Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Selasa, 29 April 2014

Pendidikan Korupsi Berwujud Ujian Nasional

gambar dirujuk dari : http://gema-nurani.com/

Korupsi telah menjadi masalah kronik di Negeri ini. Gelar extra ordinary crime telah disematkan kepada jenis perbuatan melawan hukum yang satu ini. Berbagai upaya telah dilakukan oleh berbagai pihak untuk menyelesaikan masalah ini, mulai dari pembentukan lembaga saktipemberantasan korupsi hingga pendidikan anti korupsi. Namun upaya-upaya tersebut relatif belum mampu menyelesaikan masalah yang luar biasa ini.
Pendidikan anti korupsi merupakan salah satu upaya pemerintah dalam mencegah korupsi. Pemerintah menyusun kurikulum anti korupsi untuk diajarkan di semua tingkat pendidikan. Pemerintah berharap pendidikan anti korupsi dapat menjadi sarana sosialisasi nilai-nilai anti korupsi sejak dini kepada para pelajar dan dengan demikian korupsi dapat dikurangi.
Namun demikian, pendidikan anti korupsi masih perlu dipertanyakan efektifitas kedepannya. Sebab larangan korupsi yang merupakan bentuk lain dari pencurian sesungguhnya telah diajarkan dalam pendidikan agama, pendidikan moral pancasila ataupun pendidikan kewarganegaraan tetapi toh yang sekarang menjadi koruptor adalah mereka yang dulu pernah mempelajari semua mata pelajaran tersebut. beberapa diantaranya mungkin mendapatkan nilai tinggi dari semua mata pelajaran tersebut. Kemungkinan yang sama bisa saja terjadi dengan adanya kurikulum pendidikan anti korupsi tersebut.
Pendidikan Korupsi pada Ujian Nasional
Ditengah upaya pemerintah mengatasi korupsi dengan pendidikan anti korupsi, secara tidak langsung pemerintah juga menyediakan ruang untuk pendidikan korupsi. Ujian nasional secara tidak langsung menjadi ruang bagi pendidikan korupsi. Nilai-nilai korupsi terinternalisasi dalam ujian nasional melalui proses “pembiaran menyontek massal”. Telah menjadi rahasia umum bahwa dalam ujian nasional menyontek dengan berbagai variannya merupakan hal yang lazim. Bentuknya dapat berupa kerja sama antar siswa ataupun suplai kunci jawaban dari luar. Praktek curang dalam ujian nasional ini bukannya tidak diketahui melainkan ada kesan dibiarkan atau yang lebih parah adalah "dikondisikan" (dibantu) oleh sebagian besar “oknum” pendidik.
Dalam proses belajar keseharian, menyontek merupakan hal yang dilarang oleh pendidik. Menyontek pada saat ulangan harian atau ulangan semester merupakan hal yang haram untuk dilakukan oleh siswa dengan konsekuensi-konsekuensi yang jelas dan tegas. Namun pada saat ujian nasional, menyontek merupakan hal yang dibolehkan atau dengan kata lain menyontek hukumnya makruh tanpa hukuman apapun. Proses ini sama dengan posisi mencuri dan korupsi. Menyontek pada saat ulangan harian dapat diibaratkan sebagai mencuri karena lingkupnya kecil sementara menyontek pada saat ujian nasional dapat diibaratkan korupsi karena lingkupnya lebih besar. Pembiaran menyontek dalam ujian nasional meginternalisasikan nilai mencuri dalam kondisi tertentu dapat dibenarkan. Dampak dari pembiaran menyontek adalah siswa tidak merasa berdosa ketika menyontek dalam ujian nasional.
Perasaan perasaan tidak bersalah ketika menyontek dalam ujian nasional mempunyai relefansi dengan perasaan tidak bersalah para koruptor sebagaimana diungkapkan oleh Dr. Hariatmoko dalam buku etika politik. Sebab-sebab koruptor tidak merasa bersalah ketika melakukan perbuatan korupsi diantaranya: pertama, karena dilakukan beramai-ramai. Baik meyontek dalam ujian nasional maupun korupsi tidak membuat pelakunya merasa bersalah karena perbuatan tersebut dilakukan secara beramai-ramai. Perbuatan korupsi tidak mungkin dilakukan hanya oleh seseorang. Dalam kasus penyuapan misalnya, minimal yang harus ada yaitu yang menyuap dan yang menerima suap. Persis sama dengan kasus menyontek yaitu ada yang menyontek dan ada yang memberi contekan. Pada saat ujian nasional, contek-menyontek semakin mudah terjadi karena pengawas membiarkan atau mungkin menganjurkan terjadinya proses tersebut.
Kedua, karena kebiasaan dapat membungkam rasa bersalah. Baik korupsi maupun menyontek dalam ujian nasional telah terjadi secara berulang-ulang sehingga telah dianggap sebagai hal yang wajar. Dalam budaya birokrasi, uang pelicin telah menjadi hal yang wajar dan biasa dalam mendapatkan proyek dan oleh karena itu tidak menimbulkan rasa bersalah bagi pelakunya. Dalam kasus ujian nasional, cerita-cerita tentang pembiaran menyontek ataupun bantuan jawaban dari luar telah beredar dari peserta ujian nasional tahun-tahun sebelumnya (kakak kelas) sehingga menyontek pada ujian tahun ini bukan merupakan hal baru yang harus menimbulkan rasa bersalah.
Ketiga, karena adanya kompensasi atas rasa bersalah. Koruptor biasanya mengurangi rasa bersalahnya dengan menyumbangkan sebagian uang korupsinya kepada tempat ibadah, masyarakat dll. Uang korupsi juga dapat dijadikan modal bisnis sehingga dapat membuka lapangan pekerjaan dan mempekerjakan orang banyak. Rasa bersalah itu digantikan dengan perasaan telah berbuat baik kepada orang lain. Dengan demikian koruptor merasa telah menggunakan uang yang diadapatka melalui cara yang tidak benar untuk sebuah kebaikan dan dengan sendirinya mengurangi rasa bersalahnya. Dalam kasus ujian nasional, siswa-siswa yang contek menyontek mengurangi rasa bersalahnya dengan perasaan telah berbuat baik kepada teman-temannya yang diberikan contekan. Perasaan bersalah karena menyontek juga dikompensasi dengan imbalan yang akan diterima jika lulus ujian nasional yaitu perasaan berbuat baik karena telah menyenangkan orang tua. Karena bagi para orang tua, lulus jauh lebih penting ketimbang cara untuk lulus. Kompensasi rasa bersalah dalam kasus korupsi dan kasus menyontek dalam ujian nasional merupakan alasan pembenaran untuk mengurangi konflik batin dalam diri para pelaku atas perbuatan salah yang telah mereka lakukan.
Ketiga poin tersebut di atas menunjukkan bahwa Ujian Nasional dapat menjadi ruang untuk internalisasi nilai-nilai korupsi. Nilai yang diinternalisasikan dalam pembiaran menyontek dalam ujian nasional adalah bahwa mencuri dalam konteks tertentu bukan merupakan sesuatu salah. Tidak mengherankan kemudian jika siswa yang menganggap menyontek adalah perbuatan yang tidak benar justru ikut-ikutan menyontek pada saat ujian nasional. Kelulusan nampaknya telah menjadi keberhasilan besar yang tidak berarti jika dibandingkan dengan keberhasilan-keberhasilan kecil yang diraih dengan kejujuran. Kebiasaan mengenyampingkan etika untuk sebuah keberhasilan yang besar juga menjadi jawaban mengapa para koruptor bukan merupakan orang-orang yang terbiasa mencuri hal-hal yang kecil.
Pendidikan anti korupsi yang dicanangkan pemerintah menjadi kontra produktif jika dihadapkan dengan realitas internalisasi nilai-nilai korupsi yang sudah lama mengakar dalam pembiaran menyontek pada ujian nasional. Jika budaya pembiaran menyontek ini terus berlanjut maka pendidikan anti korupsi tidak lebih baik dari pelajaran yang lain yang telah berlangsung di sekolah. Pendidikan korupsi hanya akan masuk dalam tulisan kecil dalam ijazah kelulusan yang didapatkan dengan jalan korupsi kecil-kecilan.

Jalan keluar dari jerat proses internalisasi korupsi ini adalah bersikap tegas untuk menghentikan kebiasaan pembiaran menyontek dalam Ujian Nasional dengan kemungkinan terburuk akan banyak yang tidak lulus. Pilihan lain yang lebih mudah adalah dengan menghapuskan ujian nasional. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
 
Blogger Templates