Sengkang, 12 September 2013. Saat makan
malam di rumah, terhidang dua tempat nasi yang salah satunya berisi nasi yang
sudah dingin dan yang lainnya berisi nasi yang masih panas. Seketika ingatanku
kembali pada tahun 2011 silam pada saat makan di rumah seorang seniorku di
Himapem yang bernama Ahmad Heri Siswanto (Kak Iswan) di Kabupaten Enrekang.
Pada saat itu juga terhidang dua jenis nasi masing-masing di tempat yang
berlainan. Satunya nasi dingin dan satunya lagi nasi panas. Pesan yang masih
melekat di ingatanku pada saat itu dari beliau adalah “Jangan dahulukan makan
nasi panas dari pada nasi dingin”. Konon itu adalah “pamali” dari leluhur. Jadi, ketika di meja makan ada nasi panas dan
nasi dingin, jika ingin makan kedua-duanya, dahulukan nasi dingin daripada nasi
panas. Pesan moril yang konon terkandung dari pamali tersebut adalah jangan
sampai panas dulu baru dingin. Panas yang dimaksud disini adalah dalam keadaan
emosional atau temperamental. Jika terlanjur marah atau temperamental maka
pantang untuk menyerah atau mundur. Panas dulu baru dingin itu diibaratkan
seseorang yang cepat marah (tempramen) tetapi kemudian cepat pula menyerah.
Kondisi ini tentu saja pantang bagi “Lelaki Bugis” yang jika sudah terlanjur
marah maka harus menuntaskan kemarahannya. Dalam kondisi perkelahian misalnya,
seorang laki-laki Bugis jika terlanjur marah maka harus diselesaikan dengan
pertumpahan darah. Prinsipnya, “Sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke
pantai”, “Sekali badik terhunus dari
sarungnya, pantang disarungkan kembali sebelum berdarah”. Nilai-nilai ini
terjalin dengan begitu kompleks dalam budaya siri’.
Perkara yang
sebenarnya cukup mengerikan, seketika menjadi sesuatu yang sangat menarik untuk
dipikirkan di meja makan. Bagaimana hal-hal yang begitu kompleks
disosialisasikan secara sederhana di meja makan. Seketika pula pikiran liar
tentang nasi panas dan dingin, pamali dan budaya siri’ menggiring ingatanku pada salah satu pamali lain di meja
makan yang dari dulu diajarkan kepadaku. Mungkin manusiawi jika berhadapan
dengan makanan enak kita sering lupa berhenti makan. Alhasil, perut sudah
kekenyangan dan tidak nyaman khususnya ketika mengenakan celana yang
berkancing. Pada saat seperti inilah pilihan untuk melepas kancing celana untuk
memberi ruang bagi perut agar dapat terus menampung makanan yang lagi
nikmat-nikmatnya di lidah. Inilah yang dianggap “pamali” oleh leluhur masyarakat
Bugis, “dilarang membuka kancing celana pada saat makan”. Membuka kancing
celana pada saat makan konon katanya membuat seseorang gampang menyerah. Tentu
saja sifat gampang menyerah sangat bertentangan dengan nilai juang masyarakat
Bugis dalam prinsip “sekali layar terkembang, pantang biduk surut kepantai”.
Makan malam
pun selesai, mulut berhenti mengunyah dan perut mulai bekerja lebih lanjut
untuk mencerna makanan. Demikian pula indra telah berhenti menstimulus ingatan
melalui citra di meja makan tetapi otak terus bekerja memikirkan citra pamali
dan budaya siri’ yang muncul dalam
ingatan. Begitu kompleks budaya yang disusun oleh leluhur untuk
mentransformasikan nilai-nilai bahkan sampai dimeja makan. Dalam kasus nasi
dingin dan nasi panas, pamali itu bisa bertujuan ganda. Disamping bermanfaat
agar nasi dingin yang masih tersisa dihabiskan terlebih dahulu supaya tidak
mubazir, juga bermanfaat sebagai peneguh nilai siri’ yang menjadi tulang punggung budaya masyarakat Bugis. Begitu
pula dengan pamali membuka kancing celana pada saat makan. Disatu sisi, pamali
ini bermanfaat bagi kesehatan karena memang makan berlebihan itu tidak baik
bagi kesehatan. Namun disisi lain, juga memiliki pesan moral agar seseorang
tidak gampang menyerah dalam kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar