tersebut contohnya adalah suku Kajang di Sulawesi Selatan, Suku Dayak Punan dan Ngayu di Kalimantan, Suku Korowai di Papua, dll. Sebagian dari mereka masih hidup dengan cara primitif seperti yang digambarkan dalam film diatas yaitu berburu, berperang antar suku, memenggal kepala bahkan mungkin kanibalisme (informasinya masih belum pasti); sementara sebagian lainnya hidup dengan cara tradisional yaitu belum tersebtuh modernitas tetapi juga tidak primitif.
Menyimak apa yang digambarkan pada ulasan singkat film warriors of rainbow seediq bale kemudian dibandingkan dengan konteks suku-suku primitif maupun tradisional di Indonesia tentu juga akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dilematis. Dilema-dilema yang muncul adalah seputar pembangungan sumber daya manusia bagi suku-suku tersebut. Pertanyaan pertama adalah apakah perlu dilakukan pembangunan sumber daya manusia bagi suku-suku tersebut dalam artian membuat mereka menjadi lebih “beradab”, sementara mereka memiliki standar peradaban yang berbeda. Dari film diatas kita mendapatkan gambaran bahwa nilai tertinggi yang menyusun peradaban mereka adalah keberanian sehingga bangunan kebudayaannya dibawahnya disusun untuk mendukung pencapaian nilai tertinggi tersebut. Jadi beradab menurut mereka ketika mereka melakukan akis-aksi yang berani. Letak dilema pembangunannya adalah disatu sisi suku-suku primitif menganggap diri mereka sudah beradab dan sudah nyaman dengan peradabannya sementara disisi lain pemerintah memandang aktualisasi peradabannya (misalnya memenggal leher musuh) adalah tidak beradab. Penekanan tersebut menegaskan pertanyaan bahwa apakah perlu menginternalisasikan nilai-nilai perdaban pada masyarakat yang sudah memiliku nilai-nilai peradabannya sendiri?
Pertanyaan selanjutnya jika dipandang perlu untuk melakukan pembangunan peradaban masyarakat primitif adalah sejauh mana pembangunan itu dilakukan? Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa pendidikan sebagai instrumen pembangunan sumber daya manusia cenderung menjadikan masyarakat menjadi homogen dalam satu nilai universal. Kita lihat sebelum masa penjajahan, bangsa Indonesia benar-benar heterogen dilihat dari pakaiannya, bahan makanannya dll. Pembangunan kemudian menjadikan bangsa Indonesia homogen dari cara berpakaian, bahan makanan dll.sehingga masyarakat menjadi kehilangan identitas tradisinya. Kenyataan ini yang menjadi dasar pertimbangan dalam kasus pembangunan sumber daya manusia yang masih primitif di Indoensia. Pointnya adalan bagaimana menjadikan mereka beradab tanpa harus membuat mereka kehilangan jati dirinya sebagai sebuah entitas. Jawabannya dapat dibangun dari pertanyaan pokok sejauh mana pembangunan atau internalisasi nilai itu harus dilakukan?
Dua pertanyaan etik yang muncul dari ulasan diatas yaitu pertama apakah harus dilakukan internalisasi nilai-niai peradaban kepada masyarakat yang telah memiliki nilai-nilai peradabannya sendiri? dan kedua adalah jika memang perlu, sejauh mana internalisasi nilai tersebut harus dilakukan agar tidak mengubah jati diri yang has dari sebuah masyarakat?

Kamis, 01 November 2012

Good Governance Mencengkram Dunia

Sumber: http://www.poppydharsono.com
Gambar diatas menunjukkan betapa tidak merdekanya Indonesia dalam bidang energi. Hampir semua wilayah kekayaan migas Indonesia digarap oleh pihak asing khususnya Amerika. Menjadi semakin unik karena gambar yang sangat profokatif ini bersumber dari BPH Migas. Tafsir yang muncul kemudian meyakinkan bahwa ada sesuatu yang salah dengan semua ini. Bangsa Indonesia sendiri sadar akan tidak berdaulatnya dalam bidang migas tetapi seolah-olah tidak mampu berbuat apa-apa menghadapi semua itu. Jawaban paling singkat atas fenomena tersebut yaitu besarnya intervensi asing dalam kebijakan energi di Indonesia.
Salah satu kajian yang bisa memberikan gambaran atas fenomena tersebut yaitu kajian terhadap konsep good governance. Kata yang sudah sangat akrab dengan telinga hampir semua ruang-ruang hidup. Kata yang fasih dilafaskan bahkan oleh orang-orang yang tidak memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi. Pembahasan lebih lanjut tentang good governance ini akan dibahas dengan terlebih dahulu mengungkapkan bagaimana sejarahnya serta adakah pihak yang berkepentingan dengan konsep tersebut. Bagian selanjutnya akan melihat bagaimana penerapannya di Indonesia khususnya dalam masalah kebijakan energi.
Konsep Governance: Tinjauan Sejarah dan Kepentingan
Kata governance dan government merupakan dua kata yang sering sekali dipertukarkan. Banyak ilmuan atau praktisi yang menggunakan kata tersebut secara bergantian pada satu konteks yang sama. disini perlu diperjelas perbedaan antara term governance dan governance. Term Governance menurut kamus Oxford online yaitu: “the action or manner of governing a state, organization, etc”, sedangkan dalam New Webster’s International Dictionary (Pratikno dalam jurnal ilmu sosial dan ilmu politik 2005: 234) mengartikan governance sebagai: ‘act, manner, office, or power of governing’, atau ‘methods of government or regulation’. Kedua definisi tersebut menunjukkan bahwa governance merujuk pada aktivitas dari pemerintah. Sedangkan kata government itu sendiri berarti pemerintah. Jadi government merujuk kepada pemerintahnya sedangkan governance merujuk kepada aktivitas pemerintah.
Jika dirunut sejarah konsep governance dan governent, maka dua definisi kamus di atas terbilang sangat sederhana. Setelah tahun 1980-an kata governance muncul untuk menggantikan kata governing dalam agenda reformasi pemerintahan. Seppo Tiihonen (2004) menggambarkan: “when governing refers to constitued policies of state actors backed by formal authority to use monopolized coercive powers, governance suggest more to activities backed by shared goals that may or may not derive from legal and formal authority.” Kata governance digunakan dalam reformasi pemerintahan dari yang sebelumnya kaku dan formal menjadi lebih fleksibel. Gambaran yang lebih jelas diungkapkan oleh Pratikno (2005) yang disadur dari Pendapat Rhodes mengenai tujuan penggunaan kata governance. Diungkapkan bahwa:
“Istilah government reform, democracy dan sejenisnya, dianggap telah mengalami inflasi dan tidak mampu menarik perhatian untuk menggerakkan semangat reform. Oleh karena itu, diperlukan kemasan baru government reform kali ini berbeda dengan reform yang ada sebelumnya. Istilah governance digunakan untuk menegaskan signifikansi perlunya arah dan semangat baru reformasi pemerintahan. Istilah governance telah digunakan untuk menegaskan signifikansi perubahan proses, metode dan capaian kepemerintahan.”
Paparan Praktikno memberikan gambaran penggunaan term governance dalam reformasi pemerintahan merupakan upaya re-simbolisasi atas term government yang sudah menjadi simbol negatif dalam praktek pemerintahan. Praktek pemerintahan yang negatif disini yaitu praktek pemerintahan yang kaku dan sangat formal diubah menjadi pemerintahan yang lebih fleksibel.
Kronologis transformasi government ke governance terjadi sepanjang abad ke-20 yang secara kronologis berlangsung melalui beberapa tahap. Tahap I adalah era abad ke-20 yang ditandai dengan konsolidasi pemerintahan demokratis (democratic government) di Dunia Barat. Tahap ke II berlangsung setelah Perang Dunia I, yang ditandai dengan semakin menguatnya peran pemerintah. Era ini merupakan masa dimana negara dilihat sebagai kendaraan yang tangguh untuk membawa perubahan sosial dan pembangunan ekonomi.  Tahap ke III, era tahun 1960-1970an, Perhatian dunia barat beralih ke negara-negara dunia ketiga. Era ini adalah saat dimana perluasan proyek developmentalisme (moderenisasi) yang dilakukan oleh dunia barat di dunia ketiga dengan melancarkan pendalaman kapitalisme. Pada saat yang sama, hadir rezim otoritarian di kawasan Asia, Amerika Latin dan Afrika sehingga kapitalisme justru mendukung otoritarianisme. Tahap ke IV memasuki dekade 1980-an, ditandai dengan krisis ekonomi dan finansial negara yang melanda dunia yang mendorong munculnya cara pandang baru terhadap pemerintah. Pemerintah dimaknai bukan sebagai solusi terhadap problem yang dihadapi melainkan justru  sebagai akar masalah krisis, karena itu penyesuaian struktural yang lahir dalam bentuk deregulasi, prifatisasi, dan pelayanan publik yang berorientasi pasar berkembang pesat. Perkembangan isu-isu ini menandakan kemenangan neoliberal yang sejak lama menghendaki peran negara secara minimal, sekaligus kemenangan pasar dan swasta. Pada saat yang sama, rezim-rezim otoritarian mulai runtuh satu persatu melalui gelombang demokratisasi. Tahap ke V adalah era 1990-an dimana demokratisasi (yang sudah dimulai dekade 1980-an) berkembang pesat seantero jagad yang dimotori oleh lembaga-lembaga dunia yaitu IMF dan World Bank (AAGN Ari Dwipayana dan Suroto Eko 2003: 2-6).
Berkembangnya konsep governance berdasarkan uraian sejarah dari Dwipayana dan Suroto tidak terlepas dari dominasi salah satu ideologi dunia yang muncul sebagai pemenang dari perang ideologis di masa lalu. Ideologi kapitalisme dengan wajah baru yaitu neoliberalisme berhasil bertahan dan menjadi ideologi tunggal yang  mencengkram dunia. Ideologi neoliberalisme sebagaimana diungkapkan diatas mengharuskan minimalisasi peran negara dalam bentuk deregulasi, privatisasi dan pelayanan publik yang berorientasi pasar. Ini berarti mengharuskan negara bertransformasi menjadi lebih fleksibel dan konsep demikian sejalan dengan konsep governance yang diungkapkan oleh Seppo Tiihonen.
Meskipun demikian, term governance menjadi populer setelah dipublikasikan secara massif oleh Bank Dunia sejak tahun 1989. Eko Prasojo dan Teguh Kurniawan mengungkapkan:
“Terminologi governance menjadi lebih mengemuka  dengan adanya studi yang dilaksanakan oleh bank dunia pada tahun 1989... Sejak publikasi bank dunia tersebut terminologi governance menjadi populer dan dijadikan sebagai kriteria dalam bantuan pembangunan kepada negara-negara berkembang” (2008:4)
Agresifitas Bank Dunia dalam mengkampanyekan konsep governance ini terlihat dalam penyesuaian kelembagaan sebagai prasyarat untuk mendapatkan bantuan pembangunan. Untuk mendapatkan bantuan dari Bank Dunia, setiap negara harus menyesuaikan tata kelembagaannya berdasarkan kriteria yang dikeluarkan oleh Bank Dunia. Untuk memperlancar transformasi pemerintahan di negara calon penerima bantuan, Bank Dunia mengutus seorang konsultan untuk mengasistensi perubahan tata kelembagaan negara penerima bantuan tersebut. Selain itu, negara-negara tersebut juga berinisiatif mengundang agen-agen Bank Dunia untuk memberikan pelatihan kepada pejabat publik di negaranya masing-masing sebagai langkah penyesuaian kelembagaan.
Penyesuaian kelembagaan yang disyaratkan oleh bank dunia dirumuskan sebagai kriteria good governance. Kriteria kemudian ini dikenal sebagai Washington Consensus karena perumusannya dilakukan di Washington DC oleh tiga lembaga keuangan besar yaitu World Bank, IMF dan Departemen Keuangan Amerika Serikat. Dalam Washington Consensus, pemerintah dikatakan baik apabila memenuhi kriteria berikut:
  1. Disiplin Fiskal
  2. Konsentrasi belanja publik pada barang-barang publik termasuk sektor pendidikan, kesehatan dan infrastruktur
  3. Reformasi perpajakan dengan memperluas basis pajak dengan tarif pajak moderat
  4. Bunga bank yang dikendalikan oleh mekanisme pasar
  5. Nilai mata uang yang kompetitif
  6. Liberalisasi perdagangan
  7. Keterbukaan terhadap infestasi asing
  8. Privatisasi perusahaan negara dan daerah
  9. Deregulasi atau penghapusan regulasi yang menghambat pasar asing atau membatasi kompetensi kecuali yang bisa dibenarkan untuk kepentingan keamanan, lingkungan, perlindungan konsumen atau keperluan pengawasan finansial
  10. Jaminan hukum untuk kepemilikan (Hayami dalam Pratikno, 2005)
Kesepuluh point Washington Consensus diatas semakin memperkuat keidentikan konsep governance  dengan Neo-Liberalisme. Kriteria deregulasi, privatisasi dan mekanisme pasar yang merupakan prinsip dari neoliberalisme dengan jelas tertera dalam kriteria good governance diatas. Jika negara-negara yang membutuhkan bantuan dari Bank Dunia dengan sukarela ataupun dengan terpaksa harus menyesuaikan tata pemerintahannya berdasarkan kriteria good governance dari washington consesus maka berarti juga negara-negara tersebut juga mau tidak mau menerima ideologi neoliberalisme.
Salah satu faktor lain yang menyebabkan konsep governance ini berkembang pesat yaitu dengan adanya hegemoni konsep yang lebih operasional khususnya dalam wacana keilmuan pemerintahan ataupun administrasi publik. Hughes (dalam Pratikno, 2005) mengungkapkan “pada tataran low middle rank theory tentang administrasi publik, gagasan good governance versi ini dikembangkan oleh beberapa gagasan seperti New Public Management, Market Based Public Administration, Entrepreneurial Government, dan sejenisnya. Konsep-konsep tersebut merupakan konsep yang memasukkan logika pasar dalam pengelolaan administrasi publik. Pada umumnya, praktisi maupun akademisi administrasi publik selalu menggunakan kata “sudah” bagi pemerintah yang  menerapkan New Publik Management. Penggunaan istilah “sudah” tersebut menunjukkan sikap pengharapan dan pengagungan bagi konsep New Public Management sebagai konsep ideal pemerintahan. Demikian pula konsep Reiventing Government karya Osborne dan Gablaer yang merupakan konsep utama dalam New Public Manegement telah menjadi kitab wajib yang harus dihafalkan oleh penggiat administrasi publik baik itu dikalangan mahasiswa maupun pegawai-pegawai dalam diklat-diklat pemerintah.
Baik dalam perspektif sejarah, Washington Consesus, dan wacana keilmuan administrasi publik; konsep governance selalu menunjukkan keidentikannya dengan ideologi neoliberalisme. Konsep minimal state, deregulasi, privatisasi, penggunaan mekanisme pasar merupakan konsep yang ditemui di keduanya. Untuk mengetahui pola relasi dari konsep governance dan neoliberalisme maka menjadi penting untuk mengkaji lebih lanjut mengenai ideologi neoliberalisme.
Konsep neoliberalisme menemukan moment yang tepat untuk berkembang. Sebelumnya, di Amerika dan Eropa menerapkan model ekonomi keynesian dimana pemerintah memegang kendali terhadap pasar . Pada da tahun 1973, negara-negara Arab, produsen utama minyak dunia membentuk kartel yaitu OPEK sehingga menyebabkan harga minyak melambung tinggi. Kenaikan harga minyak menyebabkan kenaikan harga-harga dan upah-upah yang berujung pada resesi ekonomi. Disaat seperti inilah para penganut aliran neoliberalisme mengeluarkan kritik kepada kebijakan ekonomi keynesian yang dianggapnya menjadi sumber masalah tersebut.
Tiga point kritikan dari penganut aliran neoliberalisme kepada aliran keynesian yaitu: pertama, intrevensi negara menghalangi ekonomi pasar untuk berfungsi sebagaimana mestinya. Selain itu mereka menyatakan bahwa peningkatan belanja publik Keynesian dianggap menciptakan terlalu banyak demand, dan karenanya menjadi sebab timbulnya inflasi yang meluas. Kedua, kelompok penganut neoliberalisme menggugat program-program kesejahteraan dan welfare state yang ditawarkan oleh kebijakan keynesian karena dianggap sebagai bentuk ketidakadilan. Ketiga, pengagungan terhadap pasar. Setelah melakukan kritik terhadap fondasi kebijakan ekonomi keynesian, kelompok neolieralisme menekankan arti penting pasar bagi penciptaan kesejahteraan umat manusia (Budi Winarno, 2009: 88-90).
Point pertama kritikan neoliberalisme terhadap keynesian menghasilkan prinsip minimal state yaitu mengurangi peran dan belanja negara. Untuk itu, privatisasi menjadi pilihan yang dilakukan oleh Reagan dan Thatcher sebagai pendukung neoliberalisme terhadap fungsi-fungsi atau lembaga negara. Prinsip kedua menekankan pada pengurangan subsidi kepada masyarakat miskin. Sedangkan prinsip ketiga yaitu penerapan mekanisme pasar dalam urusan pemerintahan. Penerapan prinsip-prinsip neoliberalisme pada masa kepemimpinan Reagan dan Thatcher ternyata berdampak positif dan menyelamatkan Amerika dan Inggris dari depresi ekonomi bahkan mengantarkan kedua negara tersebut menjadi negara yang paling mulai saat itu. Pengurangan pajak yang merupakan salah satu point dalam neoliberalisme berhasil mendorong pertumbuhan perusahaan-perusahaan di kedua negara tersebut dalam skala besar-besaran yang saat ini dikenal sebagai perusahaan multinasional atau transnasional.
Keberhasilan neoliberlisme di kedua negara tersebut mendorong mereka untuk memperjuangkan liberalisasi dan perdagangan bebas dunia. Didukung oleh para pengambil kebijakan di lembaga-lembaga dunia (GAAT/WTO, IMF, dan Bank Dunia) serta pengambil kebijakan publik di negara-negara maju, pikiran-pikiran kelompok ini menjadi ideologi dominan dalam usahanya menciptakan liberalisasi perdagangan dan investasi di seluruh dunia (Budi Winarno, 2009:93). Senjata ampuh yang mereka ciptakan adalah Washington Consensus sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, dan alat ampuh yang mereka manfaatkan dan rekayasa adalah globalisasi.
Globalisasi merupakan sebuah fenomena yang multi perspektif. Oleh karena itu globalisasi dapat dimanfaatkan dan direkayasa tergantung pada perspektif yang digunakan. Globalisasi dalam konteks dimanfaatkan merujuk pada globalisasi dalam perspektif perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang telah masuk sangat dalam ke setiap dimensi kehidupan sehingga menghubungkan semua manusia dalam sebuah komunitas global tanpa batas. Globalisasi dalam konteks direkayasa yaitu dalam perspektif pemaksaan yang dilakukan oleh bank dunia agar negara-negara penerima bantuan membuka pasarnya untuk komunitas global. Sehubungan dengan rekayasa globalisasi ini, Thahtcher sendiri menggunakan istilah TINA, kepanjangan dari There is No Alternative – tidak ada pilihan lain (dalam Amin Rais, 2008:17). Lebih lanjut, Amin Rais (2008) menjelaskan:
 “Maksudnya, tidak ada alternatif lain bagi globalisasi; bagi WTO; World Bank, dan IMF; bagi ekonomi pasar bebas; bagi kapitalisme; bagi kuasa koorporasi; bagi monopoli media yang telah di merger; bagi hegemoni politik dan supremasi ekonomi barat. Tidak Ada Alternatif Lain bagi itu semua. Semua negara harus memahami dan menyesuaikan diri dengan TINA tersebut.”
Penekanan Thacher dan penjelasan Amin Rais menunjukkan betapa kuatnya pengaruh kaum neoliberalisme dalam merekayasa globalisasi sehingga tidak bisa tidak semua negara harus mengaminkan globalisasi yang mereka kreasi.
Menurut George A. Steiner dan Jhon F. Steiner (dalam Budi Winarno 2009:30-31), globalisasi yang berjalan cepat di saat ini di dorong oleh tiga kekuatan yaitu: pertama, produk nasional kotor tumbuh dan meningkat dengan cepat terutama di negara-negara maju. Kedua: revolusi dalam teknologi komunikasi dan ketiga: kekuatan-kekuatan yang mempermudah munculnya perusahaan – perusahaan besar berskala global seperti modal-modal besar, pasar-pasar tidak tetap, perkembangan ilmu manajemen dll. Dari poin pertama, kita dapat mengetahui kepentingan besar yang bermain dalam rantai besar neoliberalisme, globalisasi dan governance. Ketika perusahaan-perusahaan lokal di negara-negara maju berlomba-lomba untuk memproduksi barang dan jasa dalam skala besar-besaran sedangkan target pasar dalam negerinya kurang yang disebabkan karena jumlah penduduknya sedikit maka diperlukan pangsa pasar baru yang lebih luas yaitu dunia Internasional. Untuk tujuan itu, perusahaan-perusahaan tersebut melalui corong pemerintah dan lembaga-lembaga dunia dengan gencar mempromosikan satu paket ideologi beserta konsep praktisnya lengkap dengan medianya. Satu paket yang dimaksud yaitu ideologi neoliberalisme, konsep praktisnya dalam pemerintahan berupa good governance dan medianya yaitu globalisasi.
Dalam bagian sebelumnya telah dipaparkan bahwa untuk mendapatkan bantuan dari Bank Dunia ataupun lembaga-lembaga donor Internasional lainnya, negara calon penerima bantuan harus menerima asistensi  dari agen atau konsultan yang di utus oleh lembaga internasional tersebut. Konsultan inilah yang menjadi aktor utama yang memastikan kepentingan-kepentingan Amerika Serikat ataupun koorporasi besar di Amerika bisa diinjeksikan ke negara-negara penerimaa donor lembaga Internasional. Pengakuan Jhon Perkins, mantan konsultan dari Amerika Serikat menunjukkan bagaimana mekanisme kerja mereka dalam memuluskan kepentingannya. Budianto Shambazy (dalam Jhon Perkins, 2007):
“Tugas pertama Jhon Perkins adalah membuat laporan-laporan fiktif untuk IMF dan World Bank untuk mengucurkan utang luar negeri kepada Negara-Negara Dunia Ketiga. Tugas kedua Perkins membangkrutkan negara penerima utang. Setelah tersandra oleh utang yang menggunung, negara pengutang agar, misalnya, mendukung pemerintah AS dalam voting di Dewan Keamanan PBB. Bisa juga negara pengutang dipaksa menyewakan lokasi untuk pangkalan militer AS. Sering terjadi korporatokrasi memaksa pengutang untuk menjual ladang-ladang minyak mereka kepada MNC (Multi Nasional Corpopration) milik negara-negara barat.”
Apa yang digambarkan Budianto Shambazy  dalam pengantar buku yang ditulis sendiri oleh Jhon Perkins ini menunjukkan bagaimana cara negara-negara maju memaksakan kepentingan mereka kepada negara-negara dunia ketiga. Cara kerja mereka ini tidak ubahnya seperti penjajahan di masa kolonial tetapi dengan cara-cara yang lebih elegan. Lebih lanjut, Jhon Perkins (2004) sendiri mengakui:
“Itulah kami para EHM upayakan dengan sebaik-baiknya: kami membangun kekuasaan global. Kami adalah sekelompok laki-laki dan perempuan elit yang memanfaatkan organisasi keuangan internasional untuk menimbulkan kondisi yang menyebabkan bangsa-bangsa lain tunduk pada corporatocracy yang menjalankan korporasi kami yang paling besar, pemerintah kami dan perbankan kami. Seperti rekan sejawat kami di mafia, para EHM bermurah hati. Ini berbentuk pinjaman untuk mengembangkan infrastruktur – pembangkit tenaga listrik, jalan raya, pelabuhan, bandar udara, atau kawasan industri. Sebuah syarat pinjaman semacam itu adalah perusahaan rekayasan dan konstruksi dari negara kamilah yang mesti membangun semua proyek itu. Pada hakiktanya, sebagian besar uang itu tidak pernah meninggalkan Amerika Serikat; uang itu hanya di transfer dari perbangkan di Washington ke kantor bagian rekayasa di New York, Houston atau San Fransisco.”
Para mafia atau Economic Hit Men (EHM) berdandan dengan cantik dalam bahasa agen atau konsultan dari lembaga-lembaga internasional. Tugas mereka pun didandani dengan bahasa asistensi atau penataan struktur padahal yang terjadi sebenarnya adalah lobi atau lebih tepatnya pemaksaan kehendak pemerintah dan korporasi AS untuk menyuntikkan kepentingannya di negara-negara penerima donor yang ternyata lebih tepat disebut sebagai pinjaman. Jhon Perkins sebagai mantan EHM menunjukkan kepada dunia bagaimana mekanisme yang digunakan dalam pemberian pinjaman luar negeri hanya menguntungkan negara AS dan korporasinya, sebaliknya merugikan dan mencekik negara yang menerima pinjaman.
Jika hasil kajian ini digunakan untuk kembali melihat point-point good governance yang dirumuskan dalam Washington Consensus maka akan menjadi jelas kepentingan apa dan siapa yang melandasi setiap rumusan tersebut. Point kedua misalnya yaitu konsentrasi belanja publik pada barang-barang publik termasuk sektor pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Point ini landasan ideologisnya yaitu neoliberalisme yang sangat alergi dengan subsidi kepada masyarakat miskin dengan dalih untuk mengurangi laju inflasi, untuk itu belanja publik disarankan dialihkan pada barang-barang publik misalnya pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Kepentingan dari poin ini, seperti yang di gambarkan Perkins yaitu agar perusahaan-perusahaan mereka yang bergerak dalam jasa tersebut mendapatkan proyek pembangunan di negara-negara penerima bantuan melalui lobi EHM. Begitu pula dengan point-point yang mengharuskan negara calon penerima pinjaman untuk membuka pasarnya bagi dunia intrenasional, menerima infestasi asing, dan mereformasi pajaknya tidak lain dilandasi oleh ideologi neoliberalisme yang mengagungkan pasar dan kepentingan memperluas pemasaran produk dalam negeri mereka yang sudah membludak dan tidak mampu lagi di serap oleh pasar lokalnya serta kepentingan memperluas cengkraman perusahaan multinasional mereka di negara-negara dengan upah pekerjanya lebih murah.
Untuk kepantingan yang lebih jauh yaitu memastikan pinjaman yang diberikan kepada negara-negara penerima pinjaman digunakan secara efektif, Bank Dunia maupun lembaga-lembaga internasional lain mengeluarkan azas-azas good governance yang berupa transparansi, akundabilitas, partisipasi, demokrasi, kepastian hukum dll. Azas-azas tersebut juga tidak terlepas dari muatan kepentingan. Transparansi dan akuntabilitas dimaksudkan agar penggunaan dana yang diberikan tidak disalahgunakan seperti di korupsi karena juga merugikan negara-negara pendonor. Azas kepastian hukum juga dimaksudkan untuk menjamin keamanan anak perusahaan mereka di negara tempat mereka berinfestasi. Begitu pula azas demokrasi dimaksudkan karena negara dengan pemikiran masyarakatnya yang terbuka lebih mudah dipengaruhi untuk menerima ideologi yang mereka sosialisasikan. Hal tersebut semakin mudah dilaksanakan pada masyarakat demokratis dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan yang masih rendah karena masyarakat yang demikian akan dengan mudahnya direkayasa pandangannya untuk menyetujui ideologi tertentu.
IMPLEMENTASI Governance di Indonesia
Konsep governance di dunia telah merasuki pemerintahan Indonesia baik secara koseptual maupun secara kontekstual. Membahas sedemikian banyank konsep tersebut tentu membutuhkan waktu dan kajian yang lebih intens. Untuk itu tulisan ini hanya akan memfokuskan implementasi governance di Indonesia dalam aspek keterbukaan terhadap modal asing berdasarkan kriteria good governance dari bank dunia.
Prinsip keterbukaan terhadap infestasi asing telah mendapatkan legitimasi dalam bentuk Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UUPMA) dan beberapa UU lain seperti UU Migas. Masing-masing undang-undang ini sendiri sejak perumusan sampai penetapannya banyak menuai protes dan penolakan dari masyarakat di seluruh Indonesia. Berbagai argumen dan kiritik telah diberikan kepada pemerintah dan DPR untuk tidak mengesahkan undang-undang tersebut seakan menjadi angin lalu bagi lemabaga pemerintah tersebut. Hal ini semakin menguatkan indikasi bahwa undang-undang ini merupakan titipan dari pihak asing.
Dampak nyata dari prinsip keterbukaan terhadap infestasi asing ini dapat dilihat pada kolom fokus dalam harian kompas (Jumat, 2 Novermber 2012: 34) yang membahas penguasaan energi oleh pihak asing. Berdasarkan data yang bersumber dari BP Migas per Mei 2012, PT Freeport Indonesia dan PT Newmont yang merupakan perusahaan milik Amerika Serikat merupakan yang paling banyak menguasai sumber energi di Indonesia. Perusahan asing lainnya diantaranya berasal dari Inggris (British Petroleum), Prancis (Total), Norwegia (State Oil), Italia (ENI), dll. Penguasaan perusahaan AS dan negara lainnya mencapai 70-80%  atas energi dan sisanya dikuasai oleh Pertamina dan Perusahaan dalam Negeri. Kerugian Indonesia dari kondisi ini ditafsirkan oleh berbagai pengamat mencapai ratusan triliun.
Kerugian yang diungkapkan para pengamat dalam jumlah ratusan triliun bukanlah kerugian besar jika dibandingkan dengan kerugian dari perspektif kedaulatan bangsa. Kembali menengok sejarah, kedaulatan bangsa dibayar dengan harga yang sangat mahal yaitu penderitaan akibat penjajahan selama 350 tahun disertai dengan hilangnya ribuan nyawa dalam upaya mencapai dan mempertahankan kemerdekaan. Penguasaan secara massif sumber-sumber energi di Indonesia merupakan sebuah bentuk penjajahan baru dengan metode yang lebih lembut. Ketidakberdayaan pemerintah dalam menghadapi masalah ini merupakan sebuah gejala pelapukan fungsi negara. Negara ada tapi tidak berdaya. Itulah yang terjadi dalam konteks penguasaan sumber daya energi yang akarnya bersumber dari konsep keterbukaan terhadap infestasi asing.
Dimata bank dunia, pemerintahan seperti ini dianggap pemerintahan yang baik berdasarkan kriteria good governance-nya.  Namun perlu direfleksi kembali apakah negara itu baik jika membiarkan rumahnya dirampok oleh orang lain? Apakah masih bisa dikatakan negara jika kedaulatannya sudah tidak ada? Jawabannya jelas tidak. Penjelasannya menggunakan konsep negara yang terdiri dari unsur penduduk, lokasi, pemerintah dan kedaulatan. Dari konsep ini menggambarkan bahwa negara, pemerintah dan kedaulatan merupakan satu paket yang berarti jika tidak ada kedaulatan maka tidak ada negara dan jika tidak ada negara maka tidak ada pemerintah.  Dari titik ini konsep good governance menunjukkan kecacaatan epistemologinya. Prinsip penalaran meniscayakan non-kontradiksi dalam sebuah realitas. Tidak mungkin sesuatu ada dan tiak ada sekaligus dalam sebuah ruang dan waktu yang bersamaan. Begitu pula konsep negara dalam kriteria good governance pada contoh kasus diatas menunjukkan bahwa negara dikatakan baik berdasarkan konsep good governance jika kedaulatannya tidak ada. Ini berarti menganggap pemerintah baik jika tidak ada. Sungguh sebuah konsep ketatanegaraan yang irasional.
Meskipun konsep governance terbukti cacat epistemologi dan hanya merupakan konsep penjajahan baru tetapi menjadi pertanyaan kemudian mengapa pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa? Berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya, dua jawaban yang mungkin ditemukan yang pertama pada konsep NITA dari Tatcher yang mendeklarasikan bahwa tidak ada pilihan lain bagi negara-negara kecuali tunduk pada mekanisme global yang sedang berlangsung. Kedua, peran Economic Hit Man yang berhasil melobi pimpinan-pimpinan pemerintahan entah dengan cara sukarela atau pemaksaan. Sukarela disini berarti dengan menawarkan keuntungan-keuntungan pribadi atau sebaliknya pemaksaan yang dapat berupa ancaman kepada pemimpin pemerintahan ataupun organisasional dalam hal ini rezim atau negara.
Kesimpulan
Sejarah govenance tidak dapat dipisahkan dari perkembangan neoliberalisme dan globalisasi. Puncak perkembangannya terjadi mulai tahun 1980-an yaitu pada masa kepemimpinan Reagan di Amerika dan Thatcher di Inggris. Proses kerja ketiganya yaitu basis neoliberalisme menjadi basis ideologi dan wacananya, governance menjadi metode taknisnya dalam pemerintahan dan globalisasi merupakan medianya. Perjalanan sejarahnya juga menunjukkan dengan jelas siapa yang paling diuntungkan dari proses globalisasi yang menyebarkan ideologi neoliberalisme dan governance. Adalah perusahaan-perusahaan multinasional yang paling banyak diuntungkan dari proses perjalanan sejarah dunia yang cenderung berjalan unipolar ini. Perusahaan-perusahaan multinasional tersebut menggunakan pemerintah Amerika Serikat dan lembaga-lembaga internasional sebagai corongnya dalam mencengkram dunia. Indonesia merupakan salah satu negara yang menjadi santapan empuk dari proses perjalanan sejarah tersebut. Bukti faktual dari sektor pertambangan menunjukkan ketidakberdayaan pemerintah Indonesia keluar dari pusaran global tersebut. Nampak dengan sangat jelas siapa yang memegang kendali pertambangan di Indonesia pada saat ini. Yang terjadi sekarang hanyalah akumulasi dari penjajahan halus melalui hegemoni konseptual yang telah lama berjalan. Konsep itu didandani dengan cantik dalam wujud “governance”.
Rujukan:
Dwipayana, AAGN Ari dan Sutoro Eko (Eds). 2003. Membangun Good Governance di Desa. Yogyakarta: IRE Press.
Prasojo, Eko dan Teguh Kurniawan.  2008. Reformasi Birokrasi dan Good Governance: Kasus Best Practice dari Sejumlah Daerah di Indonesia. http://staff.ui.ac.id/
Pratikno. 2005. “Good Governance dan Governability”dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol 8, No. 3, 231-352. http://jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.id/
Perkins, Jhon. 2005. Confession of Economic Hit Man. Jakarta: Abdi Tandur
Perkin, Jhon. 2007. Bandit Ekonomi; Kelanjutan Kisah Petualangannya di Indonesia dan Dunia Ketiga. Jakarta: Ufuk Press.
Rais, Muhammad Amin. 2008. Agenda Mendesak Bangsa; Selamatkan Indonesa!. Yogyakarta: PPSK Press.  http://books.google.co.id/
Suhartono dan Anton Sanjoyo. “Penguasan Energi: Ketika AS Menguasai Sumber EnergiKompas.     2 November 2012. Hal. 34
Tiihonen, Seppo.  2004. From Governing to Governance. Tampere: Juvenes Print. http://books.google.co.id/

Winarno, Budi. 2009. Pertarungan Negara Vs Pasar. Jakarta: Media Presindo

Rabu, 24 Oktober 2012

Telaah Buku Membunuh Indonesia

Ide menulis resensi buku membunuh Indonesia tiba-tiba muncul sore ini didasari sebuah peristiwa ringan di kamar kost. Penulis secara spontan menegur teman kost karena membawa rokoknya masuk ke dalam kamar ketika ingin mengambil koran hari ini untuk dibacanya. Seketika peristiwa itu mengingatkan penulis akan sebuah buku yang pernah dibahas dalam sebuah acara Bedah Buku yang dilaksanakan oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu Pemerintahan. Acaranya meninggalkan kesan tersendiri bagi penulis selain karena temanya yang menarik juga karena pada saat itu penulis didadak menjadi panelis semalam sebelum diskusinya dimulai. Menjelang magrib tiba-tiba panitia pelaksana datang ke tempat penulis membawakan sebuah buku berjudul “Membunuh Indonesia” dan meminta kesediaan penulis menjadi salah satu panelis untuk kegiatan yang akan dilaksanakan keesokan paginya.
Berlatar kejadian menarik itu, seharusnya dapat dimengerti jika resensi buku tersebut tidak begitu baik disajikan dalam tulisan ini. Faktor lain yang membuat informasi dalam tulisan ini cukup terbatas karena penulis hanya mengandalkan ingatan atas bacaan buku tersebut mengingat buku yang dimaksud berada cukup jauh dari Jogja untuk bisa dibuka kembali.
Buku Membunuh Indonesia ini merupakan buku yang isinya tentang ekonomi politik dalam konspirasi menghancurkan kretek Indonesia. Pada bab awal digambarkan bagaimana kekuatan politik bangsa asing (red: bangsa kapitalis) “menghabisi” produksi-produksi unggulan Indonesia seperti kelapa sawit, jamu dll. Media pengancur yang digunakan adalah lembaga-lembaga penelitian dan badan-badan Internasional yang mengeluarkan standar kelayakan atau kesehatan suatu obat dan makanan. Untuk lebih mempermudah pemahaman, dapat dicontohkan bagaimana produk dalam negeri biasanya dilarang beredar dipasaran jika tidak mendapat izin dari BPOM.
Produksi kelapa sawit misalnya, dihancurkan dengan publikasi hasil riset yang menyimpulkan bahwa minyak yang dihasilkan oleh kelapa sawit Indonesia mengandung kolesterol yang tinggi sehingga berbahaya bagi kesehatan. Begitu pula jamu-jamu yang diproduksi di Indonesia belum memenuhi standar higenitas. Hasil riset tersebut kemudian menyebabkan kelapa sawit dan jamu produksi Indonesia menjadi tidak laku di pasar internasional dan secara otomatis mematikan produksi-produksi lokal.
Pada bab selanjutnya dijelaskan sejarah rokok dan sejarah kretek di Indonesia. Rokok menurut sejarahnya masuk ke Indonesia pada zaman kolonial belanda. Produksi tembakau di Indonesia yang melimpah membuat VOC yang memang merupakan perusahaan dagang tertarik mengembangkan industri rokok di Indonesia. Ketersediaan bahan baku ditambah upah pekerja murah menjadi faktor utama yang mendorong terwujudnya industri rokok di Indonesia. Hasil industri tersebut awalnya dipasarkan di pasaran Internasional. Pada saat itu, warga pribumi belum dibolehkan untuk merokok sampai terjadi resesi yang mengakibatkan keterputusan akses ke pasar Internasional. Dengan produksi yang melimpah dan pasar yang kurang, akhirnya pemerintah belanda membolehkan warga pribumi untuk merokok. Pada saat itulah rokok mulai tersebar dan membudaya di sepanjang nusantara. Budaya merokok terekspresikan berbeda di berbagai daerah di Indonesia, salah satunya dalam kultur masyarakat Bugis kita kenal istilah ico’ untuk sebutan terhadap rokok.
Industri rokok di Nusantara sendiri telah melalui berbagai tantangan masa resesi ekonomi dan terbukti masih bisa bertahan hidup hingga saat ini. Karena itulah WS Rendra, sang burung merak, sangat memuji Industri rokok sebagai model ideal kemandirian perekonomian di Indonesia. Betapa tidak, Industri ini mulai dari bahan baku, produsen dan konsumen semuanya ada dalam negeri. Tembakau sebagai bahan baku tersedia melimpah di Indonesia, pabrik-pabrik pembuatan rokok juga masih mampu bertahan dan terus memproduksi rokok dan ditambah lagi konsumen paling besar dari rokok itu sendiri adalah bangsa kita sendiri.
Dalam bab lain dalam buku Membunuh Indonesia diulas sejarah tentang kretek, mengapa kretek disebut sebagai rokok asli Indonesia. Kretek menjadi khas karena adanya bahan campuran selain dari tembakau yaitu cengkeh. Menurut sejarahnya, racikan rokok kretek itu tidak sengaja ditemukan oleh seorang petani. Pada mulanya petani tersebut mengalami sakit dibagian dadanya. Rasa sakitnya itu diobati dengan menggosokkan minyak cengkeh kedadanya. Walhasil, rasa sakit di dadanya berkurang. Akhirnya dia coba mengoleskan minyak cengkeh tersebut pada rokok dan dihisap asapnya sehingga sakit dadanya pun sembuh. Racikan itulah yang kemudian dikenal dengan isitilah kretek. Mengenai penamaannya sendiri mengapa disebut kretek karena kretek itu dianggap menyerupai bunyi tembakau yang trebakar, bunyinya kretek..kretek.. Dari situlah nama kretek digunakan untuk menyebut rokok yang berbahan campuran cengkeh.
Dalam perkembangan selanjutnya, rokok kretek yang berkembang di Indonesia mendapatkan pesaing baru dalam dunia bisnis rokok khususnya oleh perusahaan rokok putih yang sudah dapat digolongkan sebagai Multi National Corpration. Perebutan lahan bisnis oleh perusahaan rokok ini dinilai sudah tidak sehat. Pengusaha rokok putih yang berbasis di USA mendapat dukungan pemerintahnya melalui pembatasan peredaran rokok kretek di negaranya melalui bea pajak impor yang sangat tinggi. Berbeda halnya di Inonesia yang justru sebaliknya, tren bea impor semakin menurun. Pola persaingan lain yang dilakukan oleh pengusaha rokok putih yaitu, sebagaimana dijelaskan diawal, menggunakan legitimasi penelitian untuk menunjukkan secara ilmiah bahwa rokok kretek mempunyai kadar yang melebihi standar aman untuk dikonsumsi.
Selain rokok putih, lawan dari rokok kretek adalah kampanye anti rokok. Penelusuran yang disajikan dalam buku ini mengungkapkan perusahaan-perusahaan yang menyokong usaha-usaha publikasi kampanye bahaya merokok. Perusahaan-perusahaan yang dimaksud salah satunya adalah perusahaan yang memproduksi obat yang digunakan dalam rehabilitasi pecandu rokok. Kampanye bahaya merokok tentunya bakal merugikan perusahaan rokok dan pastinya menguntungkan perusahaan obat rehabilitasi perokok tadi.
Konteks ekonomi politik dalam pertarungan antara rokok putih dan rokok kretek dan antara perusahaan rokok dengan perusahaan obat rehabilitasi disimpulkan oleh para penulis buku Membunuh Indonesia sebagai sebuah usaha untuk mematikan perekonomian lokal Indonesia. Dampak yang digambarkan akan terjadi jika konspirasi penghancuran rokok kretek di Inodonesia terus berlanjut adalah matinya perusahaan rokok kretek Indonesia yang akan mengakibatkan ribuan pekerjanya mulai dari petani tembakau sampai buruk pabrik akan kehilangan lapangan pekerjaan. Selain itu, pemasukan negara akan berkurang besar mengingat pemasukan dari sektor pajak rokok tergolong sangat besar. Secara umum, disimpulkan bahwa mematikan usaha kretek di Indonesia berarti Membunuh Indonesia.

Telaah Kritis
Buku Membunuh Indonesia ini merupakan buku yang sangat profokatif. Hal tersebut dapat terlihat dari model penyusunan bukunya yang pada bagian awal menceritakan bagaimana produksi-produksi lokal di Indonesia dimatikan secara sistematis oleh konspirasi Intrenasional. Bagian awal inilah yang dapat menyentil sentimen Nasionalisme kita dana menjadikannya perspektif dalam membaca bagian-bagian selanjutnya. Luapan kemarahan kita kepada bangsa-bangsa atau perusahaan-perusahaan asing itulah yang menjadi landasan dalam menikamati paparan data dan sejarah yang disajikan dalam bahasan-bahasan selanjutnya.
Perlu menjadi perhatian kita bahwa emosi terkadang mereduksi akal sehat kita, menjadikan kita tidak objektif dalam melihat persoalan yang sebenarnya. Konteks itu yang coba dibangun dalam struktur buku ini. Namun sebagau bahan refleksi, patut dipertanyakan, apakah rokok sama dengan produksi-produksi Indonesia yang dipaparkan di awal pembahasan? Jawabanya sama dalam beberapa hal tetapi sangat berbeda dalam hal yang lain. Minyak kelapa sawit misalnya, dari segi perekonomian dan ketersediaan lapangan kerja kita dapat mengatakan bahwa keduanya sama tetapi dalam konsteks kebutuhan akan kedua barang tersebut menjadi sangat berbeda. Minyak kelapa adalah bahan yang penting dalam kehidupan sehari-hari. Indikatornya adalah minyak kelapa termasuk dalam satu dari sembilan bahan pokok sedangkan rokok tidak.
Hal lain yang perlu dipikirkan kembali setelah membaca buku ini adalah pola hegemoni dalam persaingan antara rokok putih dan rokok kretek. Jika rokok putih menggunakan kekuatan publikasi hasil riset yang menguntungkannya, maka tidak menutup kemungkinan rokok kretek yang juga menggunakan metode hegemoni yang lain dengan muatan tema yang lain. Buku mempunyai potensi yang cukup hebat sebagai media sosialisasi rokok kretek dengan memanfaatkan isu ekonomi politik dan sentimentil nasionalisme.

Wallahuallam bishawab..

Catatan Ngawur [Yogyakarta, Selasa, 23 Oktober 2012]

 
 
Blogger Templates