Yogyakarta
20 April 2014 merapi kembali meletus. Media memberitakannya sebagai letusan
ringan. Kami merasakannya sebagai letusan dahsyat. Di saat yang sama merapi
meletus, kami sedang berada dalam radius satu kilometer dari puncak merapi.
Yogyakarta 19 April
2014 sekitar pukul delapan pagi, aku akhirnya memastikan untuk ikut mendaki di
Merapi setelah mendapat kepastian jadwal konsultasi tesis dari dosen pembimbing.
Karena waktu konsultasi masih minggu depan, ku putuskan untuk mengisi waktu
dengan mendaki gunung Merapi. Jadilah kami bertiga berangkat. Aku berangkat
bersama Hary, mahasiswa pascasarjana politik pemerintahan UGM yang juga senior
ku waktu S1 di Unhas. Satu orang lainnya adalah Haerul, mahasiswa pascasarjana
ilmu pemerintahan di UMY yang juga teman angkatan ku S1 di Unhas.
Setelah shalat dhuhur,
aku dan Hary berangkat menggunakan bus menuju terminal Jombor. Dari terminal
Jombor lanjut naik bus lain menuju Blabak Magelang. Dari sana kami naik angkot
atau omprengan dalam bahasa penduduk lokal menuju Sawangan. Di Sawangan, kami
menunggu kendaraan menuju Selo. Ada tiga pilihan kendaraan. Ojek dengan tarif
75.000 rupiah per orang, omprengan dengan tarif 50.000 rupiah per orang atau
mobil pick up dengan tarif 7.500 rupiah per orang. Dengan alasan efisiensi
biaya kami akhirnya memilih naik mobil pick up menuju Selo meskipun tidak
efisien dari segi waktu. Kami harus menunggu hingga dua jam di Sawangan sampai
ada mobil pick up menuju selo. Mobil pick up yang oleh warga setempat dinamai
motor bukaan adalah mobil pengangkut sayur yang telah kembali dari Jogja menuju
Selo.
Gambar: naik omprengan bersama warga
Sampai di Selo, kami
berjalan naik menuju base camp Bara
Meru untuk melapor. Jalurnya lumayan menanjak sehingga menjadi pemanasan yang
baik sebelum betul-betul mendaki. Sebelum sampai di base camp, kami singgah shalat ashar di salah satu mesjid sekaligus
berteduh karena hujan cukup deras. Setelah shalat, aku mendengar percakapan Hary
dengan dua orang pemuda di mesjid. Mereka menceritakan cuaca di Selo yang
beberapa hari sebelumnya panas. Hujan baru turun di hari tersebut. Sontak
pikiran ku teringat kembali materi saat kuliah mitigasi bencana. Dosen pada
saat itu menjelaskan asumsi ilmuan lain yang menjelaskan fenomena letusan kecil
Merapi pada akhir tahun 2013. Dijelaskan bahwa merapi meletus ringan karena
beberapa hari sebelumnya cuaca panas sehingga panas Merapi dengan bebas
dikeluarkan. Namun sehari sebelum merapi meletus ringan, cuaca menjadi dingin
dan hujan lebat sehingga panas merapi tertekan oleh air hujan. Akhirnya panas
yang terkurung dilepaskan sekalian dengan letusan kecil.
Persis seperti teori
yang dijelaskan di ruang kuliah, di daerah sekitar Merapi, cuaca panas terjadi
beberapa hari sebelumnya. Tepat di hari kami mendaki, di wilayah Selo turun hujan
lebat seharian. Percakapan antara Hary dengan dua orang pemuda dimesjid serta
teori meletusnya merapi yang ku dapatkan waktu kuliah membuat ku was-was. Namun,
rasa ragu itu ku pendam sendiri. Tak satupun orang ku beritahu apa yang
kupikirkan. Lagipula memang aktivitas pendakian adalah aktivitas melawan rasa takut
dan rasa ragu pikirku.
