Narsisme Kelompok : Buah Dehumanisasi Pengkaderan
Kekerasan
menjadi fenomena yang kian merebak akhir-akhir ini. Yang paling marak adalah
kekerasan antar kelompok, dari kelompok masyarakat hingga kelompok mahasiswa.
Jika kita menyoal tentang kekerasan maka salah satu penyebab kekerasan yang
dapat diidentifikasi adalah apa yang disebut oleh Erich Fromm dalam bukunya
“Akar Kekerasan” sebagai “Narsisme Kelompok”.
Narsisme
dijelaskan oleh Erich Fromm sebagai kondisi pengalaman seseorang dimana yang
dia rasakan sebagai sesuatu yang benar-benar nyata hanyalah tubuhnya, keutuhan
perasaannya, pikirannya kekayaan atau benda-benda serta orang-orang yang ada
hubungan dengannya. Dapat disimpulkan bahwa Fromm menggambarkan narsisime
sebagai sebuah pemisahan diri mutlak seseorang dengan lingkungannya. Selain
dirinya adalah sesuatu yang semu.
Narsisme membangkitkan sikap agresif atas segala sesuatu yang mengganggu
keagungan citra dirinya menurut dirinya sendiri.
Dalam konteks
kelompok, Fromm menjelaskan bahwa bila objek narsisme adalah kelompok maka
individu narsistik dapat sepenuhnya menyadari narsisnya dan mengungkapkannya
tanpa hambatan apapun. Penegasan bahwa “Negara Saya” (atau bangsa atau agama
saya) yang paling hebat, paling berdaya, paling kuat, paling cinta damai dan
sebaganya sama sekali tidak berlebihan bahkan terdengar sebagai ungkapan
patriotisme, keyakinan dan kesetiaan. Celakanya penegasan tersebut sepertinya
nyata sebagai sebuah kebenaran oleh karena bagi sebagian orang yang tidak
memiliki daya kritis, kenyataan dibangun berdasarkan konsesnsus. Narsisme
kelompok sebagaimana narsisme individu membangkitkan sikap agresif terhadap
sesuatu yang menggangu keyakinan kelompok tersebut.
Narsisme
kelompok bisanya teraktualkan kedalam simbol-simbol yang diyakini oleh anggota
kelomponya. Simbol-simbol ini biasanya berupa nama, slogan, lagu, gambar, warna, angka, dll dengan segala pemaknaannya. Fanatisme
simbolik ini kadang menjadi identitas yang menyatukan suatu kelompok dan
mengidentifikasi yang lain sebagai sesuatu yang berbeda dengannya bahkan tidak
nyata baginya. Proses internalisasi simbol dapat dilakukan dengan proses
sugesti. Sugesti itu sendiri diartikan sebagai sebuah pernyataan yang diterima
tanpa adanya daya kritis. Sugesti terjadi karena beberapa hal, diataranya
karena banyak, karena sedikit dll. Karena banyak yaitu karena sebagian besar
orang menyepakati sesuatu maka sesuatu itu dinyatakan sebagai sebuah kebenaran.
Karena sedikit dimaksudkan karena orang sedikit itu adalah orang yang ahli, dan
orang yang ahli selalu benar.
Dalam konteks
kelompok mahasiswa, proses internalisasi biasanya dilakukan dalam proses
pengkaderan mahasiswa baru. Mahasiswa baru yang umumnya belum memiliki daya
kritis yang memadai dengan jumlah yang minoritas jika dibandingkan dengan
anggota kelompok yang telah lebih dahulu bergabung (red:senior) akan
bersosialisasi dengan mayoritas senior yang telah sepakat dengan simbol
kelompoknya. Dalam proses pengkaderan, biasanya akan tampil seorang senior yang
menjelaskan makna dan histori dari simbol-simbol kelompoknya, seseorang yang
dianggap ahli untuk itu. Tanpa daya kritis, mahasiswa baru akan menelan
bulat-bulat sugesti-sugesti tersebut.
Dehumanisasi Pengkaderan
Pengkaderan
sejatinya merupakan proses transformasi nilai-nilai kemanusiaan. Pengkaderan
merupakan proses pendidikan yang oleh karenanya juga merupakan proses
memanusiakan manusia. Proses menjadikan manusia sebagai manusia seutuhnya
berdasarkan fitrahnya. Proses mengaktualkan potensi-potensi kemanusiaan seorang
manusia. Oleh karena itu, seharusnya
semua proses dalam pengkaderan didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan.
Manusia dalam
perspektif personal dalam proses humanisasi dimaksudkan untuk mengoptimalkan
semua potensi-potensinya, baik jiwa maupun raganya. Dalam perspektif universal,
manusia adalah bagian dari lingkungan, bagian dari alam semesta. Segala hal
yang menjauhkan manusia dari dirinya secara personal maupun universal adalah
sebuah tindakan dehumanisasi.
Proses
pengkaderan harusnya mampu menciptakan kesadaran kritis terhadap anggota
kelomponya. Karena menciptakan kesadaran kritis merupakan proses optimalisasi
potensi akal sebagai salah satu identitas kemanusiaan. Dengan kesadaran kritis,
anggota baru tidak akan mudah terjebak pada sugesti-sugesti yang akan semakin
menjauhkanya dari fitrah kemanusiaannya.
Proses
internalisasi simbol kelompok sebagai salah satu agenda pengkaderan sejatinya
merupakan sebuah proses humanisasi sepanjang tujuannya adalah melepaskan
seseorang dari narsisme individu, oleh karena jika seseorang bergabung dalam
sebuah kelompok maka dia setidaknya mengakui orang lain sebagai bagian dari
kelompoknya. Namun kemudian proses itu seharusnya dibarengi dengan kesadaran
universal sehingga menghindarkan seseorang atau kelompok tersebut dalam sebuah
narsisme kelompok. Simbol kelompok seharusnya hanya dijadikan sebagai sebuah
sarana penyadaran akan keberagaman dan bukan menjadikan kelompok yang satu
berbeda apalagi menafikkan secara eksistensial dengan kelompok yang lain. Wallahuallam bishawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar