Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Selasa, 08 April 2014

Menjadikan Nilai Siri’ sebagai Etika Pemerintahan


Jika tut wuri handayani yang merupakan sebuah kata berbahasa jawa bisa menjadi semboyan resmi institusi pendidikan nasional, dapatkah siri’ juga dijadikan semboyan dalam isntitusi pemerintahan lainnya? Pertanyaan ini menarik dikaji dengan menggunakan perspektif etika pemerintahan.
Dalam kajian etika pemerintahan, sebuah nilai dapat dijadikan sebagai etika publik jika memenuhi nilai universal. Artinya, nilai tersebut tidak hanya dimiliki oleh sekelompok orang ditempat dan waktu tertentu saja. Nilai tut wuri handayani, terlepas dari bagaimana sejarah dan proses internalisasinya, juga terdapat dalam nilai kepemimpinan dalam budaya suku Bugis. Suryadin Laoddang (http://www.sempugi.com) mengemukanan bahwa Puang Ri Maggalatung, Arung Matoa Wajo Ke-IV pernah megajarkan filosofi kepemimpinan dengan prinsip: “monriyolo patiroangngi, monri tengnga paraga-ragai, monri onri paampai’i”.  Prinsip ketiga ini yang dianggap memiliki makna yang sepadan dengan makna tut wuri handayani.
Nilai siri’ juga dapat dikatakan memiliki dimensi universal. Nilai siri’ memiliki makna malu khususnya yang berhubungan dengan harga diri. Nilai malu ini tentunya bersifat universal, yaitu ada di banyak budaya di Indonesia dalam berbagai bahasa. Pepatah “lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup bercermin bangkai” menunjukkan bahwa budaya malu itu telah lama ada dalam budaya Indonesia. Dengan demikian nilai siri’ ini sudah memenuhi salah satu syarat untuk dijadikan sebagai etika publik.
Syarat kedua yang harus dipenuhi untuk menjadi sebuah etika publik adalah harus disetujui oleh semua orang. Untuk mendapat persetujuan tersebut, paling tidak ada dua hal yang penting untuk diperhatikan. Pertama, nilai siri’ ini harus memiliki keutamaan dibandingkan nilai malu dalam budaya lainnya. Kedua, nilai ini harus terlihat secara empiris berhasil diterapkan ditempat satu tertentu.
Institusionalisasi Nilai Siri’
Siri’ merupakan nilai yang esensial dalam budaya masyarakat bugis. Siri’ bahkan dianggap sebagai esensi kemanusiaan. Banyak ungkapan yang menegaskan posisi esensial tersebut diantaranya: : “Naia tau di’e siri’na, De’i lainna olokolo’e” (Orang yang tidak ada siri’nya tidak lain adalah binatang); “Siri’emmitu tariaseng tau; Narekko de’i siri’ta, tannianik tau; Rupa tau mani’ asenna”, (hanya karena siri’ kita disebut manusia; kalau tidak ada siri’, kita bukan manusia, melainkan hanya berwujud manusia). Siri’ dianggap sebagai pembeda antara manusia dengan binatang.
Nilai siri’ memiliki dua dimensi yaitu dimensi personal dan dimensi sosial. Dimensi personalnya yaitu menjadi motif penggerak bagi individu baik yang sifatnya destruktif, maupun sifatnya konstruktif. Nilai siri’ yang sifatnya destruktif berwujud aksi menghilangkan (membunuh) semua yang menganggu siri’ seseorang termasuk menghilangkan dirinya (bunuh diri). Istilah “materi siri’na” dan “mate siri’” sepertinya tepat menggambarkan kondisi ini. Orang yang “materi siri’na” yaitu orang yang mati dalam upaya menegakkan siri’nya. Kematian seperti ini dianggap kematian secara terhormat (“mate ri gollai, mate ri santangi”). Sedangkan orang yang “mate siri’” yaitu orang yang siri’nya sudah hilang dan tak lebih dari mayat hidup. Untuk itu, orang yang merasa mate siri’ karena peristiwa tertentu akan melakukan jallo’ (amuk), hingga mati sendiri. Jallo’ yang demikian disebut napatettongi siri’na,  atau menegakkan kembali siri’nya sehingga dia meninggal dalam keadaan sebagai manusia (Mattulada, 1985: 63; dan Ahimsa, 2007: 63)
Dari gambaran tentang mate ri siri’na  dan mate siri’, nilai siri’ dapat disamakan dengan budaya harakiri di Jepang. Dizaman dahulu, para kesatria Jepang melakukan aksi bunuh diri untuk membayar sebuah kesalahan atau kegagalan dalam menjalankan tugas. Dengan demikian, harga dirinya akan kembali dipulihkan dan mereka pun mati dalam keadaan terhormat. Jika dilihat dari motif tindakannya, keduanya digerakkan oleh keinginan untuk menegakkan harga dirinya. Harga diri merupakan sesuatu yang berharga sehingga mati merupakan harga yang pantas untuk menebusnya.
Dalam perjalanannya kemudian, Jepang mentransformasi nilai tersebut kedalam etika pemerintahannya. Pejabat yang gagal dalam menjalankan pemerintahan tidak lagi melakukan harakiri melainkan dengan sukarela melepaskan jabatannya. Nilai yang tetap dipertahankan adalah keharusan melakukan pertanggngjawaban etik atas sebuah kesalahan yang dianggap merendahkan harga diri. Dengan ditemukannya banyak kesamaan antara nilai siri’ dengan harakiri, maka bukan tidak mungkin nilai siri’ dengan mudah ditransformasikan menjadi pertanggungjawaban etik serupa dengan yang terjadi di Jepang pada saat ini.
Menjadikan siri’ sebagai etika pemerintahan diharapkan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya pertanggungjawaban etik dalam pemerintahan. Siri’ yang ditegakkan nyawa sebagai taruhannya mengajarkan betapa mahalnya harga sebuah pertanggungjawaban etik sehingga nyawa adalah harga yang pantas menjadi bayarannya. Perkembangan zaman tidak lagi mendukung pengorbanan nyawa untuk sebuah pertanggungjawaban. Namun demikian, nilai yang mengharuskan perntanggungjawaban etik harus dibayar mahal tidak boleh juga ikut hilang. Jika jabatan adalah sesuatu yang sangat berharga pada saat ini maka mengundurkan diri sudah dapat dianggap sebagai sebuah bentuk perttanggungjawaban yang pantas sebagai transformasi bentuk pertanggungjawaban etik.
Nilai siri’ ini juga dapat bersifat konstruktif. Bagi orang bugis, bermalas-malasan sehingga menjadi miskin atau bodoh merupakan hal yang dapat mempermalukan dan merendahkan harga dirinya. Ini menjadi motif untuk bekerja keras dan bersungguh-sungguh agar tidak mempermalukan diri sendiri. Disini siri’ dapat dilihat sebagai sebuah etos kerja. Nilai siri’ juga menjadi pengawal tingkah laku agar tidak melakukan perbuatan yang mempermalukan diri sendiri. terbukti mencuri, berbohong, berbuat curang tentu akan membuat seseorang menjadi malu sehingga harus dihindari.
Nilai siri’ selain berdimensi pribadi, juga memiliki dimensi sosial. Dimensi sosial siri’ berwujud dalam ungkapan ”masseddi siri’”. Dalam skala kelompok yang paling kecil yaitu keluarga, diajarkan bahwa hubungan suami istri hanya akan sempurna jika saling menjaga siri’ (Rahim, 2011:142). Begitu pula dalam skala yang lebih besar, setiap anggota kelompok harus saling menjaga siri’. Apabila ada salah seorang anggota kelompok yang dipermalukan maka setiap anggota kelompok lain berhak untuk ikut menyelesaikan persoalan siri’ tersebut. Begitu pula apabila ada seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang tidak patut maka akan ikut mempermalukan seluruh anggota kelompok (mappakasiri’-siri’). Seorang anak perempuan yang melakukan kawin lari (silariang) akan mempermalukan seluruh anggota keluarga dan untuk itu wajib mendapatkan sanksi sosial.
Sejarah masa lalu telah menunjukkan bagaimana masyarakat masseddi siri’ dalam urusan kerajaan. Tercatat beberapa raja pernah dibunuh oleh masyarakat karena berbuat sewenang-wenang. Ada putra raja yang diusir/diasingkan (ripaoppangi tana) karena membunuh salah seorang petinggi kerajaan (http://www.rappang.com). Catatan sejarah ini menunjukkan bahwa massedi siri’ tersebut dapat dijadikan sebuah kontrol sosial yang efektif bagi jalannya pemeintahan.
Siri’ yang berdimensi sosial ini dapat ditranformasikan kedalam proses pemerintahan moderen saat ini. Jika setiap masyarakat ikut merasa malu apabila ada salah seorang dari kelompoknya yang berbuat korup kemudian menjatuhkan sanksi sosial bagi si pelaku maka akan menjadikan pejabat lain dari kelompok yang sama lebih berhati-hati. Sanksi sosial yang diharapkan tentu tidak lagi berupa pembunuhan. Aksi massa menjelang pilpres 2009 terhadap salah seorang politikus/pejabat pemerintah yang dianggap rasis dengan menyatakan “belum saatnya bagi orang sulsel untuk memimpin” kiranya cukup memadai untuk dijadikan sanksi sosial. Tentu saja bukan aksi massa penyerangan rumah pejabat tersebut yang dimaksud disini, melainkan pernyataan massa agar pejabat ybs. tidak lagi menginjakkan kaki di bumi Sulawesi Selatan. Hukuman yang bisa disepadankan dengan pengasingan dimasa lalu.
Masih dalam konteks kontrol sosial, siri’ dapat diaplikasikan dalam mencegah korupsi kecil berupa pungutan liar (pungli) dari aparat pemerintahan. Pungli ini dapat dimaknai sebagai aksi pemalakan terhadap seseorang. Aksi seperti ini seharusnya dapat dianggap merendahkan harga diri orang yang dipalak sehingga muncul perlawanan. Orang yang punya siri’ tentu tidak ingin direndahkan harga dirinya sehingga menentang aksi yang serupa. Pemaknaan ulang aksi pungutan liar ini dengan mengaitkannya dengan nilai siri’ diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk tidak pasrah dengan patologi birokrasi yang satu ini.
Nilai siri’ dalam konteks etika pemerintahan terwujud dalam nilai pertanggungjawaban etik, etos kerja, kontrol diri birokrat dan kontrol sosial masyarakat. Demikian luas dan komperhensifnya nilai siri’ ini dalam menjadikannya sangat memadai untuk dijadikan etika pemerintahan di Indonesia. Tidak berlebihan jika berharap agar nilai siri’ ini disimbolisasi menjadi semboyan Departemen Dalam Negeri sebagai induk pemerintahan di dalam dalam negeri.

Untuk mewujudkan harapan tersebut, Pemerintahan di Sulawesi Selatan sebagai pemilik nilai siri’ harus menjadi contoh nyata penerapan nilai siri’. Para birokrat harus menjaga siri’nya sebagai pemerintah, disamping itu masyarakat juga harus masseddi siri’ untuk mengawal jalannya pemerintahan dengan baik. Jika itu semua berhasil, bukan tidak mungkin kita akan membaca siri’ dalam simbol Institusi Pemeritahan Nasional. Bukan tidak mungkin pula, pemerintahan yang baik dengan berdasar pada nilai siri’ akan terwujud.

Senin, 07 April 2014

Budaya dari Meja Makan


Sengkang, 12 September 2013. Saat makan malam di rumah, terhidang dua tempat nasi yang salah satunya berisi nasi yang sudah dingin dan yang lainnya berisi nasi yang masih panas. Seketika ingatanku kembali pada tahun 2011 silam pada saat makan di rumah seorang seniorku di Himapem yang bernama Ahmad Heri Siswanto (Kak Iswan) di Kabupaten Enrekang. Pada saat itu juga terhidang dua jenis nasi masing-masing di tempat yang berlainan. Satunya nasi dingin dan satunya lagi nasi panas. Pesan yang masih melekat di ingatanku pada saat itu dari beliau adalah “Jangan dahulukan makan nasi panas dari pada nasi dingin”. Konon itu adalah “pamali” dari leluhur. Jadi, ketika di meja makan ada nasi panas dan nasi dingin, jika ingin makan kedua-duanya, dahulukan nasi dingin daripada nasi panas. Pesan moril yang konon terkandung dari pamali tersebut adalah jangan sampai panas dulu baru dingin. Panas yang dimaksud disini adalah dalam keadaan emosional atau temperamental. Jika terlanjur marah atau temperamental maka pantang untuk menyerah atau mundur. Panas dulu baru dingin itu diibaratkan seseorang yang cepat marah (tempramen) tetapi kemudian cepat pula menyerah. Kondisi ini tentu saja pantang bagi “Lelaki Bugis” yang jika sudah terlanjur marah maka harus menuntaskan kemarahannya. Dalam kondisi perkelahian misalnya, seorang laki-laki Bugis jika terlanjur marah maka harus diselesaikan dengan pertumpahan darah. Prinsipnya, “Sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke pantai”,  “Sekali badik terhunus dari sarungnya, pantang disarungkan kembali sebelum berdarah”. Nilai-nilai ini terjalin dengan begitu kompleks dalam budaya siri’.

Perkara yang sebenarnya cukup mengerikan, seketika menjadi sesuatu yang sangat menarik untuk dipikirkan di meja makan. Bagaimana hal-hal yang begitu kompleks disosialisasikan secara sederhana di meja makan. Seketika pula pikiran liar tentang nasi panas dan dingin, pamali dan budaya siri’ menggiring ingatanku pada salah satu pamali lain di meja makan yang dari dulu diajarkan kepadaku. Mungkin manusiawi jika berhadapan dengan makanan enak kita sering lupa berhenti makan. Alhasil, perut sudah kekenyangan dan tidak nyaman khususnya ketika mengenakan celana yang berkancing. Pada saat seperti inilah pilihan untuk melepas kancing celana untuk memberi ruang bagi perut agar dapat terus menampung makanan yang lagi nikmat-nikmatnya di lidah. Inilah yang dianggap “pamali” oleh leluhur masyarakat Bugis, “dilarang membuka kancing celana pada saat makan”. Membuka kancing celana pada saat makan konon katanya membuat seseorang gampang menyerah. Tentu saja sifat gampang menyerah sangat bertentangan dengan nilai juang masyarakat Bugis dalam prinsip “sekali layar terkembang, pantang biduk surut kepantai”.

Makan malam pun selesai, mulut berhenti mengunyah dan perut mulai bekerja lebih lanjut untuk mencerna makanan. Demikian pula indra telah berhenti menstimulus ingatan melalui citra di meja makan tetapi otak terus bekerja memikirkan citra pamali dan budaya siri’ yang muncul dalam ingatan. Begitu kompleks budaya yang disusun oleh leluhur untuk mentransformasikan nilai-nilai bahkan sampai dimeja makan. Dalam kasus nasi dingin dan nasi panas, pamali itu bisa bertujuan ganda. Disamping bermanfaat agar nasi dingin yang masih tersisa dihabiskan terlebih dahulu supaya tidak mubazir, juga bermanfaat sebagai peneguh nilai siri’ yang menjadi tulang punggung budaya masyarakat Bugis. Begitu pula dengan pamali membuka kancing celana pada saat makan. Disatu sisi, pamali ini bermanfaat bagi kesehatan karena memang makan berlebihan itu tidak baik bagi kesehatan. Namun disisi lain, juga memiliki pesan moral agar seseorang tidak gampang menyerah dalam kehidupan. 

Sabtu, 16 November 2013

Catatan Perjalanan di Borobudur


Jogja, 15 Novermber 2013, sekitar pukul 10.00 pagi saya beberapa orang teman berangkat ke Borobudur. Ini kali kedua saya ke Borobudur meskipun baru pertama kali masuk ke wilayah candinya. Seperti perjalanan sebelumnya, perjalanan kali ini juga dalam rangka mengantar teman-teman yang datang ke Jogja. Bedanya, jika sebelumnya saya hanya jadi penumpang kali ini saya yang jadi drivernya.

Tepat sebelum shalat jumat kami sudah sampai di Borobudur. Setelah shalat Jumat, kami masuk ke wiilayah Borobudur. Sebelum masuk ke wilayah candi, kami menyempatkan diri makan siang sembari mepersiapkan energi untuk berkeliling di Candi Borobudur. Diantara banyak warung makan, entah kenapa teman-teman memilih warung yang catnya serba pink. Mulai dari tembok, kursi meja, dapurnya semuanya berwarna pink. Aneh juga rasanya duduk di antara barang-barang yang diwarnai dengan warna yang terkesan feminim sementara tidak satu pun wanita yang ikut dalam rombongan. Lebih parahnya lagi, diatara kami ada seorang tentara dan beberapa orang mantan "anak Mapala". Image yang tentu saja maskulin dikelilingi oleh warna-warna yang feminim. Tapi sepertinya hanya saya yang berpikir begitu. Teman-teman yang lain tidak tampak mempersoalkan hal sepele yang menjadi perhatianku.
Sambil menunggu makanan yang  kami pesan, tempat kami diserbu oleh ibu-ibu yang berjualan souvenir. Mereka sangat gigih menawarkan barang dagangannya hingga beberapa orang diantara kami tertarik untuk membeli souvenir dengan harga yang beragam. Ada yang dapat harga yang lebih mahal dan ada pula yang berhasil menawar dengan harga standar. Yang menarik ketika gelombang pertama penjual souvenir pergi, serbuan penjual souvenir gelombang kedua kembali menghampiri kami. Meskipun sudah ditegaskan bahwa kami sudah punya souvenir yang di tawarkan, ibu-ibu itu masih saja terus menawarkan dengan bermacam-macam "kalimat promosinya". Salah seorang penjual mengatakan "ini harganya murah mas, harga hujan". Ha' harga hujan? saya berpikir sejenak sambil menahan tawa. Mungkin yang dimaksud harga hujan yaitu harga murah karena pengunjung kurang di saat hujan. Ini hukum ekonomi dengan bahasa rakyat pikirku. Setelah yang satunya pergi, datang lagi pedagang lain yang mewarkan souvenir dengan kalimat promosi: "beliin anaknya mas" katanya kepada kami semua. Refleks saya menjawab, "disini belum ada yang punya anak mbak". Kemudian ibunya membalas "ya emang sampai tua gak bakalan punya anak mas, istrinya yang punya. Beliin ponakannya aja kalau begitu". Mendengar jawaban itu, pikiranku buntu, tidak mampu menelaah kalimat itu secara jernih. Saya takut kalau itu adalah doa, Nauzubillahi min zalik. Belakangan baru saya mencoba memahami maksudnya, mungkin saya terlalu berprasangka buruk menganggap ibu itu mendoakan yang buruk-buruk, semoga maksudnya "gak bakalan punya anak" itu adalah tidak mungkin melahirkan. Biarpun mendapat pencerahan, saya akhirnya lebih memilih diam dan tersenyum saja sambil mengangkat tangan menunjukkan ekspresi penolakan. Ekspresi yang saya yakini sebagai ekspresi penolakan secara halus. Maklum, waktu kuliah dulu pernah ikut mencari dana kegiatan dengan menjadi sales makanan ringan di Pantai Losari. Meskipun yang ditawari tidak membeli dagangannya kami, tetapi tentu beda rasanya jika ditolak dengan senyum daripada "dicuekin".

Ketika makanan sudah ada di hadapan kami, hujan turun secara perlahan-lahan, mulai dari gerimis hingga hujan badai. Saya yang duduk di bagian paling ujung kursi panjang harus berhenti sejenak makan dan memindahkan makanan ke kursi lain yang terlindung dari hujan. Sampai makanan kami habis, hujan terus saja turun sehingga kami masih harus menunggu hingga hujan reda. Satu kejadian unik terjadi di saat itu. Ketika selokan di samping kios penuh dengan air hujan, seekor tikus sebesar anak kucing keluar dari selokan dan lari berteduh di bawah pohon. Mungkin karena merasa kedinginan, tikus itu berlari ke arah kios pakaian di depan warung tempat kami makan. Pemilik kios yang kebetulan berdiri di depan kiosnya melihat tikus itu berlari kearahnya dan berusaha melompat masuk ke kiosnya. Lompatan pertama dan kedua tikus itu berhasil di tepis oleh ibu pemilik kios. Ibu itu menepis tikus yang mencoba masuk ke kiosnya persis seperti kiper yang menahan bola masuk ke gawangnya. Rasa dingin yang berlebihan mungkin mendorong tikus itu berbuat nekat. Pada lompatan ketiga tikus itu berhasil masuh kek kios baju tersebut dan bersembunyi entah dimana. Sampai hujan reda dan kami sudah maninggalkan warung makan, ibu pemilik kios itu masih membogkar-bongkar barangnya untuk mencari tikus nekat itu.

Seperti halnya pengunjung pada umumnya, aktifitas yang dominan kami lakukan tentu saja adalah mengambil gambar alias foto-foto. Banyak sekali spot-spot yang sangat eksotis untuk dijadikan latar pengambilan gambar. Tapi seperti halnya ketika berada di lokasi wisata atau di gunung-gunung yang pernah saya jejali, keindahan yang tampak di depan mata tidak akan pernah tertangkap secara sempurna oleh kamera secanggih apapun. Itulah mengapa melihat foto ataupun video tidak pernah memuaskan hasrat seseorang untuk datang ke suatu tempat. Yang terjadi justru sebaliknya, hasrat untuk berkunjung justru semakin bertambah setelah melihat foto atau video orang lain yang sudah pernah ke tempat itu.

MENGAGUMKAN!!! Mungkin kata itu yang terpikirkan ketika melihat Borobudur ini. Saya sungguh kagum melihat batu-batu yang tersusun rapi menyerupai puzzle di ukir dengan sangat detail. Saya lalu berpikir bagaimana bangunan semegah dan sekompleks ini bisa dibangun oleh orang-orang disaat teknologi arsitektur belum berkembang? Mungkinkah rumor yang mengatakan bahwa bangunan ini dibangun dengan bantuan jin adalah benar adanya? Mungkinkah di zaman dimana ilmu teknik sudah berkembang pesar, masih ada yang mampu membuat bangunan seperti ini? Ah, daripada pusing memikirkan jawabannya, saya cukup menikmati saja keindahannya.

Mendekati tingkat teratas dari Borobudur, beruntung saya mendengar banyak hal dari Guide yang bercerita banyak kepada pengunjung lain. Banyak hal yang sebelumnya tidak diperhatikan secara detail ternyata mengandung banyak makna simbolik. Salah satunya adalah ketika kammi sudah hampir sampai pada tingkat tertinggi di Borobudur, ternyata sudah tidak ada lagi ukiran-ukiran manusia dan binatang. Alasannya katanya karena tingkat itu sudah tingkatan surga sehingga tidak lagi ada pelajaran hidup disitu. Selain itu, digambarkan bahwa setiap tingkat di lantai atas ini memiliki stupa model stupa yang berbeda. Ada yang puncaknya bersegi empat yang dimaknai sebagai surga bagi orang-orang yang mengamalkan empat ajaran. Di tingkat selanjutnya dianggap sebagai surga dengan tingkatan yang lebih tinggi. Puncak dari stupa ini bersegi delapan yang berarti telah menjalankan delapan ajaran. Tingkatan ini katanya tingkatan surga bagi orang-orang suci. Satu hal lagi yang sempat saya dengar yaitu hawa-hawa dingin yang terasa di puncak Borobudur itu bukan berasal dari angin melainkan aliran energi. Guide itu menunjukkan puncak pohon yang hampir setinggi tempat kami berdiri itu sama sekali tidak menunjukkan adanya gerakan yang berarti tidak ada angin pada saat itu. 

Puas berkeliling dan mengambil gambar, kami pun memutuskan untuk pulang. Dalam perjalanan turun dari tingkat atas, saya sudah mulai detail memperhatikan ukiran-ukiran di dinding Borobudur. Sebagian ukiran yang saya anggap unik tidak lupa saya ambil gambarnya. Sampai di bawah, dalam perjalanan keluar lokasi candi, saya melihat masih banyak lokasi menarik dari candi Borobudur yang menarik untuk dikunjungi diantaranya ada dua museum dan satu kandang gajah, sayang waktu kami terbatas. Ini menjadi catatan penting buat saya jika suatu saat dapat kesempatan kembali ke Borobudur. Setidaknya, dua hal yang saya yakini perlu diperhatikan yaitu datang lebih pagi, dan membekali diri dengan pengetahuan sejarah Borobudur biar lebih detail mengamati setiap sudut Borobudur.

Keluar dari lokasi Candi Borobudur saya berpikir ini akhir dari cerita perjalanan kali ini. Namun ternyata satu pengalaman penting saya dapatkan ketika menunggu teman-teman berkumpul sebelum pulang. Seperti sebelum masuk wilayah candi, saat keluar pun kami masih di serbu oleh penjual souvenir yang datang silih berganti. Reaksi saya masih seperti tadi, menolak secara halus dengan senyuman. Namun ternyata satu diantara pedagang souvenir itu tidak seperti pedangan sebelumnya yang menawari saya souvenir. Pertama kali ibu itu menawarkan souvenirnya saya masih sempat menolak. Tetapi begitu melihat senyumnya, saya melihat ada rona kecewa dan kesulitan hidup yang ditampakkannya sebelum saya akhirnya menyadari satu hal yang sangat mengganggu pikiran dan perasaan saya. Senyum ibu itu mirip dengan senyum ibu saya. Saya betul betul terhentak dan akhirnya membeli souvenirnya. Saya membelinya bukan dengan niat ingin memiliki souvenirnya tetapi agar ibu itu merasa senang dan semoga terbantu dengan lakunya barang dagangannya. Yang saya sesali hingga sekarang adalah mengapa saya masih sempat menawar barang dagangannya. Mungkin karena saya sudah tau harga standar barangnya makanya saya pikir cukup dengan membeli harga standarnya. Tetapi yang mengganggu adalah saya mendapati diri saya setengah-setengah dalam menolong.

Hanya dengan melihat wajah ibu saya di raut muka ibu itu membuat saya sedemikian sedih. Satu hal yang saya syukuri adalah dia bukan ibu saya dan ibu saya tidak bekerja seperti itu. Saya kemudian berdoa semoga saya tidak akan pernah membiarkan ibu saya bekerja seperti itu. Tapi saya juga sadar bahwa ibu yang tadi memang bukan ibu saya tapi kemungkinan dia ibu dari seongan anak yang mungkin tidak berdaya hingga membiarkan ibunya harus mengejar-ngejar (sebagian sudah memohon-mohon) pelanggan untuk membeli barang dagangannya. Saya sadar sekali bahwa saya hanya dianugerahi kesempatan yang lebih baik dari mereka. Saya dilahirkan dari keluarga yang mau dan mampu membiayai saya sekolah hingga pasca sarjana seperti sekarang ini. Sementara mereka hanya tidak beruntung dilahirkan di lingkungan yang tidak beruntung. Saya tau persis kondisi ini, karena ilmu saya memang memungkinkan untuk memahami fenomena ini. Yang semakin membebani adalah saya sering menjadi pemateri tanggungjawab kaum intelektual yang tidak hanya membahas fenomena ketimpangan karena persoalan kesempatan tetapi juga tanggung jawab yang lahir dari anugerah kesempatan yang menguntungkan itu. Semoga beban ini mengingatkan dan meneguhkan tekad saya untuk dapat berbuat lebih untuk orang-orang tidak beruntung seperti mereka.Perjalanan pun usai, tapi tidak dengan cerita dan kisah spiritual yang ditinggalkannya. Semoga masih ada kesempatan untuk kembali ke Borobudur, dan yang paling penting Semoga ada diberik kemampuan, kesempatan dan diteguhkan tekadku untuk berbuat banyak kepada orang-orang lain khususnya untuk ibuku, keluargaku dan orang-orang yang tidak punya banyak pilihan dalam menjalani hidupnya..Amin
 
 
Blogger Templates