Usai shalat kami
lanjut ke bas camp Bara Meru. Disana sudah
ada Haerul yang lebih duluan tiba di base
camp karena memang berangkat menggunakan sepeda motor. Menurut informasi
yang dia dapatkan sebelumnya, perizinan mendaki di Merapi hanya sampai pada Pos
Pasar Bubrah. Pendaki tidak diizinkan untuk sampai ke puncak Merapi. Setelah aku
dan Hary melapor di pos jaga, kami mulai mendaki mengikuti jalan aspal menuju
deretan warung di bawah tulisan NEW SELO di kaki Gunung yang bentuknya mirip
Hollywood di Amerika.
Karena waktu magrib
telah tiba maka kami memutuskan untuk shalat magrib dijamak isha dan mengisi
perut sebelum berangkat. Tanpa di sengaja, warung makan yang kami pilih
ternyata pemiliknya orang dari Sinjai yang beristri orang Jawa. Sayangnya Bapak
yang dari Sinjai tidak di tempat magrib itu. Hanya istrinya yang menjaga
warung. Setelah shalat dan makan selesai, kami bersiap-siap mulai mendaki.
Tidak lupa dimulai dengan berdoa bersama. Pikiran ragu-ragu dan sedikit takut coba
kuimbangi dengan berdoa dan berserah diri sepenuhnya kepada Tuhan. Tidak lupa
memohon kemudahan dan keselamatan dalam perjalanan. Doa selesai dan kami mulai
mendaki.
Kami berjalan dengan
formasi aku di posisi paling depan sambil mencari jalur pendakian, diikuti Haerul
yang nekat membawa carrier yang penuh dengan peralatan dan terakhir Hary paling
belakang. Selain karena jalurnya cukup terjal sehingga cukup menguras tenaga, kami
juga harus mengatur ritme perjalanan karena salah seorang diantara kami baru
pertama kalinya mendaki. Pendakian di Merapi merupakan pendakian pertama
Haerul. Pada pendakian sebelumnya, tepatnya di Gunung Sindoro dan Semeru, Haerul
sama sekali tidak tertarik. Entah apa yang membuatnya tertarik ikut mendaki
kali ini.
Butuh waktu lebih dari
tiga jam bagi kami untuk sampai ke pos II merapi. Di pos II telah terpasang
beberapa tenda. Salah satunya masih sementara dipasang oleh rombongan yang tiba
lebih duluan dari kami. Menurut mereka, ngecamp
di POS II lebih aman dari ancaman angin kencang dari pada di Pasar Bubrah. Di
POS II masih banyak vegetasi yang bisa melindungi tenda dari terpaan angin
kencang. Kami pun akhirnya tertarik untuk memasang tenda di POS II. Sayangnya
kami tidak menemukan ada tanah lapang yang cukup untuk memasang tenda. Akhirnya
kami melanjutkan perjalanan ke pos selanjutnya.
Di perjalanan kami
kembali menemukan dua buah tenda yang telah berdiri di daerah sebelum Batu
Gajah. Di salah satu tenda tampak sekelompok pemuda yang sedang asyik bermain
kartu. Kami kembali bertanya tentang kondisi Pasar Bubrah dan mereka
menjelaskan bahwa di daerah Pasar Bubrah rawan angin kencang. Selain itu, tanah
di pasar bubrah cukup keras sehingga tidak bisa dipasang patok tenda. Untuk itu
kami mencari lokasi untuk memasang tenda di sekitar lokasi dua tenda tadi.
Selain karena pertimbangan orang-orang tadi, puncak merapi juga sudah mulai
tampak dari tempat kami yang berarti tidak butuh banyak waktu untuk sampai ke
puncak merapi besoknya.
Waktu telah
menunjukkan pukul sebelas malam. Kami mulai memasang tenda di tempat yang cukup
terlindung dari angin. Malam itu aku merasa tenda kami terpasang dengan
sempurna. Semua patoknya terpasang dengan rapi. Tali-tali penguat tenda juga
terpasang dengan kencang. Di dalam tenda, barang juga telah kami susun dengan
memperhitungkan kemungkinan hujan saat kami tertidur. Setelah semua rapi,
Haerul dan Hary menyempatkan diri untuk makan roti sebelum tidur. Aku tidak
tertarik untuk ikut makan karena memang kebiasaan ku tidak makan apa-apa di
saat telah merasa ngantuk. Aku lebih memilih bersiap-siap untuk tidur. Besok
pukul empat subuh kami berencana mulai mendaki menuju puncak merapi. Malam
semakin larut dan semua telah berada pada posisi tidur. Aku sulit tertidur
malam itu. Mungkin karena rasa dingin yang luar biasa di bagian kaki membuatku
sulit untuk tidur. Sesekali ku dengar Haerul mengorok dan Hary menggigil
kedinginan. Tidur mereka cukup nyenyak sepertinya.
Sabtu, 20 April 2014
sekitar pukul empat subuh, Hary telah bangun dari tidurnya dan mulai
mengeluarkan alat memasak. Aku pun ikut terbangun tetapi masih berselimut
sleeping bed. Setelah memasak air panas, Hary membuat susu coklat untuk
menghangatkan badan. Tak lama kemudian Haerul juga telah terbangun. Kami
bertiga menikmati susu coklat ditambah roti tawar. Setelah minum susu, Hary
mulai memasak nasi. Haerul menyarankan agar masaknya nanti saja setelah muncak. Tapi karena aku sudah sangat
lapar maka memasak nasinya dilanjutkan. Kami memutuskan makan dulu baru mendaki
ke puncak. Sempat teringat kembali keragu-raguanku sore sehari sebelumnya.
Bagaimana jika merapi meletus di saat kami ada di puncak? Pikiran-pikiran itu membuatku
berpikir mencari-cari alasan agar lebih lambat mendaki merapi. Seingatku, letusan merapi sebelumnya terjadi
pukul enam pagi sehingga penting untuk mencari alasan agar keberangkatan pagi
nanti tertunda dan sebisa mungkin kami muncak
setelah jam enam pagi. Tapi pikiran itu lagi-lagi tidak ku sampaikan ke
teman-teman lain.
Sekitar pukul setengah
lima, Hary yang memasak di luar tenda sempat menggambarkan keadaan cuaca di
luar tenda yang tiba-tiba kelihatan mendung. Padahal beberapa saat sebelumnya,
langit tampak cerah dan bintang-bintang tampak jelas. Kami yang berada di dalam
tenda juga melihat kilatan-kilatan cahaya serupa petir. Mungkin akan turun
hujan pagi ini pikirku. Tak lama berselang, Hary melihat cahaya yang sangat
terang dari arah puncak merapi. Untuk memastikannya, Hary berlari keluar tenda
untuk melihat apa yang terjadi. “merapi
meletus!!!” teriaknya. Aku dan Haerul yang berada di dalam tenda langsung
bergegas keluar. Aku yang keluar paling terakhir dari tenda langsung memasang
sepatu untuk bersiap-siap lari menyelamatkan diri. Tak sekalipun aku berbalik
melihat keadaan Merapi. Satu hal yang ku pikirkan adalah menyelamatkan diri. Hary
sempat berniat packing barang-barang untuk
dibawa. Aku yang sudah panik di depan tenda melihat kondisi barang betul-betul
terhambur di dalam tenda. Entah barang yang mana yang mau di ambil duluan. Tapi
akhirnya aku sempat mengambil tas dan plastik yang berisi handphone dan kamera.
Beruntung kami masih sempat mengambil sebotol air mineral dan sebungkus biskuit
coklat.
Teriakan-teriakan
pendaki lain membuat kami semakin panik. Diantara mereka ada yang berteriak: “lari..ayo lari.. tinggalkan saja barangnya..
selamatkan diri dulu!!!..”. Suasana semakin mencekam dengan adanya suara
beberapa pendaki wanita yang menangis ketakutan. Kepanikan yang benar-benar
beralasan karena jarak kami dari puncak merapi kurang dari satu kilometer. Di
tengah kepanikan itu, beruntung kami masih sempat sedikit berpikir rasional.
