Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Senin, 29 September 2014

Pilkada Tidak Langsung: Kemenangan Klientelisme atas Populisme

populisme
sumber gambar:http://skalanews.com/

Wacana Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) sedang menyerap perhatian publik. Diantara banyak point penting dalam UU Pilkada, perdebatan antara pemilihan langsung atau tidak langsung menjadi pusat perhatian. Berbagai argumentasi saling diperdebatkan untuk membenarkan pilihan politik masing-masing pihak. Bagi kalangan akademisi, perdebatan ini sebenarnya bukanlah hal baru. Wacana ini telah lama didiskusikan dalam ruang-ruang akademik. Namun demikian, percikan politik pasca pemilihan presiden tampaknya berhasil membakar wacana ini ke permukaan dan akhirnya mendapat perhatian seluruh kalangan masyarakat.
Seakan telah menjadi rahasia umum bahwa polarisasi sikap terhadap pilkada langsung vs tidak langsung lebih tampak didasari pada sentimen hasil pilpres. Koalisi yang kalah pilpres unjuk kekuatan di parlemen dengan berada pada posisi yang berbeda dengan koalisi pemenang pemilu. Gejala ini diperkuat dengan sikap anggota koalisi merah putih yang sebelum proses pilpres mendukung pilkada langsung. Bayang-bayang rintangan pemerintahan terpilih samar-samar mulai dipertontonkan, entah melalui parlemen maupun kepala daerah yang berasal dari partai koalisi merah putih.
Tapi ada hal yang penting untuk dicermati daripada sekedar fenomena unjuk kekuatan politik diantara dua belah pihak. Dibalik pertarungan sikap tentang pilkada langsung terdapat pertarungan model politik yang begitu mengakar diantara kedua koalisi. Pertarungan pilihan sikap pilkada langsung vs tidak langsung ini dapat pula dilihat sebagai pertarungan antara klientelisme vs populisme.
Pertarungan antara klientelisme dan populisme sebenarnya bukan hal baru. Pemilihan presiden 2014 cukup baik menunjukkan dinamika populisme dan klientelisme di Indonesia. Koalisi merah putih cenderung menggunakan klientelisme dalam menggalang sejumlah partai politik pendukung. Tentu kita masih ingat bagaimana Prabowo menjanjikan jabatan menteri kepada semua partai pendukungnya. Dalam hal ini, Prabowo menjadi patron karena sumber daya politik dan ekonomi yang dimilikinya sedangkan partai-partai pendukungnya menjadi klien.
Sebaliknya, Presiden terpilih, Jokowi tampak jelas menggunakan pendekatan populisme dalam meraih suara masyarakat. Jokowi sejak awal kemunculannya memang telah menyedot perhatian publik. Jokowi yang tampil egaliter menjadi antitesis dari pejabat publik yang pada umumnya sangat elitis. Hasilnya, popularitas Jokowi terus meningkat dan berhasil mengalahkan koalisi merah putih yang nota bene lebih kuat dari segi mesin partai dalam kontestasi pemilu presiden 2014.
Kemenangan Jokowi juga menjadi kemenangan populisme terhadap klientalisme. Kekalahan klientelisme sekaligus menjadi peringatan bagi kekuatan mesin partai yang tampaknya mulai dikalahkan oleh popularitas figur. Bukan tidak mungkin kekalahan yang sama akan dialami di tingkat lokal sehingga penting untuk mengamankan kekuatan partai di level daerah. Dukungan terhadap pemilihan melalui DPRD dengan demikian dapat dilihat sebagai ekspresi ketakutan partai atas kekuatan populisme.
Sekali lagi populisme harus berhadap-hadapan dengan klientelisme. Pertarungannya bukan hanya dalam tataran dukungan terhadap pilkada secara langsung atau tidak langsung melainkan juga pertarungan dalam diri masing-masing partai. Pemilihan kepala daerah secara langsung tampaknya lebih populer dari pada pilkada melalui DPRD. Dengan demikian, partai yang mendukung pemilihan kepala daerah melalui DPRD harus membayar pilihannya dengan kemungkinan tidak populer. Demikian pula partai pendukung pilkada langsung harus terganjal pada setiap kontestasi khususnya yang melalui mekanisme voting di parlemen. Lebih parah lagi karena presiden terpilih berasal dari koalisi pendukung pilkada langsung sehingga kemungkinan akan sulit menjalankan pemerintahan tanpa dukungan mayoritas partai di parlemen.
Keputusan DPR yang mengesahkan pemilihan kepala daerah melalui DPRD jelas merupakan kemenangan klientelisme. Dalam hitungan jangka pendek, ketidakpopuleran bukan menjadi masalah besar karena toh pemilihan umum masih lima tahun lagi. Sebaliknya, dengan jumlah partai anggota koalisi yang mayoritas di parlemen, anggota koalisi bisa mendapatkan banyak keuntungan langsung misalnya kemenangan dalam perebutan posisi pimpinan DPR, kepala daerah dan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan bagi anggota partainya.
Populisme sebenarnya juga bukan solusi terbaik yang perlu ditangisi kekalahannya. Populisme menurut hasil penelitian UGM dan Oslo University masih cenderung sebagai instrumen untuk meraih suara dalam pemilihan umum. Selain itu, kebijakan yang sifatnya populer belum tentu kebijakan yang terbaik buat masyarakat. Kebijakan menaikkan harga BBM misalnya, jelas bukan kebijakan yang populer tetapi dalam keadaan tertentu kebijakan seperti ini harus diambil untuk stabilisasi keuangan negara. Namun jika dibandingkan dengan klientelisme, populisme jelas lebih bisa memberikan angin segar. Untuk mendapatkan dukungan, politikus harus menawarkan program-program yang populer bagi konstituen. Maka program pendidikan dan kesehatan gratis bisa dilihat sebagai salah satu manfaat dari politik populisme. Tak hanya sampai di situ, tawaran program juga harus dibuktikan untuk kembali mendapatkan dukungan pada pemilihan selanjutnya. Sebab, mengingkari janji sama saja dengan merusak popularitas.
Sementara itu, pemilihan kepala daerah melalui DPRD tidak lagi memberi ruang kontrol populer terhadap proses pemerintahan. Klientelisme akhirnya semakin mengakar dan menjauhkan masyarakat dari lingkaran kekuasaan. Program-program pemerintah tidak lagi penting untuk menarik simpati masyarakat melainkan program mana yang menguntungkan parlemen atau partai politik. Partai politik akhirnya kembali memiliki nilai tawar baru untuk dipertukarkan dengan keuntungan-keuntungan tertentu. Tidaklah berlebihan jika ada kekhawatiran politik transaksional tidak dapat dihindari oleh anggota parlemen.
Adalah benar bahwa dalam pilkada langsung pun ada politik transaksional. Namun, keyakinan itu kembali memunculkan pertanyaan baru: jika dalam proses pemilihan langsung yang sifatnya terbuka saja politik transaksional tumbuh subur, bisakah kita percaya pada proses yang berlangsung terpusat dan tertutup tanpa kontrol dari masyarakat?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
 
Blogger Templates