“Mundur Satu Langkah untuk Maju Tiga Langkah”
Itulah salah satu ungkapan Hitler yang cocok untuk menyimpulkan drama rencana kenaikan harga bbm akhir-akhir ini. Hasil pleno DPR tentang rencana kenaikan harga BBM berakhir dengan kemenangan telak pemerintah. Bagi masyarakat awam yang melihat fenomena ini hanya sebatas naik atau tidaknya harga bbm pasti telah merasa lega dengan hasil pleno DPR. Karena secara praktis, yang paling penting adalah tidak disepakatinya kenaikan harga BBM. Namun tidak demikian bagi segelintir orang yang lebih peka menganalisis hasil pleno tersebut. Bagi kalangan masyarakat yang lebih fundamental melihat masalah, hasil pleno DPR tentang rencana kenaikan harga BBM justru merupakan kekalahan telak bagi masyarakat, bagi ideologi dan bagi kedaulatan Indonesia. DPR melalui mekanisme voting menyepakati menambahkan regulasi baru yang substansinya memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk dapat mengatur harga BBM dengan berdasarkan pada fluktuasi harga minyak dunia. Penambahan regulasi tersebut berarti menjadikan harga minyak dunia sebagai satu-satunya variabel penentu penyesuaian harga BBM.
Mencermati tarik ulur wacana yang menjadi bahan bakar yang menyulut api perdebatan pro dan kontra rencana kenaikan harga BBM, mengarahkan pandangan kita tidak hanya pada satu variabel untuk dipertimbangkan. Kenaikan harga minyak dunia, tingkat inflasi, pendapatan perkapita, social cost, pengelolaan energi, efisiensi keuangan pengelolaan negara dll merupakan variabel-variabel yang ikut menjadi argumen dari masing-masing pihak untuk setuju atau tidak setuju dengan usulan pemerintah tersebut. Jadi jelaslah bahwa terlalu naïf jika hanya satu variabel yang dilegalisir menjadi pertimbangan penentuan harga BBM. Harusnya semua variabel lain juga ikut dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan. Karena semua variabel tersebut saling berkaitan khususnya dalam konteks penentuan harga. Jika suatu saat harga minyak dunia naik drastis melampaui standar penyesuaian harga tetapi disaat yang bersamaan keuangan Negara dikekola dengan efisien sehingga pemerintah masih mampu mensubsidi maka pemerintah tidak perlu menaikkan harga BBM. Sebaliknya, misalnya jika harga minyak dunia turun drastis melampaui standar penyesuaian harga tetapi disisi lain pendapatan perkapita masyarakat Indonesia justru naik drastis maka tidak perlu menurunkan harga BBM.
Asumsi-asumsi pemerintah dalam rencana kenaikan harga BBM dari awal memang hanya seputar kenaikan harga minyak dunia yang dituangkan kedalam data-data matematis. Jadi tidak mengherankan jika variabel itu yang menjadi fokus utamanya dalam menyesuaikan harga BBM. Fakta sebaliknya datang dari beberapa fraksi di DPR yang semula mempertimbangkan banyak fariabel untuk menolak kenaikan harga BBM tapi di akhir waktu ternyata memberi kewenangan kepada pemerintah untuk menyeseuaikan harga BBM hanya berdasarkan satu variabel. Boleh jadi, dari awal memang pemerintah dengan koalisinya di DPR sudah menyepakati titik akhir dari rencana kenaikan harga BBM ini. Mereka sengaja menggiring opini publik dengan seolah-olah berbeda sikap secara ekstrim dalam menanggapi rencana kebijakan ini sehingga memungkinkan kompromi untuk mengurangi perbedaan secara ekstrim tersebut padahal dari awal titik komprominya sudah selesai pada politik panggung belakang mereka. Pemerintah jalan ke barat, Fraksi di DPR jalan ke timur dan mereka sepakat bertemu di Utara.
Fenomena rencana kenaikan harga BBM tak lebih dari sekedar drama politik belaka. Lagi-lagi politik pencitraan. Namun kali ini pencitraan yang dibangun bukan pencitraan yang positif, tapi justru pencitraan negatif. Meski demikian, yang namanya politik pasti ada kepentingan dibelakangnya. Kalau politik pencitraan positif jelas tujuannya untuk meningkatkan elektabilitas sedangkan pencitraan negative dipastikan untuk memperoleh sesuatu yang lebih besar dari sekedar dukungan. Sebab, pengorbanan yang lebih besar pasti dilakukan untuk hasil yang lebih besar.
Pemerintah dalam drama rencana kenaikan harga BBM mati-matian mensosialisasikan rencana kenaikan harga BBM dengan durasi yang terbilang lama. Stigma “pemerintah yang kejam, tidak memikirkan rakyatnya dll” dibiarkan mengendap dalam pikiran rakyat. Dalam kondisi demikian, muncullah kubu oposisi intra dan ekstra parlementer sebagai pahlawan membela kepentingan rakyat. Tidak cukup sampai membiarkan rakyat berpikiran negative kepada pemerintah, justru stigma itu ditambah dengan tindakan represif dan otoriter dalam mempertahankan rencana kebijakan. Maka semakin menumpuklah kebencian masyarakat kepada pemerintah yang teraktualkan dalam tidakan perlawanan terbuka kepada pemerintah. Masyarakat berhadap hadapan dengan pemerintah, yang harus ada salah satu diantaranya menjadi pemenang dan yang lainya menjadi yang dikalahkan. Inilah wacana publik yang ingin ditampilkan. Asumsi yang berkembang adalah kenaikan harga BBM adalah kemenangan pemerintah sedangkan jika tidak naik berarti kemenangan untuk rakyat. Anti klimaks dari drama politik menempatkan masyarakat sebagai pemenang dan pemerintah sebagai pecundang. Wacana “perang” dengan tuntutan menang dan kalah ini akhirnya mengaburkan alasan substansial peperangan itu sendiri terlupakan, yang paling penting adalah siapa yang menang dan siapa yang kalah. Masyarakat yang merasa menang dengan lega kembali ke kehidupannya, kembali bekerja dan kembali kuliah. Alasan ideology, kedaulatan Negara dan kesejahtraan yang hakiki tidak lagi menjadi perhatian mereka.
Pemerintah dengan wajah murung di depan pentas politik, tersenyum lebar atas sebuah kemenangan besar. Gagal dalam mengajak masyarakat melalui wakilnya mendukung rencana kenaikan harga BBM tidak berarti apa-apa jika kemudian kewenangan untuk itu telah sepenuhnya ada di tangannya. Pemerintah akhirnya tak perlu lagi mendapat dukungan rakyat untuk bisa menaikkan harga BBM. Akhirnya masyarakat semakin teralienasi dalam menentukan kualitas kehidupannya. Lebih jauh lagi, sistem penyesuaian harga BBM berdasarkan pada harga minyak dunia dapat diartikan bahwa system penyesuaian harga BBM mengikuti mekanisme padar bebas. Sistem tersebut tidak lain merupakan system dari ideology Neoliberalisme yang sangat bertentangan dengan Konstitusi NKRI. Ini berarti kemenangan mutlak bagi pemerintah yang dari awal disinyalir sebagai antek antek neoliberalisme.
Pemerintah tidak berhasil menaikkan harga BBM tapi disisi lain berhasil menginjeksikan ideologinya, berhasil menguasasi sepenuhnya kewenangan mengontrol harga, dan seperti keberhasilan-keberhasilan sebelumnya yaitu berhasil sekali lagi membodoh-bodohi masyarakat. Pemerintah mundur selangkah dengan tuduk membungkuk kemudian maju tiga langkah dengan membusungkan dada.
Makassar, 3 April 2012
wie_nhc@yahoo.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar