Topik pemilu sedang ramai
diberitakan di media massa. Hampir semua perhatian publik tertuju pada topik
pemilu. Pemilu menjadi isu “seksi” yang membuat bangsa ini terlena dan tidak
sadar bukit emasnya kembali terancam dicuri. Bersamaan dengan proses pemilu legislatif, renegosiasi
kontrak Freeport juga tengah berlangsung (atau mungkin telah disepakati).
Kontrak Freeport seharusnya
berakhir tahun 2021. Berbagai peraturan perundang-undangan yang baru
mengharuskan dilakukan renegosiasi kontrak antara perusahaan tambang dengan
pemerintah. Beberapa media telah memberitakan renegosiasi kontrak Freeport ini.
Freeport dikabarkan telah menyetujui hasil renegosiasi dengan pemerintah yang
antara lain berisi: pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian di dalam
negeri (smelter), pengurangan luas
lahan tambang, perubahan perpanjangan kontrak menjadi izin usaha pertambangan
(IUP), kenaikan royalti untuk penerimaan negara, divestasi, serta penggunaan
barang dan jasa pertambangan dalam negeri.
Informasi yang tidak banyak
dikabarkan adalah apa yang pemerintah sepakati dari tawaran Freeport? Sebab
negosiasi tidak mungkin dilakukan jika hanya menguntungkan satu belah pihak. Salah
satu media alternatif mengutip pernyataan Dirjen Mineral dan batubara (Minerba)
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang intinya menyatakan bahwa
pemerintah menyepakati perpanjangan kontrak dengan Freeport. Pernyataan yang
tidak dikabarkan oleh mayoritas media massa yang lain. Sebaliknya, mayoritas
media memberitakan bantahan isu perpanjangan kontrak Freeport oleh menteri
perekonomian Hatta Rajasa.
Adanya perbedaan pernyataan
diantara dua pejabat negara membuat informasi semakin simpang siur. Dalam hal
ini, pernyataan Dirjen Minerba Kementerian ESDM seharusnya lebih dapat
dijadikan pegangan. Sebab, kewenangan perpanjangan kontrak karya atau pemberian
izin usaha pertambangan (IUP) berada pada menteri ESDM bukan menteri
perekonomian.
Peristiwa renegosiasi kontrak
Freeport ternyata berjalan lancar tanpa ada dinamika penolakan dari masyarakat.
Salah satu asumsi penyebabnya yaitu renegosiasi akhir ini sengaja dilakukan
saat ada kejadian besar yang berlangsung di Republik ini dengan maksud untuk
menghindari pemberitaan media massa yang dapat memicu dinamika penolakan di
masyarakat. Sebab, gejolak tuntutan masyarakat Indonesia setidaknya dapat
mengimbangi kehebatan lobi politik Amerika. Selama ini pemerintah Indonesia
tidak berdaya di hadapan Amerika. Benar saja, pemilu telah menyedot perhatian
seluruh bangsa Indonesia hingga proses tawar menawar antara pemerintah dan
pihak Freeport tidak mendapat perhatian. Tanpa perhatian, tidak mungkin ada
reaksi penolakan.
Asumsi lain dari moment renegosiasi
kontrak PT Freeport adalah karena saat ini merupakan saat terakhir masa jabatan
SBY. Belum ada kepastian siapa yang akan menjadi presiden selanjutnya. Jika presiden
yang baru terpilih mempunyai jiwa nasionalisme yang kuat maka besar kemungkinan
proses perpanjangan kontrak akan lebih sulit. Untuk menghindari ketidakpastian,
proses renegosiasi kontrak dilakukan bersama pemerintah yang sudah pasti lebih
mudah “dilobi”. Dengan kata lain,
moment perpanjangan kontrak ini merupakan bagian dari manajemen resiko
perubahan pengambilan kebijakan.
Terlepas dari motif renegosiasi Freeport
saat moment pemilu, satu hal yang disayangkan adalah tidak adanya politikus
yang berkomentar tentang kondisi ini. Padahal belum cukup sebulan janji-janji “Kemandirian Bangsa, Indonesia Hebat, Gerakan
Perubahan” dan jargon-jargon lain dikumandangkan oleh para politikus. Di
hadapan media massa, para politikus hanya berkomentar masalah koalisi, masalah
pasangan presiden dan wakil presiden dan kepentingan-kepentingan partainya. Tampak
jelas orientasi orang-orang ini hanya kekuasaan semata. Padahal jika saja ada
yang peka (atau setidaknya berpura-pura peka) mengangkat kasus ini ke permukaan,
akan menjadi keuntungan tersendiri bagi pencitraan diri dan partainya. Obama misalnya,
lebih memilih berhenti berkampanye pada saat badai sandy menerjang Amerika pada musim kampanye pemilihan presiden.
Obama lebih memilih menjalankan tugasnya sebagai presiden mengurusi korban
bencana daripada berkampanye sebagai incumbent.
Pada akhirnya, pilihan itu menjadi nilai tambah bagi Obama dan menjadikannya
terpilih kembali menjadi Presiden Amerika.
Ramainya berita tentang pemilu
membuat bangsa ini mengabaikan Freeport. Mahasiswa yang diharapkan menjadi Agent of Social Control juga belum
muncul menyuarakan penolakan terhadap renegosiasi Freeport. Akademisi yang
harusnya ikut bersuara malah ramai-ramai menjadi komentator pemilu. Politisi yang
baru saja menebar angin surga kembali berjibaku menyuarakan kepentingannya. Media
yang memegang peranan penting menyuarakan kepentingan bangsa juga telah
terjebak dengan logika pasar. Isu Pemilu lebih laku dijual daripada pencurian
bukit emas di papua. Pemilu betul-betul telah mengabaikan Freeport.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar