Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Rabu, 24 Oktober 2012

Hakekat Manusia

Entah mengapa ingatan saya tiba-tiba tertuju pada pertanyaan teman sekelas pada kuliah perdana Filsafat Ilmu dan Metode Penelitian yang dibawakan oleh Pak Gunawan. Teman saya bertanya “Apakah manusia itu tersandra oleh kebiasaan?”. Berbagai jawaban muncul pada kuliah tersebut termasuk dari pak dosen sendiri. Sebagian besar mengiyakan bahwa manusia itu tersandara oleh kebiasaan. Pada saat itu saya berada pada posisi tidak sepakat dengan pernyataan apakah manusia tersandra pada kebiasaan tersebut dengan mengacu pada perdebatan antara kaum determinisme dan free will. Saat itu saya menganggap bahwa pernyataan manusia tersandra oleh kebiasaan adalah sama dengan pemahaman kaum determinisme bahwa segala sesuatu sudah teratur dan manusia hanya bergerak sesuai aturan-aturan itu. Saya yang meyakini bahwa manusia itu punya kehendak bebas pastinya tidak sepakat dengan pernyataan itu.
Setelah perkuliahan selesai tanpa menghasilkan jawaban yang jelas, pertanyaan itu kemudian saya bawa pulang dan untuk beberapa saat saya an apakah benar manusia itu tersandra oleh kebiasaan. Perenungan itu kemudian menuntun saya pada pertanyaan seputar hakekat kemanusiaan yang pada kuliah perdana Filsafat Ilmu itu juga di bahas meskipun tidak tuntas. Apa perbedaan manusia dengan binatang?
Hampir semua yang ditanya persoalan ini akan menjawab perbedaanya terletak pada akal yang dimiliki manusia dan tidak dimiliki oleh hewan. Manusia memiliki akal yang dengan itu mampu menghasilkan cipta, karya dan karsa (inipun juga dibahas dalam kuliah tadi). Terkait dengan kemampuan mencipta dan berkarya, saya jadi teringat beberapa bulan silam waktu saya menjadi Anggota Dewan Kehormatan Penerimaan Anggota Baru Racana Hasanuddin. Pada kegiatan penghadapan dewan kehormatan yang bertugas menguji kemampuan calon anggota untuk bisa diterima sebagai anggota, saya ditempatkan pada pos pengetahuan umum.
Pertanyaan awak yang saya berikan kepada calon peserta adalah “apa perbedaan antara manusia dengan binatang?” Jawaban yang diberikan beragam, mulai dari jawaban yang simpel sampai yang rumit. Yang simpel menjawab perbedaannya yaitu manusia bisa bikin pisang goreng sedangkan hewan tidak bisa. Sekedar menguji kedalaman pemahamannya saya bertanya lebih lanjut “jadi kalau ada manusia yang tidak bisa bikin pisang goreng berarti bukan manusia?”. Semua yang memberi jawaban tapi akhirnya berpikir ulang dan tidak menemukan jawaban selanjutnya.
Jika diranungkan lebih dalam, sepenggal jawaban simpel tadi sebenarnya mengandung inti dari hakekah kemanusiaan sebagaimana dijelaskan diatas, yaitu mampu mencipta dan berkarya. Kata “manusia bisa bikin pisang goreng” itu sebenarnya mengandung identitas kemanusiaan yang diterjemahkan dalam bahasa partikular. Bahasa universalnya adalah manusia “bisa membuat sesuatu”. Kata “bisa membuat” disini berorientasi pada “potensi berkreasi” sedangkan “sesuatu” berorientasi pada “sesuatu yang baru”. Jadi jika pertanyaannya “Kalau ada manusia yang tidak bisa bikin pisang goreng, apakah berarti dia bukan manusia? Jawabannya iya, dia bukan manusia. Mari kita garis bawahi kata “tidak bisa bikin” pada pertanyaan tersebut. Jika kita merujuk pada orientasi kata “bisa” yang berarti potensi berkreasi, maka kata “tidak bisa bikin” dapat juga diartikan “tidak punya potensi berkreasi” dan itu bertentangan dengan hakekat kemanusiaan. Manusia bukannya tidak bisa bikin pisang goreng melainkan hanya belum tau caranya dan belum mau belajar membuat pisang goreng.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana jika dibandingkan dengan binatang yang bisa membuat sarang? Apakah bisa juga digolongkan sebagai manusia? Ataukan pernyataan itu justru menggugurkan hakekat kemanusiaan karena ternyata binatang juga bisa membuat sesuatu. Untuk menjawabnya, kita kembali pada orientasi kemanusiaan pada kata “bisa membuat” dan “sesuatu”. Pada manusia, sebagaimana diungkapkan diatas, kata bisa membuat berorientasi pada pemahaman memiliki potensi berkreasi sedangkan pada binatang berorientasi sebagaimana secara harfiah yaitu bisa membuat. Pada kata “sesuatu”, untuk manusia, berorientasi pemahaman sesuatu yang baru sedangkan pada binatang berarti sesuatu sebagaimana biasanya.
Kreasi  berarti menghasilkan sesuatu yang baru yang belum pernah ada sebelumnya atau memodivikasi sesuatu yang sudah ada menjadi sesuatu yang berbeda dari sebelumnya. Potensi inilah yang dimiliki manusia. Binatang tidak memiliki daya kreasi sehingga hanya melakukan sesuatu sebagaimana kebiasaanya. Itulah yang membuat sarang dan pisang goreng menjadi pembeda binatang dan manusia. Sarang yang dibuat oleh binatang dari dulu sampai sekarang masih saja seperti itu sedangkan pisang goreng dibuat oleh manusia dari olahan pisang yang bisa sangat beragam cara yaitu dibakar, digoreng, direbus dibuat kripik dll. Pisang goreng saja sudah beragam campuran, mulai dari pisang goreng keju, coklat, dll yang pastinya akan terus menjadi sesuatu yang baru.
Kembali ke diskusi awal, apakah manusia tersandra oleh kebiasaan? Jawabannya tentu tidak. Hakekat manusia salah satunya adalah potensi untuk berkreasi yang dengan itu membuatnya keluar dari kebiasaan. Jika manusia tersandra oleh kebiasaan maka tidak akan ada kreasi-kreasi baru yang lahir didunia ini. Jika manusia tersandra oleh kebiasaan maka manusia tidak ada bedanya dengan binatang. Asumsi ini menolak pandangan circular reasoning yang menempatkan cara berpikir manusia pada satu lingkaran yang berulang-ulang. Lebih dari itu, cara berpikir manusia itu seperti bola salju yang menggelinding, sedikit demi sedikit membesar, bukannya seperti bola kasti yang menggelinding tanpa berubah besar lingkarannya. Manusia selalu mendapat pengetahuan baru yang bisa menjadi kebiasaan. Kebiasaan itu kemudian diperkaya dengan pengetahuan-pengetahuan yang lebih baru, atau bisa jadi pengetahuan baru tersebut merubah kebiasaan lama. Namun berubahnya kebiasaan tidak lantas menghilangkan kebiasaan lama dari pengetahuan manusia, melainkan menjadikannya bahan baku dalam menelaah kebiasaan barunya.
Wallahuallam bishawab.


Catatan Ngawur [minggu 21 Okt. 12]

1 komentar:

  1. Hakekat yang paling mendasar dari manusia tentu mengacu pada tujuan penciptaannya oleh Sang Maha Pencipta, yakni "wa maa khalaktul jinna wal insa illa liya'buduun", jadi perbedaan paling nampak dari yang "bisa bikin" pisang goreng dengan yang "bisa buat" sarang adalah proses dan tata cara penghambaannya kepada Sang Khalid.

    BalasHapus

 
 
Blogger Templates