Mematikan kompor yang masih menyala dan menutup rapat-rapat pintu tenda. Tak
lupa aku mengambil masker di dalam tas. Sisanya, aku lupa mengambil dompet dan
yang lebih penting senter untuk penerangan. Kami membangunkan setiap orang di
setiap tenda yang kami lalui. Beberapa diantaranya telah lebih duluan lari
menyelamatkan diri.
Suara gemuruh merapi
terdengar sepanjang jalan kami menyelamatkan diri. Aku sempat memalingkan muka
melihat ke puncak merapi. Terlihat asap tebal berwarna hitam mengepul keluar
dari kawah merapi. Di antara semburan asap terlihat petir menyambar ke arah
kawah merapi. Sampai di pos dua kami masih saja merasa panik. Sekali terdengar
suara letusan merapi yang membuat sebagian orang kembali histeris. “Laahaula walakuwata illabillahil aliyul
adzim”, hanya kata itu yang terlontar dari mulutku kala letusan merapi kembali
terdengar. Ketidakpastian skala letusan dan tidak menentunya arah angin membuat
suasana serba tidak pasti. Selain itu, kami harus melalui jalan terjal yang
berbatu menuju pos satu untuk tempat evakuasi sementara.
Setelah beberapa saat
berjalan, di saat suara gemuruh merapi tak lagi terdengar, kujulurkan tanganku
untuk melihat apakah ada kerikil atau debu yang terlontar sampai ke posisi kami
saat itu. Alhamdulillah tidak ada tanda-tanda letusan merapi sampai ke tempat kami.
Tapi kami masih harus terus berjalan sampai ada instruksi dari tim SAR. Di
tengah perjalanan, pikiran takut dampak merapi mulai berkurang digantikan
dengan pikiran tentang barang-barang yang tertinggal di atas. Semakin jauh kami
turun berarti juga semakin jauh kami kembali naik mengambil barang yang
ketinggalan. Medan yang cukup terjal membuatku ragu apakah masih punya tenaga
untuk kembali mendaki. Harus beristirahat beberapa hari untuk mampu kembali
mendaki pikirku.
Tiba di POS I, kami
beristirahat sejenak. Di sana telah ada beberapa SAR dan pendaki yang
beristirahat sejenak. Tim SAR menginstruksikan untuk beristirahat sejenak di
POS ini sambil memantau keadaan merapi. Bagi pendaki yang barangnya sudah tidak
ada lagi yang ketinggalan di arahkan untuk langsung turun ke basecamp. Dari pos I, puncak merapi
terlihat jelas. Letusan merapi terlihat telah berakhir. Tapi asap-asap hitam masih
terlihat mengelilingi puncak merapi. Terlihat jelas pagi itu angin bertiup ke
Barat. Itulah yang membuat kami terhindar dari abu saat merapi meletus.
gambar letusan merapi terlihat dari POS I
Mengetahui merapi
telah berhenti meletus, kami berembuk untuk bersiap-siap kembali mendaki
mengambil barang-barang yang tertinggal di atas. Oleh karena Haerul tidak mampu
lagi mendaki, seluruh isi tas ku dan Hary di oper ke tas yang dibawa Haerul.
Haerul diminta turun duluan untuk memberi kabar kepada teman-teman tentang
kondisi kami di merapi. Aku dan Hary mengumpulkan tenaga untuk kembali mendaki.
Kebetulan disana juga ada beberapa orang pendaki yang barangnya masih tertinggal
di Batu Gajah. Saat kami bersiap-siap mendaki kembali, seorang relawan SAR
bernama Yuri melarang kami untuk mendaki. Kami ditunjukkan kondisi puncak
merapi yang masih mengeluarkan gas yang berwarna agak keputih-putihan. Kondisi
merapi masih berbahaya katanya. Dan benar saja, beberapa saat kemudian masih
terdengar suara gemuruh merapi dari pos I. Kami akhirnya mengurungkan niat dan
menunggu kondisi merapi benar-benar normal.
Sekitar dua jam kemudian barulah kami
diizinkan untuk kembali ke Batu Gajah untuk mengambil barang-barang yang
tertinggal. Tak hanya itu, Yuri juga menemani kami kembali ke atas. Jalur yang
dilalui kali ini berbeda dengan jalur yang kami lalu mendaki semalam
sebelumnya. Jalur ini lebih landai tetapi berada di tepi jurang. Aku berada di
posisi paling belakang kali ini. Nafas mulai tidak kuat mendaki dan kaki mulai
terasa pegal. Satu-satunya kekuatan untuk terus maju adalah tekad untuk
menyelamatkan barang-barang yang tertinggal.
Sekitar 45 menit
kemudian, tibalah kami di lokasi camp.
Kami menemui barang-barang yang tadinya berada di dalam tenda telah terhambur
di luar tenda. Fly sheet tenda beserta fibernya juga telah terbongkar. Sisa
badan tenda yang masih terpasang. Sebungkus rokok dan beberapa makanan ringan
yang bukan barang kami tergeletak di depan tenda. Tampak kantongan merah yang
tadinya kupakai membungkus barang tergeletak di luar tenda. Setelah ku periksa
ternyata di dalamnya ada dompetku. Alhamdulillah isinya masih lengkap. Kami
lanjut memasukkan semua barang yang tersisa di dalam tas. Faktor kerapian
susunan barang tidak lagi diperhatikan. Bagi kami, lebih cepat packing lebih baik. Barang-barang yang tidak penting ditinggalkan
di lokasi. Bahkan sampah-sampah tidak lagi sempat kami bersihkan.
Usai packing, kami berkumpul di satu tempat
sambil menunggu rombongan lain dari merapikan barangnya. Sebelum turun gunung,
Yuri meminta semua yang naik kembali mengambil barang agar berfoto bareng. Kami
menyempatkan diri berfoto bersama rombongan lain berlatar merapi sebagai kenang-kenangan.
Setelah selesai, kami semua akhirnya turun gunung. Kaki yang mulai lelah dan
perut yang kelaparan membuat kami berjalan cukup lambat. Namun perlahan tapi
pasti kami tiba di base camp dengan
selamat.
gambar rombongan evakuasi barang
Setelah membersihkan
diri, kami bergegas pulang. Dalam perjalanan pulang kami mendapat banyak
keberuntungan. Saat hendak pulang, kami beruntung bisa menumpang mobil
pengangkut sayur dari pasar Selo menuju desa Klakah. Dari desa ini sudah ada
omprengan menuju sawangan. Kami berniat menumpang mobil tersebut sampai
mendapatkan angkot menuju Sawangan. Mobil pick up tersebut juga dilengkapi
tenda sehingga saat hujan turun kami masih bisa berteduh. Bayarannya juga jauh
lebih murah daripada yang ditawarkan tukang ojek. Tiba di desa Klakah, kami
turun tepat di sekumpulan rombongan pendaki asal bantul Yogyakarta yang akan
segera berangkat pulang ke Bantul. Beruntung kami diberi tumpangan gratis
sampai di pasar Gamping dekat kediaman kami.
Perjalanan selesai,
tapi cerita akan terus berlanjut. Dalam kondisi kepanikan luar biasa saat Merapi
meletus, saat itu pula muncul rasa kepasrahan total kepada Sang Pencipta. Tidak
ada lagi tempat bergantung selainNya. Tuhan telah mengirimkan tanda-tanda
kepadaku dalam wujud ilmu tentang kondisi merapi. Begitu juga dengan perasaan
was-was akan meletusnya merapi. Aku mengabaikan tanda-tanda itu dan melanjutkan
mendaki. Jikapun rasa abai itu datangnya dari Tuhan maka ku pikir Tuhan
menginginkan ku mengabaikan tanda meletusnya merapi untuk merasakan tanda-tanda
kebesarannya yang lebih dahsyat. Sekarang tinggal mensyukuri pengalaman itu,
mensyukuri kesempatan untuk kembali mendengar suara-suara orang yang kusayangi.
Mensyukuri kesempatan kembali tidur di kamar rumah kontrakanku. Mensyukuri
kembali berkesempatan menyerap ilmu lebih banyak lagi. Alhamdulillah., Tuhan
memberiku pengalaman yang penuh hikmah di Merapi.
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar